Sabar Di Era New Normal

Sabar Di Era New Normal

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

New normal sebuah kata baru yang kita dengar setelah melewati masa pandemi Covid-19 yang sudah melanda bumi kurang lebih selama empat bulan ini. Definisi new normal yang dikemukakan Pemerintah Indonesia adalah sebuah tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19. Beradaptasi yang dimaksud  melestarikan kebiasaan hidup yang baik selama pandemi ini dalam menyongsong kehidupan layaknya normal kembali, namun penuh ekstra hati-hati.

Untuk di Indonesia sendiri melirik dari updatetan informasi yang dirilis oleh gugus tugas percepatan penanganan Covid-19  per hari ini 7 Juni 2020  dapat diperoleh data kasus komulatif korban yang positif adalah sebanyak 31.186 jiwa yang tersebar dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Dilihat dari grafik penyebarannya, masih ada terjadi penambahan kasus namun tidak melambung tinggi. Ini menandakan  Covid-19 nya masih ada dan tetap diwaspasai penyebarannya dalam menjalani kehidupan new normal saat ini.

Sebuah keniscayaan yang tidak pernah sama sekali kita duga untuk terjadi, Covid-19 menyerang dalam kemasifan yang mengakibatkan interaksi satu dan lainnya sangat dibatasi di seantero jagad bumi. Begitu banyak himbauan dalam gerak memutus rantai penyebaran virus ini. Begitu banyak kebijakan demi kebijakan yang muncul dalam menghadapi perkara ini. Sungguh ditekankan untuk melakukan social distancing dan stay at home dengan sangat ketat menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Di era new normal ini banyak hal yang membuat rasa sabar dan syukur  kita harus di lejitkan. Selama pandemi ini keluar ungkapan bahwa “rasa sabar mana lagi yang harus ku pendam dalam mengagumi dirimu wahai Covid-19” bukan nyayi ya, tapi realita kehidupan yang kita hadapi bersama. Betapa tidak, bisa kita rasakan begitu kagetnya kita yang tiba-tiba bebas bergerak dalam beraktifitas sekarang begitu banyak petatah-petitihnya. Semua memang harus dijalankan dengan penuh rasa sabar agar hidup tidak terasa hambar.

Kata sabar sendiri berasal dari bahasa arab yaitu as-Shabru, merupakan masdar dari fi’il madhi yang berarti menahan diri dari keluh kesah. Ada juga yang mengatakan as-Shibru dengan mengkasrahkan shad-nya yang berarti obat yang sangat pahit dan tidak enak. Imam Jauhari memahami kata sabar yang bentuk jamaknya berupa lafad (صُبُرٌ) dengan menahan diri ketika dalam keadaaan sedih atau susah. Dari kata sabar ini dapat disarikan bahwa dalam kondisi apapun, berjuanglah untuk  menahan diri  hal yang dapat merusak keteguhan diri yang mendekatkan pada keputusasaan.

Salah satu penyebab munculnya kondisi new normal adalah jika sudah melewati masa-masa sulit dari wabah yang menglobal. Untuk abad ke-21 ini, wabah yang melanda bernama Covid-19. Perlu kita ketahui bahwa wabah juga pernah terjadi  di zaman Rasulullah ﷺ, yakni ketika Nabi ﷺ melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Diceritakan saat itu di Madinah dalam keadaan buruk dengan air keruh dan penuh wabah penyakit. Nabi ﷺ pun meminta para sahabat agar menghadapi wabah itu dengan sabar dengan tetap berharap pertolongan dari Allah ﷻ.

Seperti diceritakan Aisyah, mereka yang bersabar dijanjikan syahid. “Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya)”. (HR Bukhori). Jika umat muslim menghadapi hal ini, seperti yang kita hadapi sekarang, dalam sebuah hadis disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit.

Wabah lainnya yang juga pernah terjadi di zaman Rasulullah ﷺ yaitu wabah penyakit Thaun,  Rasulullah ﷺ bersabda: “Tha’un merupakan azab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum Mukminin.” (HR. Bukhari). Dalam menghadapi wabah ini lagi dan lagi solusi jitu dari Rasulullah ﷺ adalah sabar mengahapi ini. Masih dalam hadits yang sama, Nabi ﷺ melanjutkan: “Tidaklah seorang hamba yang di situ terdapat wabah penyakit, tetap berada di daerah tersebut dalam keadaan bersabar, meyakini bahwa tidak ada musibah kecuali atas takdir yang Allah tetapkan, kecuali ia mendapatkan pahala seperti orang yang mati syahid.” Luar biasa balasan dari sabar ini, tidak tanggung-tanggung balasanya dari illahi Rabbi.

Ditengah keadaan yang serba terbatas untuk beraktifitas, sabar ialah sebuah pilihan sikap yang tepat dalam kondisi yang kita hadapi sekarang dalam menyongsong kehidupan new normal ini dan ketahuilah bahwa Allah ﷻ telah menjanjikan pahala berlimpah bagi hamba-Nya yang bisa bersabar. Allah ﷻ berfirman “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas..” (Q.S az-Zumar [39]: 10). Apalagi yang kita cari di dunia ini dalam beribadah kepada-Nya, ialah curahan pahala yang dapat menentramkan kehidupan yang sedang direnda di dunia menuju keabadian akhirat yang kelak semoga Allah ﷻ memberikan balasan syurga-Nya.

Tiada habisnya jika diperturutkan kemauan untuk berkeluh kesah dan berlama-lama larut di dalamnya, kenyataan bahwa dengan hadirnya Covid-19 menghampiri kehidupan banyak hal yang luput. Ada yang kehilangan pekerjaan sampai diberhentikan bekerja, ada yang usahanya harus ditutup, ada yang kehilangan sosok yang dicintai, ada yang harus terpisah oleh alasan yang menyayat hati dan lainnya, tapi dibalik itu semua banyak hal positif juga yang dapat kita ambil dan  perlu disibak firman Allah ﷻ lainnya yang mendamaikan jiwa yaitu “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir“. (Q.S al-Baqarah [2]: 286).

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa Allah ﷻ tidak akan membebani seorang hamba dimana hamba tersebut tidak sanggup memikul bebannya.  Ini menandakan bahwa ujian pandemi ini dalam kesanggupan kita dan kita beriktiar maksimal dalam mengahadapinya.

Sabar memang mudah untuk diucapkan, tetapi belum tentu mudah juga dalam kita mempraktekannya. Dalam menjalani kehidupan ini, banyak hal yang membuat kita harus sabar dan menjauhi kemarahan. Harus ada azam yang kuat di hati dalam menyadarkan diri agar tidak mudah berkeluh kesah. Menghadapi itu semua kita butuh pertolongan dari Allah ﷻ bukan?. Sesungguhnya kita tidak dibiarkan sendirian dan tanpa bantuan oleh Allah ﷻ dalam mengupayakan sabar yang sulit ini.  Allah ﷻ berfirman “Mintalah pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Q.S al-Baqarah [2]: 153).

Selain sabar ada amalan sholat yang harus juga dijaga bagi seorang muslim, sholat bisa menjadi pelancar dari kesempitan menuju kelapangan, dari  kesusahan menjadi kemudahan. Allah ﷻ kuasa atas semua itu.

Sabar bukan amalan biasa bagi seorang muslim. Begitu beratnya melakukan ini tapi bukan berarti tidak bisa juga untuk dilakoni. Seseorang yang selalu berupaya untuk sabar dalam hidupnya, sejatinya ia sedang merangkai kemenangan dalam menjalani fase pembentukan pribadi yang lebih baik lagi dan akan menemukan kemudahan-kemudahan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Allah ﷻ mengatakan bahwa orang yang bersabar itulah orang yang menang. Allah ﷻ berfirman “Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Q.S. al- Mu’minun [23]: 111).

Semoga kita semua dapat memetik hikmah dari situasi new normal ini dengan sikap sabar yang kita pilih dan dapat mengecap manisnya pahala sabar dari apa yang telah dijanjikan Allah ﷻ dalam berbagai firman-Nya di kondisi yang sekarang ini. Tidak akan rugi dan akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki untuk dunia dan akhirat nanti insyaallah.[]

Marâji’

  1. https://islami.co/sabar-itu-apa-sih-ini-lima-makna-sabar-dalam-al-quran/
  2. https://www.tagar.id/pandemi-corona-dan-kisah-wabah-penyakit-zaman-nabi
  3. https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/VNx4QWDN-lima-cara-rasulullah-menghadapi-wabah-dan-penderita-penyakit-menular

Darnela Putri

Magister Ekonomi Islam

Universitas Islam Indonesia

Mutiara Hikmah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Download Buletin klik disini

Covid 19 Merupakan Ujian Atau Siksaan ?

Covid 19 Merupakan Ujian Atau Siksaan ?

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ yang Maha menciptakan segala sesuatu yang tidak akan diketahui hamba-Nya, termasuk virus Corona ini tidak ada satupun makhluk Allah ﷻ yang menduga akan datangnya virus ini, tentunya hal ini sangat mengubah kehidupan manusia yang seharusnya bisa bekerja, sekolah dan silaturahmi secara langsung menjadi berubah karena harus saling menjaga jarak dan berjauhan.

Kemunculan virus ini dimulai dari kota Wuhan RCC sekitar akhir tahun 2019, pada awalnya manusia banyak menduga-menduga hal ini terjadi karena pola hidup mereka, makanan yang dikonsumsi dan hal lainnya yang menyebabkan datangnya virus Corona dan menjadi siksaan atas perbuatan mereka.

