MANFAAT DZIKRULLÂH
MANFAAT DZIKRULLÂH
Oleh: Umi Sholehah
Alumnus Program Studi Pendidikan Agama Islam FIAI UII
Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,
Pengertian Dzikir
Sahabat yang dirahmati oleh Allah l, dzikir sebagaimana shalat merupakan media berkomunikasi dengan Allah l. Secara etimologi, dzikir berasal dari bahasa Arab yakni “dzakara-yadzkuru-dzikran” yang memiliki arti menyebut, mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal, dan mengerti.[1] Dzikir merupakan gerbang utama dalam muraqabatullah.
Dari pengertian tersebut terdapat dua pengertian dzikir yang perlu digaris bawahi. Pertama, dzikir dapat diartikan sebagai “ingat”. Ingat disini merujuk pada ingat kepada Allah l, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Kedua, dzikir dapat diartikan sebagai “menyebut nama Allah”. Arti dzikir sebagai “ingat” telah dijelaskan dalam salah satu ayat dalam al-Quran yaitu, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscahya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 152).
Seseorang dapat disebut berdizkir manakala ia dalam kondisi ingat kepada Allah l meskipun tidak duduk bersila maupun menghadap kiblat seperti dzikir setelah shalat. Pada prakteknya dzikir dalam arti “ingat” tidak terbatas ruang, waktu dan tata cara tertentu. Oleh sebab itu, dimanapun dan bagaimanapun kondisinya kita dapat merasakan kehadiran-Nya. Tidak seperti shalat yang terikat dengan ketentuan waktu, dzikir dapat dilakukan dimanapun, kapanpun dan dalam keadaaan bagaimanapun juga. Maka, dzikir dalam arti “ingat” dapat dikatakan sebagai kesadaran berketuhanan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas manusia.
Dzikir dalam pengertian kedua yakni “menyebut nama Allah” telah dijelaskan dalam al-Quran yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya.”(Q.S. Al-Ahzab [33] : 41).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan dzikir adalah upaya menghubungkan diri secara langsung kepada Allah l dalam situasi, kondisi, dan tidak terbatas waktu dengan cara mengingat dan menyebutkan nama-nama Allah maupun memadukan keduanya secara simfoni.
Pembagian Dzikir
Menurut Usman Said Sarqawi, terdapat dua macam dzikir yaitu dzikir dengan lisan dan dzikir dengan hati (mengingat Allah dengan hati), terutama ketika seseorang mendekati maksiat.[2] Dzikir lisan dapat dipahami sebagai dzikir yang dilakukan dengan lidah dan bersuara keras (jahr). Sedangkan dzikir hati dilakukan dengan tidak bersuara (khafi) yakni mengingat sepenuhnya kepada Allah l dengan hati yang selalu mengucap atau menyebut nama Allah di manapun berada.[3]
Dzikir hati lebih utama dibandingkan dengan dzikir lisan. Pernyataan tersebut didasarkan pada hadits Nabi Muhammad n, “Sebaik-baik dzikir adalah yang khafi (hati) dan sebaik-baik rezeki adalah yang mencukupi.”[4] Selain itu terdapat pula sabda Nabi Muhammad n,,“Dzikir yang tidak didengar oleh orang-orang yang mengintai mengungguli dzikir yang dapat didengar oleh orang-orang yang mengintai dengan tujuh kali lipat.”[5] Melalui penjelasan tersebut dzikir khafi atau dizkir dengan hati dapat lebih mulia karena terhindar dari riya’.
Disisi lain dzikir lisan lebih utama seperti membaca al-Quran, karena membaca al-Qur’an termasuk dzikirullah yang mulia. Nabi n bersabda, “Keutamaan kalam Allah dibandingkan ucapan yang lain, seperti keutamaan Allah dibandingkan makluk-Nya.” (H.R. Turmudzi 3176 dan ad-Darimi 3419).
Manfaat Dzikir
Implikasi dari dzikir ialah timbulnya suatu kesadaran jiwa yang mengingat adanya dan hadirnya Allah dalam diri manusia sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan kehidupan. Dzikir diharapkan mampu menyentuh seluruh aspek kehidupan. Sebab kondisi kesimbangan jiwa dan rohani dalam hal iman seseorang selalu mengalami fluktuasi. Maka untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan keimanannya, dibutuhkan suatu media untuk selalu mengingat Allah n yakni dengan cara berdzikir.
Pengaruh yang ditimbulkan dari konsistensi berdzikir akan mampu mengontrol kehidupan sehari-hari. Orang yang berdzikir akan mengalami ketenangan batin dalam hatinya, merasa bersyukur terhadap segala kenikmatan duniawi yang telah diberikan oleh Allah l. Selain itu, urgensi dzikir bagi seorang muslim ialah mendatangkan kebahagiaan, mewujudkan prasangka baik kepada Allah l, memelihara diri dari kecemasan dan membentengi diri dari perbuatan dosa, memperoleh penjagaan malaikat, mendapatkan ampunan dan ridha dari Allah l, mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah l, menghasilkan kemuliaan dan kehormatan, serta dikasihi oleh para nabi dan para mujahidin.[6]
Berdzikir merupakan kelezatan bagi orang-orang benar-benar mengenal Allah. Allah l berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28)
Ada keutamaan berdzikir saat orang-orang itu lalai. Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.”[7] Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.[8]
Pelarian seseorang ketika sedang merasa hampa, sedih, sendiri dan tidak mengetahui arah ialah dengan berdizkir. Tujuannya ialah untuk menuju suatu rahmat serta mendapat hidayah-Nya. Rahmat dan hidayah Allah hanya dapat dirasakan oleh mereka yang dibukakan cahaya dalam sanubarinya. Pembuka cahaya tersebut ialah dengan banyak berdzikir dalam situasi, kondisi dan waktu yang tidak terbatas.
Tunas yang tumbuh apabila tidak diberi pupuk maka akan layu. Demikian pula tunas hidayah yang harus terus dipupuk dan disirami dengan dzikir agar tumbuh dengan terarah serta memiliki iman yang kokoh. Iman yang kokoh tidak akan membuat seseorang menjadi goyah meski berhadapan dengan realitas kehidupan bermasyarakat maupun menghadapi kemelut dalam dirinya sendiri. Wallāhul muwāffiq ilā aqwāmit-thāriq. Wallahu a’lam.
Mutiara Hikmah
Dari ‘Aisyah x berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Rasulullah n selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737)
[1] M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf bagi Manusia Modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 116
[2] Usman Said Sarqawi, Zikrullah : Urgensinya dalam Kehidupan,terj. Cecep Alba, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2013), hal. 11
[3] Rizki Joko Sukomono, Psikologi Zikir, (Jakarta: Sri Gunting, 2008), hal. 12
[4] Hadits riwayat Imam Ahmad dan Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqashra
[5] Hadits riwayat al-Baihaqi dari ‘Aisyahra.
[6] Ash-shiddiqi, T.M.H. Pedoman Dzikir dan Doa, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hal. 34
[7] Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524
[8] Sumber https://rumaysho.com/25391-inilah-manfaat-dzikir-yang-luar-biasa-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-50.html