JANGAN PERNAH LELAH UNTUK KEMBALI

Oleh: Yonatan Y. Anggara*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kembalilah wahai manusia…

Tundukkan wajahmu pada yang Maha Kuasa

Tengadahkan tanganmu dan mulailah berdoa

Niscaya nikmat-Nya selalu kan turun selamanya

(K.H. Hasan Abdullah Sahal)[1]

 

Dampak Makasiat

Sepetik syair yang di tulis oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal memiliki makna sedalam lautan, seluas langit. Seolah menjawab segenap keresahan dan kegelisahan yang barangkali sering kita alami dalam menjalani hidup sebagai seorang manusia. Segala kesusahan dalam setiap urusan, segala kesempitan dalam setiap apa yang diikhtiarkan juga segala kegelisahan yang tidak pernah tahu dari mana datangnya. Tidak lain dan tidak bukan hal itu terlahir dari hati yang tidak pada pada tempatnya. Hati yang telah terisi kedurhakaan pada Allah semesta alam.

Sebagaimana nasehat Ibnu Qayyim  rahimahullah bahwa kemaksiatan akan menyebabkan sulitnya segala urusan, sehingga tidaklah seorang manusia menuju sebuah urusan kecuali ia dapati dalam keadaan buntu. Memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati.[2]

Maksiat akan menjadi hijab bagi doa-doa kita, Ibnu Rajab berkata, “Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.”[3] Maksiat akan menjadi penghalang dari segala kebaikan, sehingga seseorang yang sering melakukan maksiat akan semakin jauh dari hidayah Allahﷻ.

Ustadz kami di Pondok pernah menasehati yang bunyinya seperti ini, “Cara merayu Allah agar doa diijabah adalah dengan melaksanakan amal ibadah. Jika seandainya doa ibarat paket yang dikirim, maka maksiat adalah penghalang dan pelambat paket itu datang ke tujuan”. Kondisi hati orang-orang yang bermaksiat pada Allah. Hati yang bermaksiat akan Allah sempitkan di tengah kelapangan yang ia miliki. Hati yang bermaksiat akan Allah gelisahkan di tengah kemudahan hidupnya. Hati yang bermaksiat akan Allah buntukan urusannya ditengah banyaknya jalan yang seolah terlihat.

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Q.S Thâhâ [20]: 124). Maksudnya, dia akan mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan. Dalam tafsirnya Ibnu Katsir berkata, “Di dunia, dia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Hatinya gelisah yang diakibatkan kesesatannya. Meskipun dhahirnya nampak begitu enak, bisa mengenakan pakaian yang ia kehendaki, bisa mengkonsumsi jenis makanan apa saja yang ia inginkan, dan bisa tinggal dimana saja yang ia kehendaki; selama ia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk, maka hatinya akan senantiasa gelisah, bingung, ragu dan masih terus saja ragu. Inilah bagian dari kehidupan yang sempit”.[4]

Tidakkah kita ingin punya hati yang setenang Ibnu Taimiyah seabagaimana yang disampaikan oleh Ibn Qayyim “ia adalah orang paling bahagia yang pernah saya temui”. Padahal kita tahu bahwa beliau tidak tinggal di istana atau bangunan megah melainkan di dalam penjara sempit nan kumuh. Tidakkah kita ingin punya urusan seajaib Yusuf? Yang meskipun banyak sekali kesusahan yang dihadapi namun berakhir dengan indah. Tidakkah kita ingin punya urusan yang dimudahkan sebagaimana Yunus? Yang meskipun terhimpit masalah namun keluar darinya dengan sebaik baik keadaan. Tidakkah kita ingin punya kisah seindah Zakaria? Yang selepas 80 tahun berdoa, ditengah kemustahilan akhirnya cita-citanya ingin punya keturunan Allah mudahkan.

 

Kembalilah Wahai Hati!

Untuk kita yang sering bertanya mengapa segala urusan menjadi buntu. Mengapa sangat susah mengerjakan sesuatu yang dengan mudah dikerjakan oleh kebanyakan orang. Mengapa begitu susah mendapatkan apa yang terlihat mudah bagi orang lain. Maka kembalilah agar semua mudah dalam mengerjakan kebaikan.

Tidak ada hari yang paling mengkhawatirkan selain hari dimana kita berbuat maksiat kepada Allahﷻ sedang kita melakukannya tanpa ada rasa bersalah, dan tidak ada hari yang paling membahagiakan melainkan kita sungkurkan hati kita kepada Allahﷻ untuk bertaubat.  Maka kembalilah kepada Allah, Maha Pemilik segenap urusan. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau berdo’a dan berharap hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam ! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.”  (H.R. at-Tirmidzi)

 

Jangan Pernah Lelah Untuk Kembali

Sebanyak apa kita berbuat salah maka sebanyak itu pula Allahﷻ akan tetap membuka pintu taubat. Oleh karena itu, jangan pernah lelah untuk kembali kepada Allah dengan beristighfar dan bertaubat.

Allah sungguh mencintai orang-orang yang kembali kepada-Nya, dalam salah satu hadits riwayat disebutkan dari Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari, pembatu Rasulullah, beliau berkata bahwa beliau n bersabda, “Sesungguhnya Allah itu begitu bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang luas.” (H.R. Bukhari no. 6309 dan Muslim no. 2747).

Mari kita teladani Ibnu Taimiyah yang setiap kali mengalami kebuntuan dalam berfikir dan urusan maka beliau beristighfar 1000 kali. Seolah memahami tidak lain yang menyebabkan kerunyaman urusan adalah jauhnya hati kita pada pemilik-Nya. Maka kembalilah!.[]

 

MARÂJI’:

* Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Nur Baiturrahman Yogyakarta

[1] K.H Hasan Abdul  Sahal. Kembalillah. 2020. https://www.youtube.com/watch?v=4HNCAxn9Bqo

[2] Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com yang dikutip dari https://muslim.or.id/307-10-nasihat-ibnul-qayyim-untuk-bersabar-agar-tidak-terjerumus-dalam-lembah-maksiat.html https://muslim.or.id/307-10-nasihat-ibnul-qayyim-untuk-bersabar-agar-tidak-terjerumus-dalam-lembah-maksiat.html

[3] Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, 1: 275-276

[4] al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002.

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah bersabda:

مَنْ دَعَا إِلىَ هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذِلكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آَثاَمِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلكَ مِنْ آثَاِمهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala sebagaimana pahala setiap orang yang mengikutinya, dan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia menanggung dosa sebagaimana dosa setiap orang yang mengikutinya, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim).

 

Download Buletin klik disini

 

MENGAMALKAN KEBIASAAN MASYARAKAT DALAM KACAMATA ISLAM

Oleh:  Hendi Oktohiba

Alumni FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Pembaca yang budiman, setiap manusia tentunya hidup dalam lingkungan yang memiliki kebiasaan berbeda-beda. Sebagai agama yang sempurna, syariat Islam telah mengatur hal tersebut. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah (non-ibadah). Oleh sebab itu, penting bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum asal semua perkara selain ibadah. Mengapa hal ini penting? Karena hal tersebut memiliki konsekuensi hukum halal dan haram. Sebuah hadits menyebutkan, “Kemudian Allah Ta’ala  mengutus Nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya, serta menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan maka hukumnya dimaafkan.” (H.R. Abu Daud).

Sehingga hukum asal semua perkara selain ibadah (seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan muamalat) adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Misalnya dalam masalah pakaian, hukum asalnya mubah, seperti bolehnya memakai baju kemeja karena tidak ada larangannya di dalam syariat. Tetapi menjadi terlarang jika laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra karena ada dalil yang melarangnya, Nabi bersabda, “Sutra ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku dan halal bagi kaum wanitanya” (H.R. Ahmad).

Setiap pakaian yang terbuat dari sutra, baik baju, celana, kaos kaki, topi, dan lain sebagainya, hukumnya haram bagi laki-laki. Namun, Nabi mengizinkan memakai sutra bagi laki-laki yang sedang menderita sakit gatal-gatal, kudis, dan sebagainya. Dibolehkan juga memakai sutra bagi laki-laki yang berperang ketika sedang menghadapi musuh.[1]

 

Hukum Asal Ibadah adalah Haram

Hal ini berbeda dengan hukum asal ibadah. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya. Suatu perkataan atau perbuatan tidak bisa disebut sebagai ibadah sampai mendapatkan label ibadah dari Allah dan rasul-Nya. Hal ini sebagaimana di dalam firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad) ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?’” (Q.S. Yunus [10]: 59).