Hampir semua orang termasuk beberapa kaum muslim yang awam menganggap datangnya wabah penyakit ini sebagai siksaan untuk mereka, namun sampai saat ini virus Corona masih terus menyebar sampai ke negara muslim, termasuk Indonesia bahkan Arab Saudi, dan jika dikatakan virus ini sebagai siksaan tentu Allah ﷻ akan mendahulukan menolong hamba-Nya yang taat, sebagaimana ketika Allah ﷻ hendak menurunkan siksaan pada kaum Nabi Nuh ‘laihisalaam berupa banjir yang besar, namun sebelum itu Allah ﷻ memerintah Nabi Nuh ‘alaihisalaam untuk membuat perahu dan mengajak kaumnya yang beriman untuk naik bersamanya, disini adalah bukti jika Allah ﷻ hendak menurunkan siksaan atas suatu kaum, pasti Allah ﷻ akan menyelamatkan terlebih dahulu hamba-hambaNya yang beriman.(Shihab, 2020)

Kenyataan yang dapat dirasakan saat ini, mereka yang terdampak virus Corona tidak hanya non-muslim tetapi banyak juga dari umat muslim yang terdampak dengan virus tersebut, maka dari itu virus ini dikatakan sebagai ujian, sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman, “Hati-hatilah / peliharalah dirimu dari ujian yang  tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim di antara kamu dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras dengan siksaNya” (Q.S Al-Anfal [8]: 25)

Ayat di atas menekankan bahwa Allah ﷻ menurunkan ujian tidak hanya kepada mereka yang zhalim tetapi ujian itu Allah ﷻ turunkan juga kepada mereka yang beriman, hal  ini tentu Allah ﷻ memiliki tujuan tertentu sebagaima dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui  (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal  ihwalmu” (Q.S Muhammad [47]: 31)

Disamping itu Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berucap, ”Jika ada musibah, dan menimpa yang durhaka, maka itu adalah adab/ pendidikan. Apabila menimpa yang taat maka itu adalah ujian” layaknya seperti ujian yang ditimpakan kepada Nabi atau Rasul maka itu adalah peningkatan derajat dan kedekatan pada Allah, jika ujian dijatuhkan untuk para wali maka itu adalah penghormatan untuknya. Maka dari itu ujian yang ditimpakan kepada mereka yang taat tidak lain untuk menguji kesabaran dan ketaatannya terhadap Allah ﷻ.” (Shihab, 2020)

Sikap Umat Muslim Menghadapi Covid 19

Sikap umat muslim sebagai yang taat kepada perintah Allah subhânahu wa ta’âla, tentu juga menghargai kebijakan dan ketentuan yang dibuat oleh para ahli selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam. Setelah kemunculan wabah virus Corona, para ahli kesehatan menganjurkan untuk tetap menjaga ketahan fisik, mempersiapkan mental yang kuat.

Selain itu para ulama pun ikut menganjurkan untuk mengikuti tuntunan ajaran Islam, ketika dihadapkan suatu penyakit tetaplah untuk berdo’a dan meminta kesembuhan kepada yang Maha menyembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala,  dan hal ini pernah diucapkan Nabi Ibrahim n dan termaktub dalam al-Qur’an, “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku” (Q.S Asy-Syu’ara [26]: 80)

Tindakan sebagai umat muslim  yang baik tentu dengan meyakini bahwa kekuatan do’a sangatlah luar biasa. Di tengah ujian duniawi dengan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meminta pertolongan kepada-Nya, tentu akan membuat hati merasa tenang dan memberikan kekuatan batin dalam menghadapi suatu penyakit dan akan hilang rasa cemas. Hal itu tentu sangat dibenarkan karena berpengaruh kepada mental seseorang, dengan berdo’a mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menguatkan hati yang berdo’a dan memberikan energi positif sehingga tidak mudah merasa takut dan cemas. (Shihab, 2020)

Semua Atas Kehendak Allah l

Allah l berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang  menimpa di bumi dan (tidak pula)pada dirimu sendiri melainkan telah  tertulis dalam kitab (Lawh mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. Al-Hadid [57] : 22)

Ayat diatas menunjukan bahwa segala sesuatu yang  terjadi adalah yang sudah dikehendaki-Nya, maka dari itu sebagai umat muslim harus mempercayai adanya “Qada” yaitu ilmu Allah menyangkut segala sesuatu sebelum terjadinya dan “Qadar” terjadinya sesuatu dalam kenyataan sesuai dengan ilmu-Nya dan sesuai dengan kehendak dan ukuran yang  telah ditetapkan Allah l. Maka dari semua yang terjadi atas umat manusia di muka bumi ini adalah yang telah Allah kehendaki.

Kehendak Allah tercermin melalui kadar yang telah ditetapkan-Nya, dimana manusia telah ditetapkan takdirnya tetapi diberi kebebasan dalam ruang takdir tersebut, manusia bisa beralih takdir dari takdir yang sebelumnya ke takdir Allah yang lain. Seperti Allah memberikan kehendaknya agar manusia dapat selalu sehat, tetapi hal itu bisa saja berubah seiring dengan proses hidup manusia tersebut apakah dapat menjaga kesehatannya atau tidak. Seperti wabah virus Corona ini memang terjadi atas izin Allah dan Allah juga yang menurunkan obatnya tapi bukan berarti manusia bebas melakukan apa saja tanpa ikhtiar di dalamnya, manusia tetap harus berusaha menghindari penyakit ini dan tetap berserah diri kepada Allah dan takdirNya.(Shihab, 2020)

Hikmah Dibalik Musibah 

Allah menurunkan musibah yang menjadi ujian bagi hampir seluruh manusia, datangnya ujian ini tidak membenarkan kita untuk protes dan menggerutu dengan keaadaan saat ini, tapi mari telaah bersama hikmah dibalik musibah ini, seperti:

  1. Mempelajari tuntunan agama, sehingga menyadari bahwa pentingnya berdo’a karena hanya Allah l yang mampu menolong atas segala musibah yang menimpa manusia,
  2. Menyebarnya virus ini, menuntut untuk terus berdiam di rumah, maka ini memberikan kesempatan untuk bagi kita untuk lebih dekat dengan keluarga, melakukan banyak kegiatan positif seperti mengaji bersama keluarga, mengajari anak atau saudara di rumah dan lainnya,
  3. Bagi mereka yang merenungi akan tersadar bahwa manusia adalah makhluk lemah dan memiliki keterbatasan, sehingga tidak akan muncul sifat-sifat yang ujub,
  4. Adanya musibah ini memberikan kesadaran bagi manusia, bahwa sesama manusia itu satu, bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh akan merasa sakit juga, maksudnya jika saudara kita terkena virus ini, maka tidak sedikit dari kita dan saudara lainnya membantu dan saling mendo’akan,
  5. Menyadarkan manusia bahwa kenikmatan material bukannlah segalanya,
  6. Menyadarkan manusia bahwa hidup itu sangat berharga, sehingga selalu mensyukuri keadaan apapun.(Shihab, 2020)

Dari beberapa hikmah di atas, masih banyak hikmah lainnya yang kita dapatkan selama pandemi ini, maka sepatutnya bagi umat muslim untuk tetap bersabar, berdo’a dan perbanyak amal kebaikan, karena ujian ini diturunkan kepada umat muslim untuk menguji seberapa sabar dan taat kita kepada Allah l.

Mari saling mendo’akan tolong menolong karena kita semua satu, tidak berbeda dan libatkan Allah dalam setiap keadaan.

Marâji’

Shihab, M. Q. (2020). Corona Ujian Tuhan, Sikap Muslim Menghadapinya (1st ed.). Tangerang Selatan: Lentera Hati.

Lia Ananda Haenida 

PAI UII 2017

Mutiara Hikmah

Dari Anas bin Malik a, Nabi ` bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (H.R. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

Jagalah Ketulusan Hati

Jagalah Ketulusan Hati

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Hati merupakan organ yang memiliki fungsi yang agung bagi manusia. Hati merupakan bagian penting dari tubuh manusia, dalam membedakan nilai sebuah amalan seseorang. Hati diibaratkan sebagai raja, sedangkan anggota tubuh lainnya diibaratkan sebagai prajuritnya. Jika rajanya baik dalam memimpin, maka prajuritnya akan baik pula dalam menjalankan tugasnya. Begitupun sebaliknya, jika rajanya buruk dalam memimpin, maka prajuritnya pun akan kacau dan buruk dalam melaksanakan tugasnya.

Standar Baik dan Buruknya Amalan

Standar baik buruknya amalan seseorang, ditentukan oleh keadaan hatinya. Jika hatinya baik, maka akan baik pula amalan anggota tubuh lainnya. Namun, jika hatinya buruk, akan buruk pula amalan anggota tubuh lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati..”            (H.R. Muslim).[1]

Bagaimana hati bisa mempengaruhi amalan seseorang? Amalan hati yang dimaksud disini, yang dengannya menentukan seberapa bernilainya amalan anggota badan adalah niat. Niat juga merupakan pembeda antara ibadah dan mu’amalat, antara ibadah dengan rutinitas (aktifitas duniawi) seseorang serta antara ibadah sunnah dan wajib. Niat yang ikhlas karena Allah ﷻ merupakan komponen yang penting dalam suatu amalan dan sebagai salah satu syarat diterimanya ibadah seseorang disisi Allah ﷻ  disamping ittiba’ pada Rasulullah ﷺ.

Semua perbuatan baik yang diiringi dengan niat ikhlas karena Allah ﷻ, maka in sya Allah perbuatan tersebut bernilai ibadah disisi Allah ﷻ. Pahala yang akan diterima seseorang pun tergantung dengan seberapa kadar keikhlasan dalam niatnya.

Nilai Sebuah Amalan Tergantung Niatnya

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya semua perbuatan tentu didasari oleh niat, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya (bernilai) sesuai dengan yang diniatkannya.’” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits tersebut menunjukkan pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap amalan, dan tidak ada orang lain yang mengetahui keikhlasan seseorang, karena sejatinya niat yang ikhlas itu terletak di dalam hati. Namun, seseorang yang menanamkan keikhlasan di hatinya dalam melaksanakan amalannya, maka otomatis akan terlihat baik pula secara dzohirnya, sebagaimana perkataan ulama salaf, “Siapa yang memperbagus sarirohnya (amalan hati/batinnya), maka Allah ﷻ akan memperbagus alaniyyahnya (amalan anggota badannya)” [2][2].

Apa-apa yang diniatkan ikhlas karena Allah ﷻ akan mendatangkan juga keridhoan dan pahala dari Allah ﷻ. Selain itu, ketika ia memperoleh sesuatu yang ia niatkan, maka ia tidak akan berbangga diri serta mensyukurinya, dan apabila ia tidak mendapatkannya, ia tak pula bersedih hati dan merasa lapang dengan hal itu karena ia memahami bahwa segala sesuatu sudah Allah ﷻ tentukan kebaikan di dalamnya. Begitulah agungnya jika sesuatu diniatkan karena Allah ﷻ.