Ibadah adalah jalan menuju Allah. Manusia tidak mungkin sampai ke tujuan kecuali dengan menempuh jalan yang telah Allah tetapkan. Tanpa keterangan dari Allah dan rasul-Nya, itu bukanlah ibadah yang disyariatkan.[2] Ibadah yang dilakukan tanpa niat hanya akan mendatangkan kelelahan. Niat tanpa keikhlasan tak lebih dari perbuatan riya’. Sedangkan ikhlas tanpa mengikuti petunjuk Nabi juga akan percuma.[3] Maka, seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dituntut untuk meluruskan niatnya, menumbuhkan rasa ikhlas, dan beribadah mengikuti petunjuk Nabi.

Jadi, kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Jika kebiasaan yang berlaku di masyarakat bertentangan dengan syariat, maka wajib meninggalkan kebiasaan tersebut. Contoh kebiasaan yang bertentangan dengan syariat adalah menyembelih hewan kepada selain Allah. Misalnya menyembelih hewan untuk sesajen. Ini termasuk kesyirikan.

Syirik adalah mempersembahkan sebagian ibadah kepada selain Allahﷻ, dengan menjadikan sebagian diantaranya untuk Allah, dan sebagian lainnya untuk selain Allah, seperti jin, manusia, malaikat, patung, pohon, bintang, batu, atau makhluk-makhluk lainnya, termasuk juga menyembelih hewan untuk mereka. Siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia telah menyekutukan Allah, menyembah selain Allah, dan membatalkan keislamannya.[4]

Janganlah kita mempertahankan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat ini walaupun kebiasaan tersebut sudah dilakukan dari dulu bahkan sudah dilakukan dari generasi-generasi sebelumnya”. Allah telah memberitahukan di dalam firman-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 170).

Ayat ini menjelaskan keadaan orang-orang yang bandel dan mempertahankan keyakinan bathil mereka dengan dalih mempertahankan apa yang selama ini mereka terima dari nenek moyang mereka.[5] Kita hidup di dunia ini wajib mematuhi aturan yang Allah atur di dalam syariat-Nya. Sebagaimana hadis dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nashir a dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum. Maka janganlah kalian melampauinya. Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya…” (H.R. Daruquthni).

Maksud hadits ini adalah bahwa Allahﷻ mewajibkan berbagai macam kewajiban berupa ketaatan dan ibadah seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua dan sebagainya dari berbagai kewajiban.[6] Hendaknya sikap seorang muslim mencukupkan diri dengan perkara yang halal dan meninggalkan perkara yang haram. Jangan pula mendekati perantara-perantara yang mengantarkan kepada hal yang Allah haramkan. Perhatikanlah batasan-batasan Allahﷻ dengan tidak melampaui dan juga tidak melanggarnya.[7]

 

Faidah Ilmu

Dari penjelasan di atas, ada beberapa faidah ilmu yang dapat kita ambil:

  1. Kebiasaan masyarakat masuk dalam perkara selain ibadah.
  2. Hukum asal semua perkara selain ibadah adalah mubah (boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.
  3. Hukum asal ibadah adalah haram dan terlarang kecuali jika ada dalilnya
  4. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

Pembaca yang budiman, hal seperti ini penting untuk diketahui agar kita tidak terombang-ambing dalam mengamalkan agama dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga kita mengetahui batasan-batasan halal dan haram dalam berinteraksi dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan juga tidak terjerumus dalam melakukan hal yang dianggap ibadah padahal bukan termasuk ibadah yang mengakibatkan amal yang kita lakukan menjadi sia-sia bahkan menjadi dosa karena membuat sesuatu yang baru dalam agama.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam mempelajari ilmu syar’i sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allahﷻ tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]

 

 

 

Mutiara Hikmah

 

Ibnu Abbas RA berkata:

 

فَكُلُّ خُلَّةٍ هِيَ عَدَاوَةٌ إِلَّا خُلَّةُ الْمُتَّقِيْنَ

Maka setiap persahabatan akan menjadi permusuhan kecuali persahabatan orang-orang yang bertaqwa

(Tafsir Ath-Thabari 21/638)

 

[1] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

[2] Muhammad Abu Rivai. Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Bandung: Ellunar. 2017 M. Cet.k-1. hal. 74.

[3] Salim bin ‘Ied al-Hilali. Mubthilatul A’mal fi Dhau’il Qur’an al-Karim was Sunnah ash-Shahihah al-Muthahharah. Alih bahasa Badrusalam. Penyebab Rusaknya Amal Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2015 M. hal. 3.

[4] Abdul Aziz bin Baz. Subulus Salam – Syarh Nawaqidhil Islam. Alih bahasa Umar Mujtahid. Syarah Nawaqidhul Islam – Penjelasan Pembatal-pembatal Keislaman. Bekasi: Pustaka Dhiya’ul Ilmi. 2019 M. Cet.k-1. hal. 20.

[5] Supriyanto Pasir. Tafsir Is’af  al-Qashirin Surat al-Fatihah dan al-Baqarah. Sleman: Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI UII). 2019 M. Cet.k-1. hal. 288.

[6] Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan. Al-Minhatu ar-Rabbaniyah fi Syarhi al-Arba’in an-Nawawiyah. Alih bahasa Abu Abdillah al-Watesi. Syarah Arba’in an-Nawawiyah Mendulang Faedah Ilmiyah dari Lautan Sunnah Nabawiyah. Yogyakarta: Pustaka al-Haura’. 1433 H. Cet.k-1. hal. 471.

[7] Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz. Al-Kabair. Alih bahasa Abu Zufar Imtihan asy-Syafi’i. Dosa-Dosa Besar. Solo: Pustaka Arafah. 2007 M. Cet.k-5. hal. 367-368

 

Download Buletin klik disini

MEMETIK MAKNA KEPEDULIAN DI HARI RAYA IDUL ADHA

Oleh: Aisyah Amalia Putri*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Memaknai hari raya Idul Adha berawal dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim A.S atas kerelaan mengorbankan putra yang dicintainya. Tatkala Nabi Ibrahim bermimpi diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail A.S. Hal tersebut sesuai firman Allahﷻ, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 102).

 

Ikhlas dalam Beramal

Hikmah dari kisah diatas adalah meneladani sikap ketakwaan terhadap perintah Allahﷻ. Ketakwaan hadir dengan adanya keikhlasan berupa kejernihan hati yang mendorong kepada kepedulian. Ikhlas merupakan amalan hati untuk memperbaiki niat ketika  hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sesudah beramal semata-mata karena Allahﷻ. Sehingga rasa ikhlas membawa manusia pada amal kebaikan dengan penuh ketulusan. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….” (Q.S. al-Bayyinah [98]: 2)

 

Kepedulian Sosial

Dalam pembahasan diatas, ada keterkaitan antara keikhlasan dengan kepedulian. Menurut salah satu teori, kepedulian adalah salah satu bentuk tindakan nyata, yang dilakukan oleh masyarakat dalam merespon suatu permasalahan. Dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kepedulian juga merupakan partisipasi yakni keikutsertaan. Kepedulian sosial  merupakan  sebuah sikap keterhubungan dengan manusia pada umumnya, sebuah empati bagi setiap  anggota manusia untuk membantu orang lain atau sesama.[1] Dengan seorang muslim berqurban di hari raya Idul Adha menjadi salah satu kontribusi kepedulian dalam menegakkan agama dan kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan pada kisah  perjuangan  Nabi Ibrahim A.S dan Nabi Ismail A.S.

Dapat disimpulkan, menurut W.J.S Poewadarmintra poin-poin dari nilai kepedulian diantaranya:

Pertama, memberi bantuan berupa sandang, pangan dan kesehatan. Memberi bantuan merupakan ibadah. Ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang diperintahkan melalui jalan wahyu. contohnya adalah shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhaadalah ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat  pelakunya. Contohnya  adalah aktivitas makan. Makan bukanlah suatu ibadah yang khusus, namun apabila makan tersebut diniatkan untuk ibadah agar kuat untuk menjalani ibadah shalat dan pergi ke masjid,  maka makan tersebut akan bernilai pahala.[2]

Begitupula berqurban di hari raya Idul Adha, apabila diniatkan tulus karena Allahﷻ akan bernilai pahala. Terlebih dalam situasi pandemi sekarang ini. Semakin seseorang meningkatkan kepedulian berbagi maka semakin Allahﷻ akan memberikan keselamatan bagi hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,”Bersegeralah bersedekah, sebab bala bencana tidak pernah mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Obatilah penyakitmu dengan sedekah. Sedekah itu sesuatu yang ajaib. Sedekah menolak 70 macam bala bencana, dan yang paling ringan adalah penyakit kusta dan sopak (vitiligo).” (H.R.Thabrani).

Dengan demikian Allahﷻ menganjurkan untuk saling membantu dalam hal ketakwaan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan . Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Mâidah [5]: 2).