Sebaliknya, jika sesuatu yang dilakukan hanya diniatkan untuk perkara dunia, dalam arti tidak ikhlas karena Allah ﷻ, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang dia niatkan. Bahkan, amalan yang ia kerjakan tidak memberikan manfaat baginya di akhirat dan akan menimbulkan kesia-siaan belaka.  Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Hud [11]: 15-16).

Hati yang Ternodai

Dalam melakukan suatu amalan, ada kalanya di awal kita sudah meniatkan ikhlas karena Allah ﷻ. Namun, tanpa disadari di tengah-tengah kita melakukan amalan, muncul penyakit hati berupa riya’. Riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya, termasuk di dalamnya sum’ah yaitu melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang ia lakukan.

Penyakit ini amatlah berbahaya bagi seseorang, yang mana dapat merusak sebuah niat sekaligus menghapuskan amalan yang disertai riya’ didalamnya. Riya’ tergolong ke dalam syirik kecil, bahkan bisa masuk ke dalam kategori syirik besar apabila dalam niatknya tidak ada sedikitpun kerena Allah ﷻ, hanya karena pujian dan sanjungan semata.

Ulama memberikan klasifikasi terkait amalan yang disertai riya’. Seseorang yang beribadah dengan maksud pamer kepada orang lain, maka ibadahnya batal dan tidak sah. Namun jika riya’ atau sum’ah muncul si tengah ibadah, maka ada dua keadaan. Jika amalan ibadah tersebut berkesinambungan dari awal hingga akhir, misalnya sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika seseorang tidak berusaha menghilangkannya dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Keadaan yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila di sebagian shodaqohnya ada unsur riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak [3].

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menjaga kesucian hati dari noda-noda riya’ dan sum’ah yang dapat menodai amalan disebabkan rusaknya niat dalam hati. Rasulullah ﷺ  telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil, “….Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)”  (H.R. Ahmad (4/403), dishahihkan oleh Syaikh al Albani)[4] .

Menyembunyikan Amalan

Menyembunyikan amalan dari manusia merupakan cara terbaik untuk menjaga agar niat selalu ikhlas. Seperti yang kita ketahui, riya’ muncul karena hati ternodai dengan keinginan agar dipuji, disanjung, dihormati, maupun dianggap baik. Sangat kecil kemungkinan atau bahkan tidak mungkin, seseorang merasa riya’ sedangkan ia sedang sendiri ketika beramal, karena adanya perasaan seperti itu disebabkan kehadiran orang lain.

Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan Sunnah seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’[5] . Adapun ibadah yang di dalamnya ada potensi dilihat oleh orang lain, contohnya saja sholat berjamaah ke masjid, sholat jum’at, dan sebagainya, maka tidaklah mengapa. Maka agar amalan tersebut tidak sia-sia, hendaknya seseorang bersungguh-sungguh dalam menjaga keikhlasan baik sebelum, ketika, dan sesuadah melakukan amalan tersebut.

Menyembunyikan amalan tidak hanya di dunia nyata saja, namun penting juga dilakukan di dunia maya. Kemudahan dalam berbagi informasi kepada semua orang hendaknya menjadikan kita cerdas dalam membagikan informasi yang bermanfaat. Lebih utama jika seseorang tidak memposting ibadahnya seperti bersedekah dan lainnya, tanpa tujuan maslahat yang dibenarkan syari’at. Dengan menyembunyikan amalan, insyaAllah lebih selamat dari noda-noda hati yang siap menghampiri, Wallahu Ta’ala a’lam.[]

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

Marâji’:

[1] https://muslim.or.id/26163-agungnya-kedudukan-amalan-hati-dalam-islam.html

[2] Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim. Awaa’iqu ath Thalab: halaman 13.

[3] https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html

[4] https://muslim.or.id/5470-riya-penghapus-amal.html

[5] https://rumaysho.com/656-tanda-ikhlas-berusaha-menyembunyikan-amalan.html

Mutiara Hikmah

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (H.R. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Profesiku Ibadahku

Profesiku Ibadahku

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

“Jadikan hidup sebagai ibadah!” Sebuah kalimat sederhana namun penuh makna dan nampak sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut selaras dengan tujuan Allah ﷻ menciptakan manusia di muka bumi ini sebagaimana yang telah difirmankan Allah ﷻ dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Dan aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56)

Dalam Zubdatut Tafsir, Mujahid berkata: maknanya adalah melainkan Aku akan memerintahkan dan melarang mereka. Pendapat lain mengatakan yakni melainkan agar mereka tunduk dan patuh kepada-Ku. Sebab makna ‘ibadah’ secara bahasa adalah tunduk dan patuh.[1]

Bekerja untuk mendapatkan penghidupan (baca: rezeki) adalah ibadah. Karena bekerja itu ibadah, maka dalam bekerja harus tunduk dan patuh dengan aturan Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memberi jatah rezeki setiap makhluk-Nya bahkan rezeki seekor lalat sekalipun telah diatur-Nya. Tidak ada satu makhluk (bernyawa) pun di muka bumi ini melainkan telah Allah ﷻ jamin rezekinya. Seperti halnya jodoh, rezeki setiap mahkluk tidak akan tertukar. Jatah dan porsinya sama, hanya cara menjemputnya yang berbeda-beda setiap makhluk. Manusia, sebagai makhluk yang dikaruniai akal oleh Allah ﷻ, seyogyanya memiliki berbagai macam cara dalam menjemput rezeki tersebut, tentunya dengan cara-cara yang halal dan dibolehkan oleh syari’at Islam, salah satunya dengan bekerja.

Allah ﷻ menciptakan dunia dan seisinya, dengan segala kecanggihan teknologinya, dengan segala kekayaan alamnya, dengan tujuan untuk memberi penghidupan kepada manusia. Contohnya saja Indonesia, sebagai negara kaya akan sumber daya alam namun karena ketidakmampuan sumber daya manusianya dalam mengelola kekayaan alam tersebut sehingga menyebabkan ketimpangan sosial dan kemiskinan semakin merajalela.

Sumber daya alam yang melimpah dan kecanggihan teknologi yang ada seharusnya mampu menciptakan berbagai macam lapangan pekerjaan, berbagai macam profesi, dan berbagai macam posisi sebagai bentuk ikhtiar kita sebagai “hamba”. Namun perlu diingat, segala pencapaian yang sudah kita raih, profesi dan posisi yang bagus di kantor bahkan harta yang berlebih adalah pemberian dari Allah ﷻ. Seperti yang disabdakan Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang artinya: “Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (H.R. Muslim no. 2653)

Ambillah Pelajaran dari Kisah Qarun!  

Janganlah seperti Qarun! Profesi, tahta, dan harta merupakan hal-hal yang sangat menggiurkan, semua konflik keluarga dan sosial bisa terjadi hanya karena ketiga hal di atas. Bahkan zaman Rasulullah ﷺ, telah banyak kaum yang dibutakan oleh harta dan tahta, salah satunya seperti kisah Qarun yang sangat masyhur.

Pada masanya, Qarun orang yang kaya raya dan bergelimang harta. Namun, ia telah dibutakan oleh hartanya. Kesombongan Qarun benar-benar telah mengundang murka Allah ﷻ. Allah menurunkan adzab kepada Qarun berupa gempa bumi dan longsor yang dahsyat. Qarun tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi. Tidak ada sedikitpun harta yang tersisa, seluruhnya rata dengan tanah. Tidak ada satupun golongan yang mampu menyelamatkannya, baik keluarga, kerabat maupun temannya. Harta yang selama ini dibanggakannya justru menjadi malapetaka baginya dan tidak sedikitpun mampu menolongnya. Maka binasalah Qarun beserta harta kekayaannya dikarenakan kedurhakaan dan kekufurannya.[2]

Kisah tersebut bisa menjadi i’tibar (pelajaran), sehingga Allah ﷻ mengabadikan kisahnya dalam al-Qur’an ayat 78 yang artinya, “Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (Q.S. al-Qashas [28]: 78)[3]

Bekerja adalah Ibadah

Harapannya, janganlah kita hanya disibukkan dengan urusan duniawi saja sehingga melupakan kewajiban-kewajiban ukhrawi. Paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan menjadikan profesi kita saat ini sebagai ibadah. Apapun profesi dan jabatan kita, jadikan sebagai ibadah dan proses penghambaan kita kepada Allah ﷻ. Jika kita telah berhasil menjadikan tujuan kita bekerja adalah untuk ibadah, in sya Allah rezeki yang kita dapatkan akan membawa berkah tidak hanya di dunia melainkan juga di akhirat.

Kita mampu meminimalisir hal-hal tercela dan tidak diinginkan lainnya yang mungkin terjadi di tempat kita bekerja, misalkan kecurangan, kemalasan, ketidakadilan, ketidakjujuran, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak mudah diimplementasikan, namun kita bisa mulai dari diri kita sendiri, terlebih jika kita bisa menularkan energi positif tersebut kepada rekan-rekan di kantor sehingga tercipta budaya kerja yang Islami, karena bermanfaat bagi orang lain juga merupakan ibadah.

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah ﷺ menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barang siapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barang siapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (H.R. Thabrani)[4]

Janganlah kita bekerja hanya untuk mencari rezeki, tapi niatkan juga untuk beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Keihklasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, segala bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain, aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.

Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan. Memberi makan orang miskin dan anak yatim, saling membantu yang membutuhkan, mengeluarkan zakat, bersedekah, dan menyampaikan ilmu. Semua itu tidak dapat kita lakukan kalau kita tidak memiliki uang. Untuk bisa mendapatkan uang, jalannya dengan bekerja.[5] Oleh karena itu bekerjalah karena Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman: Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)

Allah ﷻ dalam al-Qur’an menjamin rezeki setiap makhluk-Nya, namun al-Qur’an tidak memberi peluang bagi seorang Muslim untuk berleha-leha dalam hidup. Semakin kita bekerja keras, insya Allah semakin besar pahala yang akan diberikan Allah ﷻ. Jika nafkah yang didapat merupakan bekal untuk beribadah, maka semakin banyak nafkah yang didapat, semakin banyak ibadah yang bisa dilakukan. Pendapatan kita sudah tertulis, begitupun pasangan, pekerjaan, makanan yang kita makan, bahkan kematian kita sudah tertulis.