Kedua, memberikan perhatian dan kasih sayang. Manusia diciptakan oleh Allahﷻ berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar saling menghargai. Sebagai seorang yang mukmin dianjurkan untuk saling mengenal dan berbuat baik kepada seluruh manusia agar menghadirkan rasa kasih sayang satu sama lain. Melalui berqurban di hari Raya Idul Adha, Islam mengajarkan kita untuk mendapatkan nilai tersebut sebagai pokok perhatian kita kepada umat muslim. Dalam al-Quran Allah l berfirman, “…Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Dalam syariat Islam, syarat-syarat yang berhak mendapatkan daging qurban menurut Badan  Amil Zakat Nasional adalah: orang yang berqurban, tetangga sekitar, teman dan kerabat, serta fakir miskin. Hal tersebut terdapat dalam firman Allahﷻ, “Makanlah sebagian dari daging qurban, dan berikanlah sebagiannya pada orang fakir yang tidak minta -minta, dan orang fakir yang minta-minta.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 36).[3]

Dengan memperbanyak menjalin kasih sayang melalui berqurban diantara umat muslim maka, akan ada banyak kepedulian  yang datang. Sebagaimana dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. al- Hujurât [49]: 10).

Ketiga, membiayai pendidikan. Fenomena hari Raya Qurban Idul Adha memberikan pembelajaran terkait pendidikan moral dan  tauhid.  Melihat kisah berbaktinya Nabi Ismail A.S kepada ayahnya Nabi Ibrahim A.S untuk menjalankan perintah Allahﷻ. Jika dibayangkan betapa beratnya hati seorang ayah menyembelih anaknya sendiri. Atas karunia Allah semua kejadian itu berbalik menjadi hikmah yang dapat kita rasakan bersama dengan indahnya berqurban di setiap hari raya Idul Adha. Allahﷻ berfirman, ” Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Saffat [37]: 107-110).

Selain itu, nilai kepedulian yang dapat dipetik adalah rasa empati terhadap mereka yang kurang mampu untuk membeli hewan qurban. Hari Raya Idul Adha menjadi kesempatan umat muslim untuk berlomba-lomba berqurban sebagai wujud membiayai mereka yang kurang mampu dalam berqurban. Terutama bagi  mereka yang terdampak pandemi covid-19. Tak lain halnya mereka membutuhkan asupan yang bergizi untuk meningkatkan imunitas. Tidak ada yang merugi bagi seseorang yang berqurban. Selain mereka mendapatkan pahala, Allahﷻ menjanjikan kepada mereka kebaikan yang berlipat ganda. Dalam al-Quran Allahﷻ berfirman, “Barangsiapa berbuat kebaikan maka mendapat (balasan) sepuluh kali lipat amalnya .” (Q.S. al-An’am [6]: 160).[4]

Demikianlah, ada banyak nilai kepedulian yang dapat kita  petik  di  dalam  Hari Raya Idul Adha, diantaranya; nilai pejuangan kisah Nabi Ibrahim A.S dan Ismail A.S kasih sayang, berbagi dan hal lainnya. Amal kebaikan tersebut mampu menjadikan acuan umat muslim untuk bersinergi, bersatu dan bahu membahu. Semoga Allah l melimpahkan rahmat dan keberkahan-Nya agar pandemi covid-19 segera berlalu melalui kebaikan serta pembelajaran indahnya berbagi di Hari Raya Idul Adha. Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

 

* Alumni UII

[1] W.J.S Poewadarmintra. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,1980)

[2] https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah- bag-1.html

[3] https://www.madaninews.id/3255/siapa-saja-yang-berhak-menerima-daging-qurban.html

[4] http://repository.uin-suska.ac.id/20227/7/7.%20BAB%20II.pdf

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah R.A, Rasulullah  bersabda,

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim no. 2699).

 

Download Buletin klik disini

 

ADAB MENYEMBELIH HEWAN QURBAN

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah[1]

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, dalam proses penyembelihan hewan Qurban, ada teknik dan metode yang digunakan serta tidak sembarangan dalam menyembelih. Berdasarkan hadits dari Aisyah R.A, Rasulullah bersabda: “Wahai Aisyah, ambilkan pisau besar, kemudian beliau bersabda pertajamkan itu dengan batu, maka Aisyah melakukannya. Setelah pisau itu dibawakan, Nabi mengambilnya dan membaringkan kibasy, lalu (bersiapuntuk) menyembelihnya. Kemudian beliau berkata, “Dengannama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad”, kemudian beliau menyembelihnya. (H.R. Abu Dawud)[2]

Dalam melaksanakan penyembelihan qurban, harus sesuai dengan waktunya. Waktu pelaksanaanya itu mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Tepatnya setelah selesai shalat Idul Adha dari tanggal 10 Dzulhijjah sampai hari tasyrik (11,12, 13 Dzulhijjah)

 

Adab dalam Menyembelih

Berikut adab dalam menyembelih hewan Qurban:

  1. Menajamkan pisau, semakin tajam semakin baik

Seperti hadis dari ‘Urwah bin Zubaira , dia berkata, kemudian Rasulullah bersabda kepada ‘Aisyah R.A, “Wahai ‘Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda, “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan, “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban dengannya.”(H.R. Muslim, no.3637)[3]

Dari hadis diatas bisa disimpulkan bahwa dalam menyembelih hewan qurban, memerlukan pisau yang tajam, sehingga hewan yang disembelih tidak terlalu lama merasakan sakit. Jika dilakukan dengan pisau yang tumpul, itu sama saja akan mengulur waktu. sehingga hewan yang disembelih akan merasakan sakit yang cukup lama.

 

  1. Menyembelih yang baik dan benar, sesuai aturan Islam

Dalam menyembelih hewan qurban, perlu tata cara yang benar dan terarah, prosesnya sendiri  perlu ketepatan dan cepat agar hewan yang disembelih tidak merasa kesakitan. Seperti hadis berikut: Syaddad bin Aus berkata, “Dua hal yang saya telah menghafalnya dari Rasulullahﷺ, ‘sesungguhnya Allahﷻ telah menetapkan kebaikan atas setiap sesuatu’, jika kalian membunuh maka perbaguslah cara membunuhnya dan jika kalian menyembelih maka perbaguslah cara menyembelihnya, tajamkanlah pisaunya dan haluskanlah sembelihannya.” (HR. Ibnu Majah no. 3161).[4]

Bisa disimpulkan dari hadis diatas, bahwa dalam menyembelih hewan itu perlu etika dan tidak tergesa-gesa dalam menyembelih apalagi sampai membuat hewan tersebut tersakiti.

 

  1. Menghadap ke arah kiblat hewan yang akan disembelih

Hewan qurban yang akan disembelih disunnahkan untuk dihadapkan ke arah kiblat, yang dihadapkan ke arah kiblat itu bagian leher yang akan di sembelih. Bukan bagian wajah.  Hal itu disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah, karenanya arah kiblat tersebut dimaksud hendak mendekatkan diri kepada Allah.[5]

Selain mendekatkan diri kepada Allahﷻ, kita akan selalu ingat tujuan menyembelih hewan ini untuk apa, dan senantiasa bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh Allahﷻ. Syaikh  Abu  Malik  menjelaskan  bahwa  menghadapkan  hewan  ke  arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan   menjelaskannya.   Namun   hal   ini  hanyalah mustahab (dianjurkan).

 

  1. Membaca BismillâhI Allâhu Akbar sebelum menyembelih

Dalam syariat Islam, hewan yang ketika disembelih dengan tidak mengucapkan kalimat Allahﷻ, maka tidak akan halal daging tersebut untuk dikonsumsi. Allahﷻ  berfirman dalam al-Qur’an: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang  yang  tidak  disebut  nama Allah  ketika  menyembelihnya.Sesungguhnya  perbuatan  yang  semacam  itu adalah  suatu  kefasikan.  Sesungguhnya  syaitan  itu  membisikkan  kepada kawan-kawannya  agar  mereka  membantah  kamu;  dan  jika  kamu  menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Q.S. al-An’am [6]: 121).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, sebelum menyembelih hewan qurban diwajibkan untuk mengucapkan kalimat Allah,  itu juga sebagai pembeda dari orang kafir dan muslim dalam menyembelih hewan. Kita sebagai seorang  muslim harus selalu menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, sesungguhnya aturan itu ada untuk kebaikan kita sendiri.

 

  1. Memastikan bahwa kerongkongan atau urat leher sudah terputus

Menurut   madzhab   Hanafi   dan   Maliki,   penyembelihan   adalah   tindakan memotong  urat-urat  kehidupan  yang  ada  pada  hewan  itu,  yaitu  empat  buah  urat: tenggorokan (al-hulqûm), kerongkongan (almarî), dan  dua  urat  besar  yang  terletak  di bagian  samping  leher  (al-wadjân).  Lokasi  penyembelihan  itu  sendiri  adalah  bagian  di antara labbah (bagian  bawah  leher)  dengan lahyain (tulang  rahang  bawah).