Lantas, mengapa masih didapati orang frustasi, banyak pikiran, banyak penyakit bersarang di tubuhnya, jika semua urusan telah ada yang mengatur? Oleh karena itu, serahkan semua urusan kita kepada yang mengatur, mari kita fokus pada agama kita, perbaiki ketakwaan kita, perbaiki hubungan kita dengan-Nya, marilah mulai saat ini, kita jadikan profesi kita sebagai ibadah dan bernilai pahala, maka hidup kita akan bahagia dan dunia akan menghampiri kita tanpa perlu kita bersusah payah mengejarnya.

Maraji’:

[1] Zubdatut Tafsir,” https://tafsirweb.com/37749-quran-surat-adz-dzariyat-ayat-56-58.html.

[2] Fera Rahmatun Nazila, “Qarun, Si Kaya Raya Yang Ditelan Bumi Karena Harta.”

[3] Quran Surat Al-Qashash Ayat 78,” https://tafsirweb.com/7128-quran-surat-al-qashash-ayat-78.html.

[4] Hadits Ini Dihasankan Oleh Syeikh Al-Albani Didalam Kitab ‘at Targhib Wa at Tarhib’ (2623)” (n.d.).

[5] Hadits Manusia Paling Bermanfaat,” Era Muslim: Media Islam Rujukan, last modified 2020, https://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadits-manusia-paling-bermanfaat.htm#.Xmm4kjIzbIV.

 

*Camelia Rizka Maulida Syukur

Mahasiswa Program Magister Studi Islam

Universitas Islam Indonesia

 

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 110)

Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan

Menjaga Kedamaian Dengan Keadilan

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pembaca budiman yang senantiasa dirahmati Allah ﷻ. Pada hakikatnya manusia hidup berdampingan, saling tolong-menolong, kasih-mengasihi antar sesama dan dengan alam sekitarnya. Maka tidak heran jika manusia kemudian diberi julukan sebagai makhluk sosial. Tumbuh-tumbuhan, bebatuan, air, dan segala hal yang tersedia di alam ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemberian itu bersifat sebagai amanah dari Allah yang oleh-Nya manusia diberi mandat untuk menjaga, merawat, dan mengatur alam ini.

Allah ﷻ firman yang artinya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)

Berdasarkan pada ayat di atas, manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga, merawat dan mengatur alam ini sesuai dengan posisinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Proses penjagaan terhadap alam ternyata bersinggungan dengan konsep adil. Kata adil diambil dari bahasa arab al-‘adl  yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Lawan dari kata ‘adl adalah zhalim yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Banyak kasus di sekitar kita yang tanpa kita sadari merupakan pembahasan dari adl-zhalim itu sendiri.  Sebagai contoh seseorang yang membuang sampah di jalan atau di sungai. Tindakan itu termasuk dalam kategori zhalim, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Begitu juga dengan kasus seorang murid yang masuk kelas tidak pada waktunya. Perbuatan seperti ini patut untuk kita koreksi untuk perbaikan agar bisa lebih baik lagi.

Penempatan waktu yang tidak tepat juga merupakan implementasi dari sikap anti adil. Terkadang pemuda-pemuda malah asyik  meneruskan bermain bola sedangkan lantunan adzan sudah berkumandang. Sikap yang seharusnya mereka ambil adalah  menghentikan permainan dan mendengarkan adzan sebagai penghormatan. Ada baiknya dalam melakukan kegiatan seperti itu mempertimbangkan terlebih dahulu apakah waktu itu akan mengganggu yang wajib-wajib atau tidak, sehingga ketika kita sudah mempertimbangkan itu semua tidak ada was-was yang muncul dalam hati bahkan mungkin kedamaian akan menghinggapi yang menjadikan hati merasa tenang dan tenteram.

Dalam bernegara keadilan merupakan salah satu pembahasan pokok di masyarakat. Keadilan secara umum didefinisikan sebagai “Perlakuan yang sama tanpa melalui kompleksitas pribadi-pribadi yang bersangkutan”. Secara ideal keadilan memperhatikan perbedaan-perbedaan kebutuhan setiap individu, kesamaan, dan kesetaraan bukan pada terletak pada pembagian secara sama rata.

Sebagai contoh ada seorang ibu mempunyai dua anak. Anak yang pertama sekolah di SMA dan anak yang ke dua masih mengenyam pendidikan di kelas dua SD. Kemudian anak yang pertama dan kedua sama-sama mendapatkan uang jajan Rp. 5000. Secara pembagian sama ratanya ibu itu benar, tapi jika ditinjau dari tingkat kebutuhan dan kompleksitasnya perbuatan itu tidak belum mencerminkan sikap adil. Karena memang dalam kasus ini bukanlah nilai sama yang harus dijunjung akan tetapi karena pertimbangan kebutuhan dari kedua anak yang berbeda.

Kadang kala nilai adil adalah kesamaan. Semisal ada orang Jawa dan orang Papua. Negara harus berdiri di tengah-tengah mereka dengan memberikan kewajiban dan hak yang sama sebagai rakyat Indonesia. Tidak boleh ada keistimewaan terhadap salah satu golongan saja walaupun ada yang minoritas dan mayoritas. Semua harus mendapatkan jatah yang sama. Oleh sebab itu dengan ditegakkannya keadilan maka akan timbullah kedamaian. Sama halnya dengan kasus seorang ibu dengan kedua anaknya. Setiap dari mereka juga mempunyai hak yang sama dalam kasih sayang.

Hal ini sesuai dengan ungkapan dari seorang sosiolog muslim yang masyhur pada zamannya, Ibnu Khaldun. Beliau memegang prinsip bahwa keadilan merupakan konsep yang abstrak dan idealis,  diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna, dan tidak berdasarkan kepada realitas sosial. Sistem keadilan yang dibentuk berdasarkan pada solidaritas sosial yang berada di atas pondasi solidaritas individu yang menimbulkan rasa kasih-sayang dan saling membantu satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain nafas keadilan menurut Ibnu Khaldun adalah solidaritas.

Karena sikap adil itu sangat penting sehingga Allah ﷻ memperingatkan hamba-Nya dalam surat al-Anfâl ayat 25, yang artinya, “Dan peliharalah diri kalia dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang –orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S al-Anfâl [8]: 25)

Ayat di atas menjelaskan bahwa siksaan Allah ﷻ tidak sebatas hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat zhalim saja, tetapi orang yang melihat kezhaliman tersebut di depan mata dan tidak berbuat apa-apa juga mendapatkan siksaan. Seseorang yang melihat temannya melakukan suatu kezaliman seperti membuang sampah sembarangan dan membiarkannya terbuai dengan tindakan itu merupakan contoh dari ayat di atas. Perbuatan itu mencerminkan perilaku yang acuh tak acuh dan tidak melaksanakan konsep amal ma’ruf nahi munkar .

Konsep adil di tegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya di surat an-Nisâ’ ayat 135 yang artinya, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 135)

Sikap adil sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Salah satunya kisah sahabat nabi yang bernama Ukasyah bin Mihsan. Ketika itu Nabi bertanya siapa saja yang pernah dizhalimi oleh Rasullullah ﷺ mengingat kematian sudah semakin dekat. Ukasyah menegaskan bahwa Ia pernah terkena tongkat komando Rasulullah ﷺ dalam perang dan  rasanya sakit. Rasullullah ﷺ kemudian memberikan tongkat itu kepada Ukasyah untuk melakukan qishas. Ukasyah lalu menjelaskan bahwa waktu itu Ia tidak mengenakan baju yang menutupi badannya. Dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan sebagai contoh yang kelak menjadi rujukan kaumnya maka Rasulullah ﷺ dengan sukarela melepas baju yang melekat di badannya dan mempersilahkan Ukasyah untuk memukulnya. Sungguh teladan mulia apa yang dicontohkan oleh beliau yang kita sendiri belum tentu mampu untuk mengikutinya.

Contoh di atas memberikan gambaran untuk berbuat adil, baik itu yang berakibat pada diri kita sendiri, maupun terhadap orang lain. Untuk yang berakibat pada diri sendiri ini biasanya sangat berat untuk kita laksanakan, karena kadang seringkali kita melihat diri kita ini sebagai korban dari ketidak adilan. Kita membela diri bahwa kita tidak melakukan ini itu dan sebagainya yang bisa mengakibatkan permasalahan yang semakin panjang.

Para pemimpin kita dan kita sendiri seharusnya meneladani sikap Rasulullah ﷺ yang adil terhadap siapa saja. Bahkan beliau rela dirinya sendiri menerima perlakuan semacam itu untuk menegakkan keadilan di muka bumi ini.

Hukum seharusnya ditegakkan dengan penuh keadilan, tidak tumpul ke atas tetapi tajam  ke bawah. Seorang pemimpin sejatinya berani  menegakkan keadilan kepada semua pihak tanpa memandang pangkat, jabatan, keka­yaan, ras, suku, agama, baik dari partai­nya sendiri maupun orang-orang yang di luar partainya. Bahkan ketika anaknya berbuat kejahatan semestinya mendapatkan hukuman yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Bukan malah membuat kesepakatan mengatasnamakan jabatan dan bersembunyi di bawak ketek kekuasaan. Begitulah pemimpin harus tegas untuk menegakkan keadilan mengingat kedamaian tercipta karena keadilan.

Keadilan menjadi substansi dari hukum, hukum diterapkan untuk menciptakan kedamaian, melindungi manusia dan tidak dijadikan alat untuk menindas dan menghabisi musuh. Wallâhu a’lam.

Marâji:

https://islami.co/ibnu-khaldun-bicara-keadilan-sosial/

https://jagad.id/pengertian-adil-menurut-para-ahli-dan-dalam-islam/

https://tafsirweb.com/1667-quran-surat-an-nisa-ayat-135.html

https://tafsirweb.com/290-quran-surat-al-baqarah-ayat-30.html

https://tafsirweb.com/2891-quran-surat-al-anfal-ayat-25.html

https://analisadaily.com/berita/arsip/2019/2/22/697558/rasulullah-saw-mempraktekkan-keadilan/

 

*Fatkhur Rohman Khakiki

Prodi Teknik Kimia FTI UII

 

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Fenomena Wabah Pada Masa Rasul & Sahabat

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ, beberapa pekan belakangan ini kita di hebohkan oleh berbagai informasi baik di media sosial, media masa ataupun media elektronik terkait wabah, khususnya Covid-19 (corona) yang sedang heboh di berbagai negara tidak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia. Di berbagai dunia bahkan korban sudah mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu, berita terakhir.

Data terakhir per tanggal 14 maret 2020 terdapat 142.897 terinveksi Covid-19 dan kematian sebanyak 5.375 orang. Di Indonesia data per 13 maret 2020 telah terdata 69 kasus yang terinveksi Covid-19, dan yang meninggal dunia tercatat 4 orang, hal ini melonjak drastis jika di banding sehari sebelumnya yaitu Cuma tercatat 34 kasus.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu kepada Nabi yang agung Muhammad ﷺ, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam semesta dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis. Tapi beliau merupakan manusia yang dapat dipercaya, bahkan beliau diberi gelar al-amin oleh kaumnya.

Wabah Pada Zaman Rasulullah ﷺ dan Solusi Mengatasinya. 

Empat belas abad yang lalu pada masa Rasulullâh ﷺ. Pernah terjadi wabah penyakit kusta dan lepra yang menular dan sangat mematikan.  Ketika belum diketemukan obatnya Rasulullah ﷺ melarang para sahabatnya untuk dekat dekat ataupun menengok orang yang terkena wabah tersebut. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta (H.R. Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas Rasulullah ﷺ  melakukan pencegahan penyebaran virus, salah satunya dengan cara melarang orang untuk terus menerus melihat orang yang terkena virus, ini karena Rasulullah ﷺ  khawatir jika banyak orang yang menengok orang yang terkena penyakita kusta maka ada kemungkinan orang yang disekitarnya akan tertular. Ini merupakan bentuk pencegahan yang konkrit yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.

Padahal kita ketahui bersama, rasul sangat menganjurkan untuk menjenguk orang yang sakit, tetapi ada beberapa kasus justru melarang untuk menjenguk orang sakit, ini karena beliau tau bahwa ada beberapa penyakit yang bisa menular. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, menjauhi orang yang terkena virus yang menular, itu adalah bagian dari apa yang diperintahka oleh Rasulullah ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ juga memperingatkan umatnya pada waktu itu untuk tidak mendekati wilayah yg terkena wabah, hal ini dilakukan supaya umatnya tidak tertular oleh wabah tersebut. Seperti hadits Nabi ﷺ yang berikut ini Rasulullah ﷺ  bersabda: “Jika kamu mendengar wabah (tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Dari kisah tersebut kita banyak mengambil pelajaran dari apa yang di sabdakan oleh Rasulullah ﷺ. Salah satu solusi mengatasi wabah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ialah me lock down, atau mengisolasi atau dalam bahasa lain mengkarantina orang orang atau wilayah wilayah yang terdampak wabah, hal ini pula yang dilakukan oleh pemerintah China dan negara negara lain lakukan, termasuk Indonesia pada akhir akhir ini. Indonesia juga sadar bahwa salah satu solusi yang harus dilakukan oleh negara adalah mengcounter daerah-daerah yang terpapar virus Covid-19 pada hari ini. Hal ini mudah mudahan dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ. Selain berdoa kita juga terus melakukan usaha untuk meredam penyebaran virus ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Nabi Muhammad ﷺ, selain mencegah umatnya yang belum terkena wabah, dengan memerintahkan umatnya untuk tidak mendekati daerah (wilayah) yang terkena wabah Rasulullah ﷺ, juga menyuruh bersabar bagi umat yang terkena wabah.  Rasulullah ﷺ terus menerus mengingatkan umatnya agar berdoa dan bersabar, bahwa apa yang tertimpa pada umatnya adalah ujian dari Allah ﷻ. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasulullah ﷺ  bersabda: “Kematian karena wabah adalah surga bagi setiap muslim. (H.R.Bukhari).

Dari hadits tersebut jelas bahwa Islam sangat mementingkan solusi bagi setiap masalah. Ini terbukti bahwa Islam melakukan pencegahan bagi yang belum terkena wabah atau virus, dan juga Islam sangat mensuport orang yang terkena wabah, mereka dianjurkan untuk bersabar dalam menghadapi apa yang di deritanya, dan juga Allah ﷻ memberi kabar gembira bagi siapa yang sabar dalam menghadapi wabah, bahkan ketika meninggal dunia atau wafat karena wabah, Allah ﷻ menjanjikan surga baginya.

Wabah (Virus) Pada Zaman Sahabat 

Sepeninggal wafatnya Rasulullah ﷺ, kasus wabah juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Pada saat itu Umar bin Khattab bersama rombongan pergi ke daerah Syam, ketika sampai di suatau daerah bernama sargha, ternyata umar melihat ada rombongan juga, yaitu rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah, setelah berbincang bincang ternyata rombongan Abu Ubaidah juga mau ke tempat yang sama.

Datanglah seorang yang membawa berita bahwa Syam ternyata sedang dilanda wabah penyakit tha’un yang ganas. Umar ragu untuk meneruskan perjalanan. Ia panggil para sahabat Muhajirin senior untuk bermusyawarah, ada yang mengusulkan Umar beserta rombongan tetap meneruskan perjalanan ke Syam, karena sudah terlanjur jauh jauh datang dari Madinah, ada juga sebagian yang lain mengusulkan untuk kembali ke Madinah karena ada penyakit ganas, sebaiknya tidak menghadapkan orang banyak pada resiko tertular wabah yang mematikan.

“Panggilkan untukku para sahabat Anshar” perintah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada Abdullah bin Abbas yang saat itu ada dalam rombongan. Para sahabat Anshar pun diajak bermusyawarah oleh Umar, ternyata tidak ada kesepakatan juga dalam musyawarah tersebut, pada saat itu datanglah Abdurahman bin Auf yang membawa kabar bahwa dulu mendiang Rasulullah ﷺ bersabda “jika kamu mendengar wabah (Tha’un) di suatu daerah (wilayah) maka janganlah kamu memasukinya, tetapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan kamu tinggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).

Mendengar informasi dari Abdurahman bin Auf, maka Umar mengambil sikap untuk kembali ke Madinah. Tetapi berbeda dengan sikap Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah memilih untuk terus ke Syam. Bahkan Abu Ubaidah mempertanyakan sikap Umar, dengan berkata, “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah hai Umar? Tanya Abu Ubaidah. Bagi Abu Ubaidah terkena wabah atau tidak adalah taqdir Allah ﷻ. Kemudian Umar bin Khattab menjawab, “Andai saja yang bertanya bukan dirimu wahai Abu Ubaidah”. Kata Umar menyimpan sungkan kepada sosok sahabat senior ini. Lalu Umar melanjutkan, “Iya kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain, sama sama taqdir Allah jawab Umar. Lalu Umar berkata lagi kepada Abu Ubaidah, bagaimana pendapatmu jika engkau membawa seekor unta lalu sampai disebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang, mana yang kau pilih? Seandainya engkau membawanya ke tanah yang subur, sesungguhnya itu taqdir Allah l, tetapi jika engkau membawanya ke tanah yang kering kerontang, maka itu juga taqdir Allah ﷻ. Jawab Umar Panjang lebar. Umar lalu kembali ke Madinah.

Inilah jawaban sosok cerdas Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika menyeleseikan masalah terkait dengan kemaslahatan umat, Umar tidak mau mengambil resiko yang sia sia, apalagi membawa banyak orang. Mudah mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari kisah wabah yang terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan masa sahabat, sehingga pengetahuan mengenai sikap kita terhadap wabah dapat membuat kita semakin meningkatkan iman kita kepada Allah . Âmîn.

 

Marâji’

Kumparan.com

Imam al Bukhari. Shahih al Bukhari. Hadits no. 5288

Islamsantun.com

Imam Malik. Al-Muwatha. Hadits no. 5288

 

Irwanto, M.Pd

Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan pada Badan

اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah, berilah keselamatan pada badanku. Ya Allah, berilah keselamatan pada pendengaranku. Ya Allah berilah keselamatan pada penglihatanku, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” [Dibaca 3x].” (H.R. Abu Daud no. 5090, Ahmad dalam Musnadnya no. 20430, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod no.701)

 

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Sebuah Pesan Iman Via Covid-19

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Beriman kepada takdir baik maupun buruk adalah merupakan salah satu rukun iman yang mesti kita imani dengan benar. Rasulullah bersabda: “…. Beritahukanlah kepadaku tentang iman. ‘Nabi menjawab, Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.’….”(H.R. Muslim No. 8, Abu Daud No. 4695, at-Tirmidzi No. 2610 dan selainnya)

Seorang mukmin harus yakin bahwa semuanya selain dari Allah adalah makhluk (cipataan Allâh). Maka termasuk Covid-19 merupakan makhluk Allah dan Dia yang memberikan kehendak atas merebaknya wabah ini hingga menjangkit kepada siapapun atas izin-Nya. Maka, tidaklah sesuatu dapat memberikan kemudaratan melainkan atas izin-Nya sebagaimana Allah  memerintahkan api untuk menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.

Perlu kita ingat, ada hikmah dari setiap kejadian yang Allah takdirkan kepada hamba-Nya. Maka jadilah sebaik-baiknya hamba yang selalu mengambil hikmah di balik apa yang Allahtakdirkan. Rasa takut serta hawatir pada saat ini, hingga jatuhnya korban jiwa janganlah menjadikan sebuah sebab kita lupa akan segalanya. Yang mesti kita lakukan adalah menjadikan rasa takut serta hawatir tersebut untuk semakin bersungguh-sunguh serta khusyu’ dalam mendekatkan diri kepada Allah . Karena hakikat dari rasa takut itu sendiri merupakan sebuah bentuk ujian dari Allah  kepada seorang hamba.

Allah berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 115)

Bukankah rasa takut adalah yang menjadikan seorang hamba semakin bersungguh-sungguh dan khusyu’dalam memohon kepada Allah ? Maka hal terpenting pada saat rasa takut itu hadir yang paling tepat adalah kita meminta kepada Allah l serta berlindung kepada-Nya dari segala bentuk keburukan makhluk.