Sementara  penyembelihan  dalam  pandangan  madzhab  Syafi’i dan Hambali adalah  tindakan  menyembelih  hewan  tertentu  yang  boleh dimakan dengan cara memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Adapun posisi dan lokasi pemotongan itu bisa di bagian atas leher (al-halq) atau dibagian bawah leher (labbah), atau  dalam  situasi  yang tidak  memungkinkan  dilakukannya penyembelihan  di  leher, maka dilakukan penikaman yang mematikan dibagian mana saja dari tubuh hewan itu.

Sehingga  dapat  disimpulkan    penyembelihan  menurut  kesepakatan  ulama  adalah melakukan  penyembelihan  di  bagian  atas  leher,  bagian  bawah  leher  atau  melakukan penikaman pada hewan yang bermaksud untuk melepaskannya nyawanya dengan jalan yang  paling  mudah,yang  kiranya  tidak  menyiksa  atau  menyakiti  hewan  dengan  alat yang  tajam  selain  kuku, tulang dan  gigi sehingga  memenuhi  syarat  kehalalan  untuk mengkonsumsinya.[6]

 

Hikmah Dari Penyembelihan

Di antara hikmah penyembelihan adalah kita bisa membedakan   antara   binatang   yang bersih dengan sebab proses penyembelihan menurut aturan Islam. Menghindarkan dari binatang yang dianggap najis karena mati tanpa disembelih, oleh  karena itu  daging qurban itu  bersih dan halal dimakan sebaliknya binatang yang tanpa menyebutkan kalimat Allah atau telah menjadi bangkai haram dimakan. Penyembelihan merupakan salah satu cara mengeluarkan darah yang bercampur dengan daging dan bagian-bagian lain terdapat pada    binatang yang disembelih. Darah najis dan hukumnya haram apabila dikonsumsi. Selain itu hikmah dari penyembelihan adalah kita senantiasa mengharapkan keridhaan dari Allah karena menjalankan perintah-Nya. dan selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita . Selain itu berqurban itu juga memudahkan dan mempercepatkan hewan tersebut mati.[7] Wa Allâhu a’lam.[]

 

 

Marâji:

[1] Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[2] Jayadi Yusuf Sukman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pemberian Daging Kurban Kepada Panitia Sebagai Upah,” Skripsi 4 (2017): 9–15

[3] H.R. Muslim no.3637. Syarh Shahih Muslim: 1967

[4] H.R. Ibnu Majah no. 3161. Shahih menurut Nashiruddin Al Albani

[5] Tribun jabar id, “Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban, Ini 6 Hal yang Harus Diperhatikan Sesuai Sunnah Rasulullah”, dikutip dari https://jabar.tribunnews.com/2019/08/05/tata-cara-menyembelih-hewan-kurban-ini-6-hal-yang-harus-diperhatikan-sesuai-sunnah-rasulullah?page=all diakses pada hari minggu 11 juli 2021

[6] Yanti Roslina Naibo dkk , “Pelaksanaan Penyembelihan Hewan (Studi Di Rumah Pemotongan Hewan Oeba Kupang)” 4,  (2021): 5-10.

[7] Ibid, hal 13

 

Download Buletin klik disini

IDUL ADHA DI ERA SECOND-WAVE COVID-19

Oleh: Shofi Latifah Nuha Anfaresi*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Idul Adha atau yang kerap kali disebut sebagai hari raya lebaran haji merupakan perayaan yang dilakukan umat Muslim di belahan dunia manapun, tidak terkecuali Indonesia, negara dengan penganut agama Islam terbanyak di dunia. Di dalam agama Islam, setiap Muslim melaksanakan shalat Idul Adha dan menyembelih hewan qurban. Hal ini ditujukan sebagai bentuk ketakwaan, ketaatan dan kecintaan kepada Allahﷻ. Qurban secara bahasa, berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti dekat atau mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Qurban dapat pula disebut sebagai Udhhiyah atau Dhahiyyah yakni hewan sembelihan. Pelaksanaan ibadah  dilaksanakan oleh seluruh umat Islam pada bulan Dzulhijjah, yakni pada tanggal 10 (nahar), 11, 12 dan 13 (tasyrik).

 

Sejarah Ibadah Qurban

Sejarah munculnya ibadah qurban erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim a.s yang memiliki posisi yang dekat dengan Allahﷻ dan juga mulia di dalam agama Islam. Nabi Ibrahim mengorbankan putranya, yakni Ismail a.s, sang buah hati satu-satunya yang sangat ia cintai. Perintah yang disampaikan melalui mimpinya itu kemudian disetujui oleh anaknya dan dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim a.s dengan sepenuh hati. Ismail a.s melalui penyembelihan tersebut kemudian diganti oleh Allahﷻ dengan seekor domba. Hal ini merupakan petunjuk dari Allahﷻ kepada umat manusia bahwa praktik pengorbanan terhadap manusia tidak diperkenankan karena kasih sayang-Nya semata[1].

Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ibadah qurban merupakan suatu ibadah yang sangat disenangi Allahﷻ yang dilaksanakan tepat pada hari raya Idul Adha, “Amalan manusia pada saat hari raya Idul Adha yang paling dicintai Allah adalah menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat (sebagai saksi) dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban itu telah terletak di suatu tempat di sisi Allah sebelum mengalir ke tanah. Karena itu bahagiakanlah dirimu dengannya.” (Hakim, Ibn Majah, dan Tirmidzi; ia mengatakan hadits ini hasan gharib).

 

Ketentuan Penyembelihan Qurban

Dalam fiqih penyembelihan hewan, terdapat standar ataupun ketentuan yang perlu diperhatikan oleh umat muslim yang terlibat dalam prosesi penyembelihan,[2] yakni:

  1. Hewan yang disembelih haruslah dalam keadaan hidup saat akan disembelih dan telah memenuhi standar kesehatan hewan dari lembaga yang berwenang.
  2. Penyembelih haruslah beragama Islam, telah baligh, memahami cara penyembelihan syar’i, memiliki keterampilan dan kemampuan menyembelih.
  3. Alat penyembelihan yang digunakan khusus untuk penyembelihan halal, harus tajam, halus, tidak bergerigi, berlubang, retak atau kerusakan lainnya. Ukuran alat disesuaikan minimal 1,5x lebar leher hewan dan tersedia minimal 2 pisau untuk penyembelihan. Pisau harus dicuci dan diasah untuk memastikan ketajamannya setiap selesai menyembelih.
  4. Pada proses penyembelihan, hewan disunnahkan untuk dihadapkan kearah kiblat dengan niat menyembelih dan menyebut bismillahi Allahu akbar. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah hewan melalui pemotongan saluran makanan, pernafasan, dan dua pembuluh darah dalam satu kali proses secara cepat (< 10 detik), tanpa mengangkat pisau dan tidak memutus tulang leher hewan.
  5. Pasca penyembelihan, hewan yang telah mati dipindahkan ke ruang pemotongan dengan adanya karkas terpisah untuk ruang penanganan jeroan, kulit, kaki dan kepala. Proses pengeluaran jeroan ini harus hati-hati supaya saluran pencernaan, kantong kemih dan empedu tidak mencemari karkas.

Prosesi tersebut diatas tentu memerlukan tenaga dan keterlibatan masyarakat secara inklusif sehingga dapat terciptanya tujuan ibadah Idul Adha yang sesuai syari’at. Sayangnya, di Indonesia sendiri, wabah COVID-19 masih belum sepenuhnya terkendali. Belum lagi, adanya jenis virus COVID-19 baru, yaitu virus COVID-19 yaitu B.117 yang berasal dari Inggris, B.1351 dari Afrika Selatan dan varian mutasi ganda yang baru-baru ini diperoleh dari India, yakni B. 1617. Hal inilah yang kemudian mengundang kekhawatiran dan kewaspadaan masyarakat di Indonesia terkait peningkatan penularan virus COVID-19. Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan Idul Adha agar tetap sesuai dengan pedoman fiqih namun berusaha pula untuk tidak menambah kasus COVID-19?