Keutamaan Doa

Doa merupakan salah satu diantara bentuk ibadah seorang hamba kepada Allah . Selain itu, merupakan sebuah kunci bagi seorang mukmin pada saat turunya bala’ (cobaan) karena yang mengizinkan atas turunnya cobaan tersebut adalah Allah l. Diantara sebab seorang hamba kuat dan semakin mendapatkan pertolongan Allah  dalam kondisi apapun adalah dengan doa.

Doa merupakan bukti benarnya Iman serta pengenalan seorang hamba kepada Allah baik dalam rububiyah, uluhiyah, maupun nama dan sifat-Nya. Ini menunjukan bahwa dia sebagai seorang hamba yakin bahwa Allah Maha Mencukupi, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Mampu, Rabb yang berhak diibadahi semata dan tidak pada selain-Nya.

Doa juga merupakan sebuah bentuk bukti atas tawakkalnya seorang hamba kepada Rabbnya. Karena pada saat seorang hamba berdoa, ini berarti dia meminta pertolongan Allah l dan hal ini berarti dia telah menyerahkan segala urusannya kepada Allah  semata tidak pada selain-Nya.

Maka yakinlah atas segalanya, baik yang engkau usahakan maupun hajat yang engkau hendaki sertai doa kepada Allah. Karena doa itu amat bermanfaat dengan izin Allah . “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa kepada Allah ﷻ selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat,pen) melalinkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa.” Nabi ﷺ lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian.”

Kiat-Kiat Melalui Sebab Syar’i (Akibat Kehendak Allah)

Sebab syar’i merupakan sebab-akibat kehendak Allah kepada hamba-Nya. Maka dari apa yang melanda pada saat ini seperti wabah COVID-19 ataupun lainnya, ada beberapa hal yang dapat kita tempuh sebagai seorang hamba dan makhluk Allah atas apa yang Allah  ujikan ini.

Di antaranya adalah adalah dengan kita senantiasa taat dalam perintah Allah  dan Rasul-Nya. Melalui setiap ajaran-ajaran yang telah disampaikan melalui syariat Islam maka sebab syariat ini mesti kita tempuh selain sebab lain atau disebut denngan sebab kauni yang akan dibahas di bawah nanti.

Banyak diantara syariat yang telah ajarkan kepada kita, diantaranya seperti memakan makanan yang halal lagi baik, karena ada kebaikan dan berkah dari apa yang dikonsumsinya. Tentu juga dalam cara menempuhnya juga dilakukan dengan cara-cara yang telah dianjurkan oleh syariat.

Kemudian, senantiasa berdoa memohon perlindungan, bertaubat kepada Allah . Dalam hal ini, sebenarnya banyak sekali amalan-amalan yang sebenarnya sudah menjadi prisai seorang muslim tatkala dia senantiasa menjadikannya sebagai rutinitas di kehidupan sehari-harinya. Diantaranya membaca rangkaian dzikir pagi dan petang memohon agar dihindarkan dari wabah atau penyakit yang sedang merebak sebagaimana yang telah diajarkan dalam sunah Nabi .

Bertaubat memohon ampunan kepada Allah   juga merupakan diantara kunci atas segala permasalahan atau musibah yang melanda. Sungguh mulia di sisi-Nya bagi orang-orang yang senantiasa memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadanya. Karena bisa jadi Allah meberikan cobaan ini adalah sebagai bentuk balasan atas kemaksiatan-kemaksiatan yang telah diperbuat. Maka, pentingnya muhasabah serta taubat atas cobaan yang melanda merupakan salah satu sebab yang harus ditempuh.

Kiat-Kiat Melalui Sebab Kauni (Akibat di Dunia)

Sebab kauni merupakan sebab-akibat di dunia. Usaha merupakan bagian dari takdir dan tidak ada kontradiksi antara apa usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di pernah berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), maka ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memeperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Di sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemasiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa.”

Dalam hal ini Rasulullah ` pernah menyampaikan penjelasan bahwa wajibnya usaha atas seorang hamba, seperti hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim (4/2025): “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ﷻ dibandingkan mukmin yang lemah, dan masing-masing mempeunyai kebaikan. Bersunguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah pertolongan dari Allah ﷻ dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu menimpa dirimu, jangan ucapkan ‘Andai saja saya melakukan begini, tentu akan begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah ‘Telah ditakdirkan Allah ﷻ, apa yang Allah ﷻ kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘Andai saja’, akan membuka amalan setan.” (H.R. Muslim 4/2025)

Pada saat ini bayak perkara atau usaha yang mesti ditempuh sebagai pencegahan atas melandanya wabah COVID-19. Bahkan diantaranya Rasulullah  memerintahkan: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabilapenyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (H.R. Muttafaqun ‘alaih)

Maka melakukan sutau ikhtiar yang menjadi sebab pencegahan tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Maka ikhtiar pada saat ini yang dapat kita lakukan ada dua hal yakni ikhtiar yang sifatnya secara berjamaah atau kelompok dan ikhtiar yang sifatnya individu.

Ikhtiar yang dilaksanakan bersama diantaranya adalah dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar wabah ini tidak merebak semakin luas seperti dengan melakukan isolasi kepada mereka yang terkena wabah tersebut atau kepada mereka yang dicurigai terkena virus. Tentunya ikhtiar ini dilakukan oleh pihak-pihak berwenang.

Adapaun ikhtiar dalam skala individu, kita dapat mengikuti arahan-arahan para ahli di bidang ini seperti halnya dengan rutin menjaga kesehatan atau daya tahan tubuh, rutin mencuci tangan, memakan makanan yang halal lagi baik, menghindari keluar rumah dan berkumpul di tempat keramaian bila idak diperlukan.[]

 

Juwandi Purnama

Ahwal al-Syakhshiyah

FIAI – UII

 

Mutiara Hikmah

Doa Keselamatan

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ. اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam agamaku, (kehidupan) duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan berilah ketenteraman dihatiku. Ya Allah! Peliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak mendapat bahaya dari bawahku.”  (H.R. Abu Daud no.5074, Ibnu Majah no.3871 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Jangan Mudah Putus Asa! “La Tay’Asu Min-Rauhillâh”

Jangan Mudah Putus Asa!

“La Tay’Asu Min-Rauhillâh”

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Berputus asa sering dirasakan oleh manusia, ketika ia tidak mendapatkan target hidupnya atau dalam keadaan yang sangat sulit. Keadaan putus asa mampu mendorong manusia kepada hal yang negatif dan tentunya dilarang oleh Islam, banyak yang berputus asa tidak menemukan cara untuk bangkit akhirnya mereka melakukan hal-hal yang merusak diri mereka.

Allah berfirman yang artinya, “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.(Q.S. Yusuf [12]: 87)

Ayat tersebut memberitahukan bahwa janganlah sampai berputus asa dari rahmat Allah kecuali mereka yang kafir. Sedangkan dari tafsir al-Mukhtashar, maka hendaklah mencari berita tentang Yusuf dan saudaranya agar kalian mengetahui kabar mereka, dan arti dari “dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah ﷻ” yakni janganlah kalian berputus asa dari jalan keluar dan bantuan yang akan diberikan Allah . Lalu makna “Rauhi” yaitu segala yang dirasakan dan diyakini seseorang tentang keberadaan dan kedatangan-Nya.[1]

Maka maksud dari ayat tersebut yaitu jika manusia diberikan suatu kesulitan yang menurutnya sangat membebani diirinya, maka jangan sampai berputus asa tetaplah bersandar kepada Allah serta meyakini bahwa Allah ada dan pasti memberikan rahmat untuk menolong hamba-Nya. Hamba Allah yang memiliki keyakinan akan rahmat-Nya pasti ia tidak akan berputus asa, karena ia selalu bersandar pada Allah dan mengingat bahwa Allah menguji hamba-Nya tidak melebihi kemampuannya. Agama Islam membimbing umatnya ketika berputus asa hendaklah mengingat Allah .

Shalat Menghilangkan Sedihmu

Seseorang yang sedang dalam kesedihan, kekecewaan dan merasa risau, maka segeralah bangkit dan ingatlah Allah dengan cara mendirikan shalat. Setiap kali dirundung kegelisahan, Rasulullah menenangkan diri dengan shalat. Dari sahabat Hudzaifah, ia berkata, “Bila kedatangan masalah, Nabi ﷺ  mengerjakan shalat.” (H.R. Ahmad dalam al–Musnad [5/388] dan Abu Dawud [2/35])[2]. Beliau juga berkata kepada sahabat Bilal, “Wahai Bilal, kumandangkan iqamah shalat, buatlah kami tenang dengannya.” (Dihasankan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7892)

Bahwa shalat benar-benar menjadi penyejuk hati dan sumber kebahagiaan bagi Rasulullâh . Bahkan beberapa tokoh ulama ketika mereka sedang dihimpit suatu kesulitan dan menghadapi cobaan, mereka mendirikan shalat dengan khusyu’ untuk meminta pertolongan Allah , lalu mereka menjadi pulih dan semangat menjalani tekad hidup.[3]

Mendirikan Shalat sudah pasti memberikan ketenangan bagi mereka yang melaksanakannya dan menjadikan ia dekat dengan Allah dan mampu menjadi obat hati ketika dalam keadaan sedih, gundah dan terpuruk, bisa dikatakan shalat sebagai media untuk mengenal Allah dan menjadi penenang hati.

Kesulitan Menghebatkan Dirimu

Manusia dalam menjalani kehidupannya pasti pernah dan akan merasakan kesulitan, hambatan dan kesedihan. Tetapi dibalik segala kesulitan yang sudah dialami akan datang banyak pelajaran dalam hidup dan memberikan hikmah yang Allah ﷻ  beri dengan rahmat-Nya:

Diantara hikmahnya; (1) Melalui kesulitan itu akan menguatkan hatimu, (2) Menghapuskan dosa-dosa, (3) Menghancurkan rasa ujub, (4) Meluruhkan kelalaian, (5) Menyalakan lentera dzikir, (6) Menarik empati sesama, (7) Menjadi doa yang dipanjatkan kepada Allah, (8) Berserah diri kepada Allah, (9) Menjadi pengingat diri, (10) Menjadikan hati untuk tetap bersabar, (11) Merupakan persiapan untuk menghadap Sang Pemilik Hidup, (12) Dan menjadi pengingat untuk tidak cenderung kepada urusan dunia, memberikan rasa aman dan tenang dalam hati jika sudah meyakini rahmat-Nya.[4]

Dengan itu segala kesulitan yang dihadapi akan memberikan hikmah yang tentunya memberikan banyak pembelajaran kepada manusia dan semakin mengenal makna hakiki dari kehidupan.