 

Qurban Saat Wabah Covid 19

Fatwa MUI mengenai Shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah COVID-19 telah diterbitkan dan dapat dijadikan sebagai acuan masyarakat yang menganut agama Islam di Indonesia untuk menjalankan ibadah di hari raya Idul Adha (MUI, 2020). Beberapa fatwa yang perlu diketahui masyarakat pada pelaksanaan hari raya Idul Adha yaitu:[3]

  1. Melaksanakan ibadah qurban hukumnya sunnah muakkad, dilaksanakan dengan melakukan penyembelihan hewan ternak.
  2. Ibadah qurban tidak dapat diganti dengan uang ataupun barang lain yang senilai, meski ada hajat dan kemaslahatan yang dituju. Apabila hal itu dilakukan, maka hal ini dihukumi sebagai shadaqah.
  3. Ibadah qurban dapat dilakukan dengan cara taukil, yaitu pequrban menyerahkan sejumlah dana seharga hewan ternak kepada pihak lain, baik individu maupun lembaga sebagai wakil untuk membeli hewan qurban, merawat, meniatkan, menyembelih, dan membagikan daging qurban.
  4. Pelaksanaan penyembelihan qurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah dan meminimalisir potensi penularan
  5. Pemerintah memfasilitasi pelaksanaan protokol kesehatan dalam menjalankan ibadah qurban agar dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan terhindar dari potensi penularan Covid-19.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 114/Permentan/PD.410/9/2014 dan Surat Edaran Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor: 0008/SE/PK.320/F/06/2020[4] , maka;

  1. Masyarakat sangat dianjurkan untuk melakukan pembatasan jumlah petugas penyembelihan dan pendistribusian dengan mematuhi protokol kesehatan dan memastikan seluruh petugas terbukti sehat.
  2. Masyarakat direkomendasikan untuk tidak memaksakan pelaksanaan penyembelihan hanya pada tanggal 10 Dzulhijjah saja, namun dapat dilakukan pada hari tasyrik sehingga pada tanggal tersebut tidak terjadi penumpukan jumlah petugas dan sibuknya golongan masyarakat yang ikut terlibat dalam penerimaan. Hal ini akan menjamin pula produk hewan yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
  3. Masyarakat harus melakukan perencanaan pengaturan desain lokasi, alur proses dan pembagian tugas personil yang tepat sehingga proses penyembelihan berjalan efektif dan efisien sehingga dapat meminimalisir potensi penularan virus COVID-19.

Masyarakat melalui acuan peraturan pemerintah diharapkan dapat saling bekerjasama dan berikhtiar semaksimal mungkin untuk melaksanakan ibadah qurban dengan menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan, yakni selalu menggunakan APD (alat pelindung diri) berupa masker, sabun cuci tangan/hand sanitizer dan menjaga jarak. Semoga Allahﷻ meridhai ikhtiar kita semua.Âmîn.[]

 

Marâji’:

 

* Alumni FTSP UII

[1] Jayusman. 2012. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Qurban Kolektif. Al-’Adalah 10(4), pp. 435-446

[2] Handoko, S., Satyadarma, W., Nugroho, W.S. 2020. Panduang Praktis  di Era New Normal. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Hal 65-67

[3] Fatwa MUI mengenai Shalat Idul Adha Dan Penyembelihan Hewan Qurban Saat Wabah COVID-19 No. 36 Tahun 2020

[4] Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 114/Permentan/PD.410/9/2014

 

Mutiara Hikmah

 

Dari Abu Ayyub a yang mengatakan,

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” (H.R. Tirmidzi, ia menilainya shahih, Minhaajul Muslim, Hal. 264 dan 266).

 

Download Buletin klik disini

AYO BERQURBAN

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca yang dirahmati Allahﷻ, berqurban merupakan salah satu amalan baik dan sunnah untuk dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allahﷻ, seperti hadits dari Asy-Sya’bi dari al-Barra’ dia berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (‘idul adha) adalah mengerjakan shalat kemudian pulang dan menyembelih binatang qurban, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia telah bertindak sesuai dengan sunnah kita, dan barang siapa menyembelih binatang qurban sebelum (shalat ied), maka sesembelihannya itu hanya berupa daging yang ia berikan kepada keluarganya, tidak ada hubunganya dengan ibadah qurban sedikitpun. Lalu Abu Burdah Bin Niyar berdiri seraya berkata;“sesungguhnya aku masih memiliki jad’ah, maka beliau bersabda, “sembelihlah namun hal itu tidak untuk orang lain setelahmu”. (H.R Bukhari no.5119).[1]

 

Manfaat Berqurban

Berqurban banyak memiliki manfaat, diantara manfaatnya adalah:

Bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah

Segala sesuatu di muka bumi ini merupakan titipan dari Allahﷻ, harta, tahta, jabatan semua bersifat  sementara dan akan hilang pada waktunya, dengan kita menyisihkan sebagian harta kita untuk berqurban, itu merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur kita kepada Allahﷻ, yang telah memberikan nikmat yang tidak terhitung banyaknya.selain itu kita akan menyadari bahwa dunia ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak saling memberi dan menerbarkan kebaikan sekaligus memberikan manfaat kepada orang lain.

Allahﷻ berfirman dalam al-Qur’an:“(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan salat dan orang yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka.” (Q.S. al-Hajj [22]:35).

Dari ayat di atas mengajarkan bahwa berapapun rezeki yang diberikan Allahﷻ kita sebagai manusia  patut untuk bersyukur dan terus berusaha untuk mencapai Ridha-Nya

 

Amalan yang dicintai oleh Allah

Qurban merupakan salah satu amalan yang lebih dicintai Allahﷻ, kenapa begitu? Karena orang yang melakukan qurban itu sangat jarang apalagi di hadapkan di masa sekarang. Sekarang ini banyak orang mampu secara finansial untuk bisa berqurban tetapi enggan untuk melaksanakan, tetapi sebaliknya orang yang dianggap tidak mampu secara finansial malahan berusaha untuk menabung untuk membeli hewan qurban untuk diserahkan ke masjid sekitar. Selain di cintai Allahﷻ orang yang berqurban juga akan di hormati dan akan dicintai oleh orang-orang sekitar.

Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah: “Tidak ada amalan yang dilakukan oleh anak Adam pada hari Nahr (Idul Adhha) yang lebih dicintai oleh Allah selain dari pada mengucurkan darah (hewan qurban). Karena sesungguhnya ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berqurban.” Ia berkata; “Dalam bab ini ada hadits serupa dari Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam.” Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan gharib, kami tidak mengetahui hadits ini dari Hisyam bin Urwah selain dari jalur ini. Dan Abul Mutsanna namanya adalah Sulaiman bin Yazid. Dan Abu Fudaik telah meriwayatkan hadits darinya.” Abu Isa berkata; “Telah diriwayatkan dari Rasulullahﷺ, Bahwasanya beliau pernah bersabda tentang qurban; “Pemiliknya akan mendapat satu kebaikan dari setiap bulunya.” Dalam riwayat lain, “Dengan setiap tanduknya.” (H.R.Tirmidzi Nomor 1413).[2]

 

Sebagai bentuk rasa cinta kepada saudara kita yang kurang mampu

Sebagai seorang muslim kita senantiasa untuk berbuat baik dan membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu, berqurban merupakaan salah satu bentuk wujud kita mencintai atau mengungkapkan rasa kasih sayang kita kepada saudara  muslim. Allahﷻ berfirman, “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”. (Q.S. al-Hajj [22]:34).

Dari ayat diatas bisa kita ambil hikmahnya bahwa semua orang mempunyai rezeki yang telah diatur, dan setiap kebaikan pasti akan dibalas oleh Allah berkali-kali lipat, termasuk berqurban

 

Pahala yang begitu besar, dari 1 tetes darah mulai di hitung pahala yang mengalir

Semua yang ada dunia ini akan menjadi saksi tentang apa yang kita perbuat, mulai dari anggota badan seperti: tangan, kaki, mata kecuali mulut yang akan terkunci dan juga  benda yang tidak bergerak seperti batu ,daun dan lain-lain yang ada bersama kita.  pahalanya orang yang berqurban itu semuanya di hitung bahkan dari satu tetes darah sekalipun ikut di hitung sebagai pahala yang telah di kerjakan, berqurban itu hukumnya sunnah dan hanya untuk orang yang mampu untuk berqurban. Tidak ada paksaan dalam berqurban.

Rasulullah bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai oleh Allah dari Bani Adam ketika hari raya Idul Adha selain menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat (sebagai saksi) dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban telah terletak di suatu tempat di sisi Allah sebelum mengalir di tanah. Karena itu, bahagiakan dirimu dengannya.” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim).[3]

 

Menjaga silaturrahim

Berqurban  memberikan manfaat yang sangat besar salah satunya menyambung silaturrahim. dengan  berqurban akan terbentuk nilai kekeluargaan antar tetangga, kerabat dan orang-orang sekitar. Mulai dari proses penyembelihan hewan ternak yang butuh ekstra untuk mengangkat dan menjaga agar hewan yang baru disembelih tidak kabur atau lari, kerjasama tim juga sangat dibutuhkan dalam proses  pemotongan  daging, kulit, tulang. sampai mendata warga yang memang pantas untuk dibagi daging dan membagikan kepada orang-orang sekitar merupakan bentuk interaksi yang bisa memperkokoh silaturrahim agar terciptanya sebuah masyarakat yang aman, tertib dan saling gotong royong.

Allahﷻ berfirman, “Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” (Q.S. Muhammad [47]: 22-23).