Nikmat Allah Sudah Banyak Kita Dapatkan

Ketika manusia sedang merasa kesulitan, tentunya banyak melupakan pencapaian yang sebenarnya telah ia dapatkan. Cenderung orang yang dalam keadaan sedih banyak pikiran negatif yang datang, namun semua itu tidak boleh dibiarkan, dengan itu untuk mencegah hal-hal negatif yang datang dalam keadaan  sulit, hendaklah mengingat akan nikmat yang telah Allah berikan, mengingat Allah  telah memberikan banyak nikmat yang jarang disadari oleh manusia.

Keadaan gagal, terpuruk hendaklah mengingat kebaikan Allah  atas nikmat-Nya yang telah diberikan dengan itu rasa syukur akan hadir. Allah berfirman, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya” (Q.S. Ibrahim [14] : 34)

Jika manusia sadar akan nikmat Allah  yang begitu berlimpah, pasti ia tidak akan berputus asa, karena terus mengingat akan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya seperti nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat pendengaran, pengelihatan, ada kaki dan tangan, air, makanan, udara dan banyak lagi. Menyadari akan nikmat Allah tentunya akan mengajak manusia untuk selalu bersyukur dan terus merasa cukup. Ketika manusia itu berada dalam kekeliuran, merasa kesulitan akan ada hikmah yang ia dapatkan dan itu salah satu nikmat hidayah yang Allah  beri kepadanya.[5]

Ingat! Setelah Kesulitan Ada Kemudahan

Allah  berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Alam Nasyr [94]: 5-6)

Setiap permasalahan selalu ada jalan keluar, layaknya setelah lapar pasti ada rasa kenyang, setelah haus ada rasa puas, setelah begadang ada waktu tidur pulas, itulah keadaan dimana setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan. Layaknya ketika manusia berada dalam kesedihan, tidak mungkin kesedihan itu akan ada setiap hari pasti tidak lama akan ada senyuman yang muncul yang bisa menghilangkan rasa sedih itu.

Allah  memberikan manusia ujian tidak lepas dari hikmah yang akan diberikannya setelah ia melewati ujian tersebut, Allah memberikan banyak kejutan yang tidak bisa manusia perkirakan, melalui ujian kehidupan Allah  akan memberi manusia banyak pembelajaran. Dengan adanya kesulitan dalam hidup, manusia menjadi sadar akan posisinya di muka bumi yang hanya sebagai hamba Allah yang  seharusnya patut mengingat-Nya. Melalui kesulitan manusia mengerti apa yang perlu ia lakukan dengan terus mengadu dan mendekat kepada yang menciptakannya.

Adapun langkah-langkah yang sudah diterangkan ketika manusia berada dalam posisi yang sangat sulit, sedih jangan sampai ia putus asa,maka laksanakanlah shalat dengan shalat tentu akan banyak mengingat Allahmelalui bacaan shalat dan dzikir di dalamnya sehingga menjadikan hati lebih tenang dan tentram. Kemudian mereka yang merasa berada dalam masa sulit yakinlah bahwa ia akan menjadi lebih hebat karena mampu melewati ujian itu dibekali dengan ketaatannya kepada Allah , melalui ujian kehidupan hati manusia menjadi kuat dan tentunya lebih sabar dalam menghadapinya.

Selanjutnya ingatlah selalu Allah  yang telah banyak memberikan nikmat kepada hamba-Nya, namun manusia sering sekali melupakan, maka dengan selalu mengingat banyak nikmat yang telah Allah berikan rasa sulit dalam diri akan hilang dan akan hadir dalam diri manusia rasa bersyukur sehingga mampu menerima apapun yang sedang dihadapinya.

Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya, maka yakinlah segala rintangan dalam hidup pasti bisa dilewati berbekal keyakinan akan rahmat Allah .[]

 

Lia Ananda Haenida

FIAI/PAI UII 2017

 

Marâji’

[1] Bin Abdullah bin Humaid, S. D. S. Markaz Tafsir Riyadh. 2019. Kementrian Agama RI

[2] Dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud

[3] Maksum, M. S. Laa Tay Asuu Jangan Putus Asa!. 2013. Medpress Digital.

[4] Ibid

[5] Ibid

 

Mutiara Hikmah

Doa Perlindungan dari Penyakit

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ اْلأَسْقَامِ.

” Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari penyakit kulit belang, penyakit gila, penyakit lepra, dan penyakit yang (berakibat) buruk. ” (H.R. Abu Dawud, No.1554)

 

Download Buletin klik disini

Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Wabah Penyakit

Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Wabah Penyakit

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah , akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan kabar adanya jenis virus baru, yang mana kasus pertama ditemukan di kota Wuhan, Cina. virus jenis baru ini sering disebut sebagai virus corona atau Covid-19, yang menyerang saluran pernafasan manusia.

Menurut WHO, saat ini kasus yang ditimbulkan oleh virus corona mencapai 101.927 kasus, 80.813 kasus diantaranya berasal dari Cina. Sedangkan sisanya dilaporkan terjadi di 93 negara lainnya. Di Indonesia sendiri, baru-baru ini dikonfirmasi bahwa dari 483 orang yang diperiksa, 6 orang positif menderita Covid-19 dan ini ada kemungkinan terus bertambah. Virus ini juga menyerang tenaga medis yang ikut menangani kasus. Jumlah ini dapat terus berubah setiap waktunya.[1]

Kasus ini menjadi perbincangan hangat di berbagai media sosial. Tak sedikit akun-akun media sosial yang memberitakan berbagai informasi terkait kasus ini. Bahkan saat ini masih menjadi tranding topic di media sosial. Mengetahui hal ini, lalu bagaimanakah sikap kita sebagai seorang muslim?

Bertawakkal Kepada Allah

Dalam kehidupan ini, tidak ada yang terjadi kecuali atas izin Rabbul ‘âlamîn yang menciptakan alam ini, yaitu Allah . Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan takdirnya, bahkan tidak ada satu daun pun yang jatuh melainkan atas izin Allah . Maka sudah sepatutnya bagi kita seorang muslim, meyakini bahwa Allah-lah yang telah menghendaki segala sesuatu terjadi. Allah berfirman: “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. at-Taghabun [64]: 11).

Dalam sebuah hadits, dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas, dia berkata: “Pada suatu hari aku membonceng Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Nak, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu: Jagalah Allah, niscaya engkau akan selalu mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya semua ummat manusia bersatu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakanmu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena (penulis takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering”. (H.R. At-Tirmidzi, hasan shahih).

Dari hadits tersebut, kita bisa mengambil pelajaran betapa pentingnya beriman kepada takdir Allah . Manfaat dan mudharat yang menimpa seseorang, semua atas kehendak dan takdir Allah . Adapun seseorang yang terkena musibah atau wabah penyakit dikarenakan hal (sebab) tertentu, itu menjadi suatu sebab baginya, namun tak terlepas dari takdir Allah . Selain itu, pentingnya bagi kita untuk menjaga perintah-perintah Allah , agar Allah  senantiasa melindungi dan menolongan kita. Selain itu, hendaknya seorang muslim tidak memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap hal tersebut. Dengan bertawakkal kepada Allah , akan melahirkan ketenangan hati dan kesabaran dalam menghadapi musibah.

Memperbanyak Berdo’a

Memperbanyak do’a dan dzikir adalah bentuk ikhtiyar kita kepada Allah . Do’a menjadi sebab untuk mencegah bala’ bencana dan mendapatkan pertolongan dari kesulitan (atas izin Allah). Do’a memohon perlindungan dari penyakit: “Allaahumma innii ‘auudzu bika minal barashi wal junûni wal judzâmi wa sayyi-il asqâm (artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya)” (H.R. Abu Daud, no. 1554).[2]

Selain itu, do’a juga sebagai bukti tawakkalnya seseorang kepada Allah . Hendaknya kita mengamalkan dzikir-dzikir yang telah disyariatkan, seperti dzikir pagi dan dzikir petang. Dengan berdzikir kepada Allah , in sya Allah hati dan jiwa kita akan menjadi tenang, senantiasa dilindungi oleh Allah , dan tidak dibayangi oleh ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28).

Menjaga Kebersihan Diri

Ikhtiyar lain yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa terhadap hal-hal yang besar hingga hal yang paling sederhana. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, syari’at ini telah mengaturnya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Jika kita bisa mengikuti rambu-rambu syari’at dengan benar, in sya Allah kita akan selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah

Selektif dalam Menerima dan Menyebarkan Berita

Berita di media sosial merupakan hal yang kita anggap penting, karena dengannya kita bisa mengetahui kondisi terkini terkait dengan sesuatu yang sedang terjadi di sekitar kita, maupun informasi yang berasal dari belahan bumi lainnya. Namun, sangat disayangkan, tak sedikit orang-orang yang tidak bertanggungjawab, mereka membuat berita palsu atau hoax dan kemudian disebarluaskan. Hal tersebut mereka tujukan untuk ketenaran, ada pula yang hanya bermain-main saja. Alhasil, orang-orang yang kurang selektif membaca berita tersebut, ikut menyebarluaskan. Berita hoax terkait virus corona banyak tersebar luas di media sosial. Sebagai seorang muslim, ketika kita menerima suatu berita, kita diharuskan memeriksa terlebih dahulu apakah berasal dari sumber yang dapat dipertanggunggjawabkan, dan apakah berita tersebut benar-benar menggambarkan fakta yang terjadi. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (Q.S. al-Hujurât [49]: 6).

Tidak Mempersulit Orang Lain

Merebaknya berita wabah corona menyebabkan timbulnya fenomena Panic Buying, yaitu tindakan membeli sejumlah besar produk yang tidak biasa untuk mengantisipasi bencana, atau setelah terjadinya bencana, atau saat merasakan terjadinya bencana untuk mengantisipasi kenaikan harga. Fenomena ini terjadi pada pembelian barang-barang yang dirasa penting untuk mencegah adanya penularan virus. Namun, sayangnya hal ini dimanfaatkan oleh kebanyakan orang untuk meraih keuntungan dengan menaikkan harga barang yang melebihi batas kewajaran. Imbasnya, orang yang awalnya hanya ingin membeli barang tersebut untuk kebutuhan kesehariannya, akhirnya ia terpaksa mengeluarkan uang dua kali lipat atau lebih. Atau, yang seharusnya ia membeli, akhirnya ia kesulitan untuk mendapatkannya.