Dari ayat diatas sudah jelas bahwa menjaga silaturrahim itu penting, dan bahkan ada ancaman sendiri jika memutuskan silaturrahim, dengan berqurban akan diharapkan tali silaturrahim semakin kuat dan semakin terjaga. Wa Allâhu a’lam.

 

 

Penyusun:

Nur Laelatul Qodariyah

Mahasiswa Fakultas Ilmu Agama Islam,

Universitas Islam Indonesia.

 

[1] H.R. Bukhari no. 5119. Shahih menurut ijma’ ulama.

[2] H.R.Tirmidzi no.1413. Shahih menurut ijma’ ulama.

[3] Tribun Timur, “Begitu Besar Pahala Berqurban, Mulai Tetes Darahnya Dihitung 10 Malaikat”, dikutip dari https://makassar.tribunnews.com/2015/09/23/begitu-besar-pahala-berqurban-mulai-tetes-darahnya-dihitung-10-malaikat, diakses pada hari minggu tanggal 4 juli 2021 jam 14.04

 

 

Mutiara Hikmah

 

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (Q.S. al-Haj [22]: 37)

 

 

Download Buletin klik disini

AMALAN UTAMA DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Diantara kasih sayang Allahﷻ terhadap hamba-Nya, Allahﷻ menjadikan untuk mereka (kaum muslim) bulan-bulan ketaatan, dimana di dalamnya dianjurkan untuk mereka memperbanyak amal shalih, salah satunya adalah amalan di bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah sendiri merupakan salah satu bulan yang dimuliakan di dalam ajaran agama Islam. Bahkan para ulama mengatakan, apabila ada bulan yang dapat menandingi keutamaan bulan Ramadhan, maka bulan itu adalah bulan Dzulhijjah.

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas R.A berikut, “Tidak ada satu amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shalih yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabiﷺ menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (H.R Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibu Majah)[1].

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allahﷻ, “Dan demi malam yang sepuluh.” (Q.S. al-Fajr [89]: 2). Di sini Allahﷻ menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat.

Karena keutamaan yang banyak inilah, maka disyari’atkan mengerjakan amal-amal shalih dan diberi ganjaran yang luar biasa. Di antara amal-amal tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Berpuasa pada 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi mengatakan, “Rasulullahﷺ biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya.” (H.R. Abu Dawud)[5]

Apabila kita tidak mampu mengerjakan puasa selama 9 hari berturut turut seperti bunyi hadits di atas, maka setidaknya kita dianjurkan untuk jangan melewatkan salah satu puasanya, yaitu puasa Arafah. Karena Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya” (H.R. Muslim)

 

  1. Memperbanyak Dzikir dan Takbir.

Sebagaimana firman Allahﷻ, “… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”. (Q.S. al-Hajj [22]: 28).

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar R.A. “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. (HR. Ahmad).

 

  1. Menunanikan Haji dan Umroh bagi yang mampu.

Allahﷻ berfirman, “Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu.” (Q.S. al Baqarah [2]: 197). Yang dimaksudkan dengan haji dalam ayat di atas adalah ihram untuk haji bisa dilaksanakan dalam bulan-bulan yang sudah ditentukan, yaitu: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Selain bulan-bulan tersebut, maka ihram seseorang untuk haji tidak sah. Bahkan hampir sebagian semua prosesi manasik haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah.

 

  1. Memperbanyak amalan shali

Amal shalih yang dapat dilakukan dapat berupa sedekah, memperbanyak membaca al-Qur’an, dan berbagai macam amal shalih lainnya yang dapat meningkatkan iman kita dan juga pahala yang berlipat ganda.

Allahﷻ berfirman menceritakan saat-saat seseorang menjelang ajalnya, “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (Q.S. al Munâfiqûn [63]: 10)

Begitupula dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, Rasulullâh bersabda, “Al Qur’an adalah sebaik-baik dzikir.” (H.R. Ibnu Khuzaimah, Shahih)

 

  1. Berqurban

Qurban adalah ibadah yang disyari’atkan setahun sekali dan dilaksanakan di bulan Dzulhijjah. Allahﷻ berfirman, “Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berqurbanlah!” (Q.S. al-Kautsar [108]: 2)

Hal ini juga merupakan sunnah Nabi Ibrahim A.S, yakni ketika Allahﷻ menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu“. (H.R. Bukhori no. 5558, Muslim no. 1966 ).

Rasulullaah bersabda, Dari Anas bin Malik R.A, ia berkata bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (H.R. Bukhari no. 5546).

Dari Hadits dan juga ayat Al-Qur’an di atas, menunjukkan bahwa ibadah qurban itu merupakan kekhususan dan syi’ar yang hanya terdapat pada bulan Dzulhijjah. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hendaknya kita sebagai umat muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allahﷻ, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan, memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allahﷻ agar mendapat ridha-Nya. Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allahﷻ, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allahﷻ. Wallâhu a’lam.[]

 

Marâji’:

[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

[2] Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.

[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.

[4] Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.

[5] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

 

Penyusun:

Haritsa Taqiyya Majid

Alumni Fakultas Teknologi Industri

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah

 

Abu Hurairah a, ia berkata bahwa Rasulullâh bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (H.R. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

 

Download Buletin klik disini

 

KEUTAMAAN BULAN HARAM (ASYHURUL HURUM)

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, sudah diketahui bahwa kita sudah memasuki bulan Dzulqa’dah. Artinya tiga bulan berturut-turut mulai Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan satu bulan lagi terpisah yaitu bulan Rajab, menjadi bagian dari bulan haram (bulan yang dimuliakan). Bulan-bulan ini dinamakan bulan haram karena kemuliaannya. Segala amal shalih yang dikerjakan akan mendapatkan pahala lebih besar dari pada di bulan lainnya. Begitupun sebaliknya segala perbuatan dosa yang dikerjakan akan mendapat siksaan yang lebih besar dari pada bulan lainnya.

Hal ini sesuai degan firman Allahﷻ dalam surah At-Taubah ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah, di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan yang haram, itulah ketetapan agama yang lurus maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Q.S. at Taubah [9]: 36)

Bulan-bulan haram sangat dimuliakan, sehingga tidak boleh berbuat kezhaliman, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Bentuk kezhaliman dapat berupa meninggalkan apa yang diwajibkan Allahﷻ dan melakukan apa yang dilarang Allahﷻ. Di luar bulan-bulan haram, tentu saja ketentuan tersebut juga berlaku.

Hanya saja ketika bulan haram lebih ditekankan, karena pahala dan dosa yang didapat lebih besar dari pada bulan lainnya. Sehingga umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Selain keutamaan tersebut, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalan bulan haram menambah kelengkapan dari keistimewaan bulan-bulan ini.

 

  1. Dzulqa’dah.

Secara bahasa, Dzulqa’dah terdiri dari dua kata: Dzul, yang artinya: Sesuatu yang memiliki dan al Qa’dah, yang artinya tempat yang diduduki. Bulan ini disebut Dzulqa’dah, karena pada bulan ini, kebiasaan masyarakat arab duduk (tidak bepergian) di daerahnya dan tidak melakukan perjalanan atau peperangan. (al-Mu’jam al-Wasith, kata: al-Qa’dah)[1]

Begitu juga orang-orang Arab dulu tidak melakukan peperangan (qu’ud ‘anil qitaal). Bulan ini juga menjadi salah satu rangkaian dari bulan haji, yaitu Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, tidak sah ihram untuk haji apabila dilakukan selain waktu tersebut. Keistimewaan bulan ini adalah 30 malam dari bulan Dzulqa’dah telah disebutkan oleh Allahﷻ dalam  surah al-A’raf ayat 142, “Dan kami telah menjanjikan kepada Musa untuk memberikan kepadanya kitab Taurat setelah berlalu tiga puluh malam (bulan Dzulqa’dah), dan kami sempurnakan jumlah itu dengan sepuluh malam lagi (sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya menjadi empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam memimpin kaummu, dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-A’râf [7]: 142)[2]

 

  1. Dzulhijjah.

Bulan Dzulhijjah menjadi bulan berkumpulnya ibadah-ibadah utama, seperti shalat, puasa, haji dan qurban. Maka wajar jika bulan ini termasuk bulan yang dimuliakan. Bulan Dzulhijjah memiliki banyak keutamaan, salah satunya terletak pada sepuluh hari pertama.

Selain itu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah juga dijadikan sebagai salah satu media bersumpah oleh Allahﷻ. Hal ini termaktub dalam surah al-Fajr ayat ke-2, “Dan (demi) malam-malam yang sepuluh.” Kemuliaan bulan ini juga selaras dengan banyaknya peristiwa penting yang menyertainya, seperti kisah Nabi Ibrahim yang diperintahakan Allahﷻ untuk menyembelih Nabi Ismail. Kemudian pada tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Pada bulan ini juga Allahﷻ memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji, dan qurban.[3]

 

  1. Muharram

Bulan ini dinamakan muharram karena bangsa Arab dulu telah sepakat untuk mengharamkan peperangan pada bulan ini. Di bulan Muharram terdapat hari Asyura yang merupakan hari kesepuluh dari bulan ini dan mempunyai keutamaan yang sangat besar. Sehingga umat Islam sangat dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana hadits dari Abu Qatadah, beliau mengatakan, “Nabiﷺ ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (H.R. Muslim 1162). Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abu Hurairah, Nabiﷺ bersabda,  “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (H.R. Muslim)

Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan, “Rasulullahﷺ menuju kota Madinah ketika orang-orang Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, kemudian Nabiﷺ bersabda,”Hari apa ini, hingga membuat kalian berpuasa? Mereka menjawab, “Hari ini hari mulia, hari dimana Allahﷻ telah menyelamatkan Musa dari kejaran Fir’aun bersama kaumnya dan menenggelamkan mereka. Mereka berpuasa di hari ni sebagai tanda syukur.” Rasulullahﷺ pun bersabda, “Kita lebih berhak atas Musa dari pada kalian”. Kemudian Rasullullah pun berpuasa seketika itu dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa (H.R. Bukhari).[4]

 

  1. Rajab.

Dinamakan bulan Rajab, dari kata rajjaba – yurajjibu yang artinya mengagungkan. Bulan ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab.[5] Seperti yang disebutkan dalam hadits, Nabiﷺ bersabda, “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut: Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan sya’ban.” (H.R. al-Bukhari dan  Muslim)

Disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain. Kemudian, Nabiﷺ memberi batasan: antara Jumadil (tsaniyah) dan sya’ban, sebagai bentuk menguatkan makna. (Umdatul Qori, 26/305)[6]

Dengan demikian, masing-masing bulan haram memiliki keistimewaan yang telah dijamin oleh Allahﷻ. Oleh karena itu, hendaknya umat Islam memanfaatkan bulan-bulan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ dengan meningkatkan kualitas ibadahnya.

Marâji’

 

[1] Baca selengkapnya: https://konsultasisyariah.com/28225-mengenal-bulan-dzulqadah.html

[2] Rohmad, Nur. Keutamaan Bulan Dzulqa’dah dan Peristiwa Penting di Dalamnya. https://islam.nu.or.id/post/read/121402/khutbah-jumat-keutamaan-bulan-dzulqadah-dan-peristiwa-penting-di-dalamnya. 2020

[3] Luthfi, Hanif. Amalan Ibadah Bulan Dzulhijjah. Jakarta: Rumah Fiqih. 2020

[4] Sa’adah, Siti Zumratus. Menggapai Berkah di Bulan-Bulan Hijriyah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2015 (muharam)

[5]  Keterangan Al Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, hal. 210

[6] Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/2045-bulan-rajab.html

 

Penyusun:

Nailis Sa’dah, S.Hub.Int

Alumni FPSB UII

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah n, beliau mengatakan,

أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ: صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku berwasiat kepadaku dengan 3 hal, agar jangan sampai kutinggalkan sampai aku mati: Puasa 3 hari setiap bulan, shalat dhuha, dan tidur setelah witir.” (H.R. Bukhari no.1178, dan Muslim no. 721).

Download Buletin klik disini

MANAJEMEN KEUANGAN UNTUK MELAKUKAN IBADAH QURBAN

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘ala rasulillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, Idul Adha merupakan salah satu hari besar umat Islam yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, lebaran ini juga dikenal dengan “Lebaran Qurban” sebab ketika pada hari tersebut umat Islam di syariatkan untuk melakukan Qurban. Hal ini tertuang dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 34, “Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira pada orang-orang yang tunduk (patuh) pada Allah.” (Q.S. al-Hajj [22]:34).

Dalam tafsir Jalalayn disebutkan bahwa syariat berqurban tidak hanya untuk umat Islam saat ini saja, umat terdahulu juga mendapatkan perintah yang sama. Oleh karena itu, berqurban merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan selain untuk menolong sesama dengan membagi hasil qurban kepada masyarakat khususnya masyarakat kuirang mampu, berqurban menjadi salah satu fasilitas bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Hal ini dapat dilihat dari cara menyembelih hewan qurban yang diharuskan menyebut nama Allah.

 

Hewan Qurban

Dari ayat di atas juga dapat diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa sesungguhnya hewan qurban itu tidak sah kecuali dari hewan ternak, yaitu: unta, sapi (termasuk kerbau), kambing (termasuk biri-biri) dan segala macamnya, baik jantan atau betina. Qurban tidak boleh dengan selain binatang ternak (bahimatul an’am) seperti sapi liar, kijang dan sebagainya.

 

Hukum Berqurban

Ulama berbeda pendapat terkait hukum dari berqurban bagi umat Islam, antara lain sebagai berikut;

  1. Dalam kitab al-Umm Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum melakkan Qurban adalah sunnah, kendati demikian beliau senantiasa berqurban setiap tahunnya.[1]
  2. Dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik menyataka bahwa hukum berqurban adalah sunnah, pendapat beliau selaras dengan pendapat Imam syafi’I yang sangat tidak menyukai umat Islam yang mampu berqurban tetapi memilih tidak berqurban karena hukumya sunnah.[2] 
  3. Menurut Imam Abu Hanifah hukum berqurban adalah wajib bagi yang mampu, sedangkan mazhab-mazhab selain Hanafiyyah seperti Hanabilah, Syafi’iyyah, Malikiyah, dan Zhahiriyyah mengatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakkad bagi yang mampu dan makruh bagi yang mampu tetapi tidak berqurban.[3]

 

Mengatur Keuangan Agar dapat Berqurban

Kondisi ekonomi negara yang mendapatkan dampak negatif dari pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada perekonomian masyarakat khususnya dari kalangan menengah ke bawah, bukanlah hal baru jika masyarakat beranggapan bahwa melakukan ibadah qurban tahun ini lebih sulit dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Terdapat beberapa cara untuk mengatur keuangan agar bisa melakukan ibadah qurban pada saat lebaran qurban, antara lain;

  1. Niat yang Kuat

Dalam Islam, tujuan atau niat setiap tindakan mukallaf menjadi tolak ukur untuk menghukumi, niat baik yang belum terlaksanan akan bernilai ibadah akan tetapi niat buruk tidak akan bernilai keburukan (dosa) jika belum dilasksanakan. Oleh karena itu, sudah seharusnya seseorang yang mempunyai keinginan untuk beribadah qurban menanamkan niat tersebut dan berusaha semaksimalkan mungkin untuk merealisasikannya, tanpa adanya keinginan yang kuat maka cukup sulit untuk mewujudkan hal tersebut, sebab keinginan yang kuat akan mendorong seseorang untuk berkomitmen dan mencari celah untuk merealisasikannya.

  1. Menjadikan Tujuan Keuangan

Seseorang yang ingin melakukan ibadah qurban harus menjadikan berqurban sebagai salah satu tujuan dari alokasi dana/keuangannya, niat seseorang untuk berqurban dapat terlaksana jika terdapat dana yang dialokasikan untuk berqurban.

  1. Menabung Mandiri atau Berinvestasi 

Dana yang hendak di alokasikan untuk berqurban bisa ditabung secara mandiri atau dengan membuka rekening baru yang khusus untuk dana qurban. Untuk keberhasilan menabung harus ditentukan terlebih dahulu kisaran dana yang akan disisihkan untuk menbaung biaya qurban, kisaran tersebut akan bergantung kepada estimasi harga hewan qurban.

Contohnya: jika di tahun depan harga kambing bisa mencapai Rp 2,5 juta dan untuk sapi bisa mencapai sekitar Rp16 juta. Jumlah tersebut dibagi menjadi 10 bulan agar dana terkumpul sebelum lebaran tiba, jadi setiap bulannya harus menyicil Rp 250 ribu untuk kambing dan 1,6 juta perbulannya untuk seekor sapi. Akan tetapi, dana ditabung secara mandiri berisiko akan sangat mudah diambil dan digunakan untuk keperluan lain dengan demikian menabung secara mandiri mempunyai peluang cukup besar untuk gagal berqurban.