Dalam Islam, kita diperintahkan untuk memudahkan urusan orang lain, dalam berbagai perkara. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mempermudah kesulitan orang lain, maka Allah ﷻ akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat.” (H.R. Muslim)[3]. Maka hendaknya kita mempermudah urusan saudara kita, agar (semoga) Allah  mempermudah urusan kita pula tatkala kelak kita dalam keadaan sulit.

Masih banyak lagi sikap yang seharusnya ada pada seorang muslim dalam menghadapi fenomena seperti ini yang tidak penulis sebutkan disini. Semoga kita semua tetap semangat dalam menuntut ilmu syar’i, sehingga kita memiliki ilmu dan dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi suatu fenomena yang terjadi di sekitar kita. Semoga Allah selalu menjaga negeri kita dari musibah dan wabah penyakit. âmîn.[]

 

Uswatun Chasanah

Psikologi UII

 

Marâji’

[1] https://infeksiemerging.kemkes.go.id/

[2] https://rumaysho.com/21766-doa-meminta-perlindungan-dari-penyakit-kulit-gila-dan-berbagai-penyakit-jelek.html

[3] https://muslim.or.id/610-muamalah-allah-terhadapmu-sesuai-dengan-muamalahmu-terhadap-hamba-nya.html

 

Mutiara Hikmah

Doa Perlindungan dari Penyakit

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَسَيِّئِ اْلأَسْقَامِ.

” Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari penyakit kulit belang, penyakit gila, penyakit lepra, dan penyakit yang (berakibat) buruk. ” (H.R. Abu Dawud, No.1554)

Download Buletin klik disini

Pola Hidup Sehat

Pola Hidup Sehat

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sedikit sedikit sakit, terus apakah Islam memperhatikan dan menjaga kesehatan manusia? Mungkin kalimat ini banyak muncul di sebagian besar benak umat Islam pada umumnya. Melalui buletin ini mudah mudahan dapat berbagi informasi tentang betapa Islam menganjurkan kepada seluruh manusia untuk menjaga kesehatannya, salah satunya dengan menjaga pola makan yang baik dan benar serta olah raga yang tertib.

Al-Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu, dan kita ketahui bahwa seluruh isi al-Qur’an dapat di pastikan tidak ada yang bertentangan dengan alam dan manusia pada khusunya. Kita ketahui pula bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia (hamba) yang (ummiy) atau seseorang yang tidak bisa membaca dan tidak pula bisa menulis, yaitu Muhammad `. Dengan ini tentu menambah keyakinan kita selaku umatnya bahwa al Qur’an bukan karangan dari Muhamad, tetapi merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuhan semesta alam.

Makanlah Makanan yang Halal lagi Baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian. (Q.S. al-Baqarah [2]: 168).

Dari ayat diatas sangat jelas bagi kita bahwa Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk mengonsumsi makanan bukan hanya yang halal tetapi juga Thayyib ( baik). Kalau kita merujuk para mufassir salah satunya adalah Tafsir Ibnu Katsir, beliau berpendapat bahwa Thayyib  adalah sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan akal/ fikiran[1].

Syaikh Abdurrahman as’sa’di, berpendapat dalam Tafsir as Sa’di, bahwa makna kata الحلال yaitu segala sesuatu yang tidak membahayakan, dan itu adalah segala sesuatu yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan. Kata الطيب yaitu sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak menjijikkan yang tidak disukai oleh jiwa.[2]

Kebanyakan kita pada umumnya banyak yang lupa atau bahkan kurang memahami tentang kata thayyib tersebut, kebanyakan dari kita hanya yang penting halal, sehingga konsep baik itu sendiri terlupakan.

Mengapa Allah menggandengkan kata halal dengan thayyib dalam hal makanan? Karena tidak selamanya yang halal itu baik, di zaman sekarang ini banyak makanan yang secara dzatnya halal, tetapi secara kesehatan makanan tersebut tidak baik untuk di konsumsi, oleh karena itu Allah menganjurkan makanan yang halal dan juga baik.  Apalagi di era globalisasi seperti zaman sekarang ini, banyak makanan dan minuman yang siap saji, semua makanan serba cepat dan instan, membuat kita harus pandai memilah dan memilih tentunya, mana makanan yang halal dan juga baik.

Banyak diantara kita yang kurang teliti dan cermat tentang makanan yang kita makan sehari hari, kebanyakan hanya fokus pada yang penting halal dan melupakan apakah makanan itu baik atau tidak untuk badan kita. Banyak makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita, makanan itu halal dari sisi dzat nya, tetapi tidak thayyib untuk dikonsumsi oleh kita.

Salah satu contohnya adalah minuman dalam kemasan yang mengandung pemanis buatan dan juga pengawet. Makanan dan minuman tersebut bisa bertahan hingga berbulan bulan bahkan bertahun tahun. Makanan yang siap saji dan yang mengandung pengawet dan pemanis buatan itu, secara dzat nya halal, tetapi secara kebaikan dan gizi makanan tersebut tidak thayyib. Hal ini kalau kita konsumsi setiap hari tanpa kita sadari, kita sudah menumpuk bahan bahan yang tidak baik dalam tubuh kita, yang nantinya dalam jangka Panjang bisa membuat tubuh kita menjadi rusak dan sakit.

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menegaskan kepada kita untuk memakan makanan yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 172 (yang artinya) “Hai orang orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik baik yang kami berikan kepada mu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar benar hanya kepada allah kamu menyembah. (Q.S. al-Baqarah [2]: 172).

Menjaga Kebersihan Diri.

Seperti yang kita tahu, bahwa Rasulullah ` sangat menjaga kesehatannya, salah satunya beliau selalu menjaga kebersihan, karena kebersihan adalah bagian dari iman itu sendiri. Mari kita menengok sejenak ke belakang pada masa hidup Rasulullah `. Kita tahu bersama bahwa Rasul hanya pernah mengalami sakit 2 kali, pertama, pada saat beliau di racun oleh Zainab binti al Harits, dan yang kedua beliau sakit ketika menjelang wafat. Ini sangat luar biasa. Harusnya kita selaku umatnya mengikuti pola hidup yang diajarkandan di lakukan oleh Nabi kita.

Apa yang di lakukan oleh Rasul semasa hidupnya? Mari kita tengok sejenak. Rasulullah `  selalu menjaga kebersihan. Beliau selalu membiasakan hidup bersih, mulai dari mencuci tangan, bersiwak, menjaga wudlu, mandi, bersuci setelah buang air besar dan air kecil. Ini menunjukan bahwa pola hidup nabi sangat menjaga kebersiahan. Rasul sadar betul bahwa pangkal dari kesehatan adalah kebersihan.

Makan Makanan Yang Halal dan Baik.

Kita juga tau betul bahwa Rasulullah ` selalu memakan makan yang halal dan baik, salah satu makanan Rasulullah ` adalah madu dan kurma, buah buahan serta sayur sayuran. Ini menunjukan bahwa pola hidup nabi sangat menjaga kesehatan dan pola makan.

Tidak Melupakan Berolahraga.

Salah satu olahraga yang dilakukan oleh Rasulullah ` ialah “lari”. Dalam hadts yang diceritakan oleh Aisyah i, “Rasulullah ` mendahuluiku, kemudian aku mendahului beliau, begitulah seterusnya. Hingga saat badanku sudah gemuk, kami pernah berlomba dan beliau yang memenangkan perlombaan itu. Kata beliau “kemenangan kali ini adalah balasan atas kekalahan yang lalu.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).

Hadits ini bercerita tentang perlombaa lari antara Nabi dan istrinya aisyah i. Ini menunjukan bahwa beliau rajin berolahraga. Kita sudah seharusnya sebagai umatnya rajin berolahraga, karena dengan berolah raga badan kita menjadi fit dan selalu diberi kesehatan dan jiwa yang kuat.

Selain berlari Rasul juga gemar “memanah” banyak hadits yang berkisah tentang ini salah satunya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari. “Lemparlah panahmu itu dan saya bersama kamu sekalian”. (H.R. Bukhari). Dalam hadits lain Rasulullah ` pernah bersabda, “Kamu harus belajar memanah, karena memanah itu termasuk dari sebaik baik permainan.” (H.R. al-Bazzar dan Thabrani).

Banyak diantara kita yang melupakan olahraga, olahraga dianggap sebagian besar orang sebagai suatu kegiatan yang kurang bermanfaat, padahal dibalik olahraga tersimpan hal hal positif yang bermanfaat buat tubuh kita. Ada pepatah yang mengatakan banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk mencari uang, setelah itu mereka menghabiskan uang itu untuk pengobatanya. Banyak diantara kita yang sibuk menghabiskan waktunya untuk bekerja, bahkan mereka lupa untuk berolahraga, setelah mulai sakit baru terasa, betapa pentingnya melakukan hidup sehat dengan berolahraga.

Dalam hadits yang lain Rasulullah ` pun gemar berenang dan berkuda. Salah satunya adalah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada pemenangnya. (H.R. Muslim)

Subhanallâh walhamdulillâh, ternyata Rasulullah ` sudah mencontohkan dan mengajarkan perilaku hidup sehat sejaka 14 abad yang lalu. Beliau mengajarkan untuk hidup seimbang, antara ruhaniah dan kebutuhan fisik. Mari kita semakain bersemangat lagi untuk terus mengikuti dan mengamalkan sunnah sunnah yang nabi ajarkan, mudah mudahan rahmat dan berkah Allah l selalu menyertai kita. Âmîn.[]

 

Irwanto, M.Pd

Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Marâji’:

[1] Imam Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al ‘Adhim. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah. Jilid I, hal. 253 https://islam.nu.or.id/post/read/112683/makna–halalan-thayyiban–dalam-al-qur-an

[2] https://tafsirweb.com/650-quran-surat-al-baqarah-ayat-168.html

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah ` berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

“ Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu ” (H.R. Muslim no. 2739).

 

Download Buletin klik disini