Selain menabung secara mandiri, investasi salah satu cara yang efektif untuk bisa melakukan ibadah qurban, investasi yang paling aman adalah investasi emas sebab harga emas sangat jarang turun bahkan cenderung mengalami kenaikan,

  1. Arisan atau Patungan Qurban

Dalam hal ini setiap anggota arisan akan melakukan cicilan, setiap kelompok akan melakukan pembelian hewan qurban atas nama salah satu kelompok dan akan bergantian setiap tahunnya, Namun yang harus diperhatikan adalah memastikan anggota yang bergabung orang yang amanah agar tidak ada penipuan dan pihak yang merasa dirugikan, dan yang paling utama adalah transaksi yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

  1. Melalui pihak Ketiga

Jika menabung, investasi dan patungan qurban tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, maka menggunakan bantuan pihak ketiga. Cara ini cukup evektif untuk merealisasikan keinginan untuk berqurban, saat ini sudah banyak lembaga masyarakat atau lembaga keuangan yang menyediakan jasa tabungan untuk ibadah qurban yang berpaket sesuai dengan jangka waktu dan harga hewan qurban yang diinginkan.

 

Perhatikan Sebelum Diaplikasikan

Sebelum semua cara di atas diaplikasikan harus diperhatikan terlebih apakah kita sudah layak atau sudah memenuhi syarat untuk berqurban, jika dengan melakukan ibadah qurban yakni menyisihkan dana untuk menyicil atau membeli hewan qurban tidak memberi pengaruh yang negatif terhadap pemenuhan kebutuhan primer maka kita sudah layak untuk berqurban. Dana yang bisa kita gunakan untuk dialokasikan atau disisihkan untuk berqurban bisa diambil dari bonus, berbagai tunjangan khususnya tunjangan hari raya.

Ketika hari raya Idul Fitri masyarakat cenderung menggunakan dana tunjangannya untuk membeli pakaian baru, menghias rumah atau keperluan sekunder lainnya untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Untuk mengurangi biaya cicilan atau besarnya dana yang harus disisihkan bisa mengalokasikan sebagian dana Hari Raya Idul Fitri untuk berqurban di hari raya Idul Adha. Dengan demikian kita tidak hanya memeriahkan hari raya Idul Fitri tetapi juga memeriahkan Idul Adha sekaligus melakukan ibadah qurban.[]

 

[1] Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Daral-Fikri, tt) Jilid I, hal. 243.

[2] Imam Malik bin Annas, al-Muwattha’, (Beirut: DarAl-Fikri, tt), h. 304

[3] Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyi al-Khatani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. ke-2, h.

 

 

Penyusun:

Nafilatur Rohmah

 

Mutiara Hikmah

Allahﷻ berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Q.S. al-Hajj [22]: 37)

Download Buletin klik disini

JANGAN LUPA BAYAR HUTANG PUASAMU!

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.

Bapak/Ibu dan seluruh pembaca yang diberkahi Allahﷻ. Bulan Ramadhan telah berlalu dan kita juga sudah menyambut datangnya bulan Syawal dengan semangat Idul Fitri yang suci dan penuh suka cita. Meski Idul Fitri tahun ini masih dengan suasana duka corona namun kita tidak boleh berkecil hati karena pasti ada hikmah dibalik semua ujian yang ada. Allahﷻ berfirman dalam al-Qur’an “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S.At-Tagabun [64]:11)

Pembaca yang budiman, ada hal penting yang harus kita ingat selepas perginya bulan Ramadhan yaitu hutang puasa Ramadhan kita. Seperti kita ketahui bersama, hukum dari puasa Ramadhan ini wajib bagi orang Islam yang balig, berakal, sehat, mampu dan mukim. Berdasarkan hal ini jika kita termasuk kriteria tersebut dan sudah melaksanakan puasa Ramadhan maka kita harus ingat apakah kita memiliki hutang puasa atau tidak.

Penting bagi kita mengetahui hutang puasa kita karena sama seperti hukum disyariatkannya puasa Ramadhan yaitu wajib maka membayar hutang puasanya pun berarti wajib bagi kita yang berhalangan saat itu. Jangan sampai karena terlena dengan waktu, kita akhirnya lupa membayar hutang puasa Ramadhan kita. Hukum wajibnya kita berpuasa ini disebutkan Allahﷻ dalam al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).

 

Hal yang Menyebabkan  Hutang Puasa

Ada banyak hal yang menyebabkan kita akhirnya memiliki hutang puasa dan wajib mengqadhanya atau membayarnya. Jika untuk perempuan lumrahnya  hutang puasa disebabkan karena haid bulanan dan nifas. Tapi tidak hanya itu saja, penyebab batalnya puasa atau hal yang menyebabkan kita tidak mampu berpuasa pada bulan ramadhan bisa saja terjadi baik pada perempuan maupun laki-laki seperti orang yang bermusafir saat Ramadhan, sakit, orangtua yang sudah tidak mampu berpuasa dan lain sebagianya. Sehingga hutang puasa ini bisa berlaku bagi siapa saja yang sudah mukallaf baik perempuan maupun laki-laki.

Pembayaran hutang puasa ini tentunya dengan kembali berpuasa setelah bulan Ramadhan berakhir, namun dalam beberapa kasus hutang puasa juga bisa dilakukan dengan cara membayar fidyah. Untuk pembayaran fidyah ini dikhususkan bagi mereka yang sudah tidak mampu mengqadha puasanya. Biasanya ini terjadi untuk para orangtua yang sudah sangat berumur atau orang yang sakit tapi sudah tidak mampu lagi berpuasa sepanjang umurnya. Kadang kita masih mendapati beberapa orang yang menyangka bahwa fidayah bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki hutang puasa. padahal tidak demikian hukumnya.

Sebagaimana dijelaskan diatas, ada penekanan bahwa yang boleh membayar hutang puasa dengan cara fidyah hanyalah mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa sepanjang usianya. Penegasan mengenai fidyah ini dijabarkan Allahﷻ dalam firmannya, “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah [2]:184)

Lalu bagaimana dengan perempuan yang memiliki hutang puasa karena haid, hamil, menyusui, dan nifas? atau bagaimana dengan mereka memiliki hutang puasa karena bermusafir atau sakit ? Nah untuk menjawab hal ini maka kita bisa merujuk pada firman Allahﷻ di surat yang sama yaitu “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (Q.S. al-Baqarah [2]:185)

 

Niat membayar hutang puasa

Niat menjadi hal pokok dalam melakukan suatu perbuatan apalagi ibadah. Dengan niat kita bisa membedakan suatu perbuatan apakah perbuatan itu merupakan  ibadah atau adat kebiasaan. Selain itu, kita juga bisa membedakan kualitas sebuah perbuatan apakah itu perbuatan baik atau perbuatan jahat. Terakhir, dengan niat kita juga bisa menilai sah dan tidaknya suatu ibadah serta membedakannya dari segi hukum apakah ibadah itu wajib atau sunnah.

Demikian pentingnya niat dalam ibadah yang kita lakukan, maka hal itu juga sangat penting ketika kita ingin membayar hutang puasa kita. Sebelum melakukannya kita harus berniat agar puasa yang kita lakukan bernilai ibadah dalam rangka membayar hutang puasa kita.  Adapun niat puasa qadha Ramadhan  adalah “Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhaa’i  fardhi syahri Ramadhaana lillaahi ta‘aalaa”.  artinya “Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadan esok hari karena Allah Ta’ala.”

Adapun niat membayar fidyah atas hutang puasa kita adalah “Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata’an ifthori shaumi ramadlana fardha lillahi ta’ala”. Artinya “Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan fardlu karena Allah.”

 

Pentingnya menyegerakan membayar hutang puasa

Allahﷻ berfirman dalam QS. Al-Mu’minun ayat 61 bahwa “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Q.S. al-Mu’minun [23]: 61). Berdasarkan firman Allahﷻ tersebut kita bisa memahami bahwa menyegerakan membayar hutang itu sangat dianjurkan karena hutang puasa adalah hal yang wajib dipenuhi untuk mendapatkan kebaikan bagi diri kita sendiri. Jangan sampai kita terlena oleh waktu dan menunda-nunda membayarnya hingga akhirnya lupa dan mendapat dosa. Na’ûdzu Billahi Min Dzâlik.

Selain itu,  hal yang perlu kita ketahui bersama bahwa hutang bisa menjadi penghalang bagi  diterimanya amal seseorang, termasuk orang yang sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, Mari bersegera membayar hutang-hutang kita termasuk hutang puasa kita.

Akhirnya dengan adanya tulisan ini semoga kita semua bisa memetik hikmah dari kewajiban berpuasa dan membayar hutang puasa agar amal kita bisa sampai kepada-Nya dan bisa mendapatkan ampunan dan kemudahan dari Allahﷻ serta syafaat nabi Muhammadﷺ. Semoga kita termasuk umatnya yang beriman dan beramal shalih. Âmînyâ rabbal ‘âlamîn.

 

Penyusun :

Eva Fadhilaha

Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam

Universitas Islam Indonesia

 

 

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah a, Rasulullah ﷺ bersabda,

 

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

 

Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi(Musnad Ahmad II/440, 475, 508; Sunan at-Tirmidzi no. 1078-1079; Sunan ad-Darimi II/262; Sunan Ibnu Mâjah no. 2413).

 

Download Buletin klik disini