MENGAMBIL PELAJARAN DARI PERISTIWA KEMATIAN

MENGAMBIL PELAJARAN DARI PERISTIWA KEMATIAN

Oleh: Siti Jamilah, MSI.*

 

Bismillâh walhamdulillâh, washshalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh, wa ba’du.

Berita tentang kematian atau wafatnya seseorang adalah suatu hal yang biasa dan sering kita dengar. Kabar wafatnya para tokoh masyarakat, cendikiawan, ulama, karib kerabat, sahabat dan handai taulan datang silih berganti dari waktu ke waktu. Terlebih beberapa waktu lalu, saat pandemi mencapai puncaknya di negeri ini, kematian seolah begitu dekat di sekeliling kita. Banyak orang-orang yang kita cintai meninggal dunia tiba-tiba. Bagaimana pun, semua tentu tak lepas dari kuasa dan takdir Allah, Penguasa dan Pengatur semesta raya. Selain bersabar dan ikhlas akan ketetapan Allah, kita juga semestinya harus mampu mengambil pelajaran dan ‘ibrah dari peristiwa kematian ini. Rasulullah n bersabda: Kafa bil mauti wa’izhan, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat”. (H.R. Baihaqi)[1].

Nasihat dari Kematian

Ada beberapa nasihat dari peristiwa kematian yang dapat kita ambil dan kita renungkan sebagai bahan pelajaran;

Pertama, hidup di dunia ini hanyalah sementara. Semua manusia pasti akan kembali menghadap Allah ﷻ untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya di dunia ini. Allah ﷻ berfirman: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. (Q.S. Ali Imran [3]: 185). Semua makhluk yang hidup pada saatnya akan mendapatkan giliran menemui ajal atau kematian. Hanya soal bagaimana, dimana dan kapan yang menjadi rahasia Allah. Jika kesadaran ini telah tertanam di dalam jiwa, niscaya akan dapat menumbuhkan dorongan agar kita mulai berbenah. Berusaha untuk terus memperbaiki diri.[2]

Kedua, masih diberikan nikmat kesehatan dan kesempatan. Kesehatan adalah salah satu nikmat terbesar yang kadang baru disadari betapa berharganya saat seseorang dalam keadaan sakit. Ada ungkapan hikmah yang menyatakan bahwa kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat yang tidak terlihat kecuali oleh orang-orang yang sakit.[3]

Ketiga, kematian mengajarkan pentingnya menghargai waktu. Ada dua nikmat besar yang sering dilupakan manusia kata Nabi, yaitu kesehatan dan kesempatan (waktu). Di saat kita sehat dan memiliki waktu, tentu banyak hal bermanfaat yang dapat kita lakukan. Dan kesempatan itu akan berakhir ketika kematian datang menjemput. Sehingga mumpung Allah masih memberikan kita waktu dan kesempatan, marilah kita gunakan dengan baik untuk banyak beribadah dan menebar manfaat bagi sesama.

Meraih Husnul Khatimah

Setiap Muslim tentu berharap bahwa pada saatnya nanti ketika ajal datang menjemput meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Husnul khatimah bermakna akhir hidup yang baik. Kebalikannya adalah suul khatimah, akhir hidup yang buruk. Akhir hidup yang baik bagi seorang Muslim sangat bermakna. Hal itu mengisyaratkan bahwa kelak di akhirat ia akan memperoleh ridha Allah, kebahagiaan dan surga-Nya.

Sehingga baik sekali kita sering berdoa, memohon kepada Allah agar dikaruniai anugerah husnul khatimah. Misalnya dengan sering-sering membaca doa berikut; Allahumma innii asaluka husnal khatimah, wa audzubika min suuil khatimah. “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu karuniakanlah hamba akhir kehidupan yang baik. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk”. Itu salah satu contoh redaksi doa memohon husnul khatimah yang dapat kita amalkan.

Di dalam hadits Nabi disebutkan ada beberapa keadaan dan tanda-tanda seseorang wafat dalam keadaan husnul khatimah;

            Pertama, ketika seseorang mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatnya. Nabi ﷺ bersabda; “Barangsiapa yang di akhir hidupnya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah niscaya ia masuk surga”. (HR. Abu Dawud).[4]  Wajar jika Allah ﷻ memberikan kemuliaan bagi mereka yang menutup hidupnya dengan membawa kalimat tauhid tersebut. Nabi ﷺ bersabda: “Iman memiliki enam puluh atau tujuh puluh lebih cabang. Cabang tertinggi dari iman adalah kalimat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Cabang yang terendah adalah menyingkirkan hal yang dapat menyakiti dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari).[5]

Kedua, ketika seseorang mengakhiri hidupnya dalam keadaan sedang beramal shalih. Misalnya ia wafat dalam keadaan sedang berpuasa, shalat, sedekah, membaca al-Quran, menunaikan ibadah haji dan seterusnya. Orang yang wafat saat sedang menunaikan ibadah dan ketaatan disebutkan dalam makna hadits shahih riwayat Imam Ahmad sebagai kematian yang husnul khatimah.

Ketiga, orang yang mati syahid. Nabi menyatakan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan syahid adalah calon penghuni surga. Ada beberapa macam keadaan yang dinilai sebagai mati syahid. Rasulullah bersabda; “Syahid ada tujuh macam selain yang gugur di jalan Allah. Orang yang mati karena penyakit tha’un (wabah menular) adalah syahid. Orang yang mati tenggelam syahid. Orang yang mati karena penyakit perut syahid. Orang yang mati terbakar syahid. Orang yang mati karena tertimpa bangunan syahid. Wanita yang gugur di saat melahirkan ia syahid”. (H.R. Abu Dawud). Juga disebutkan dalam riwayat hadits lain; “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, jiwanya dan keluarganya maka ia mati syahid”. (H.R. Tirmidzi).

Keempat, orang yang dikenal shalih saat hidupnya dan ia pun meninggal dalam keadaan istiqamah iman dan Islamnya. Hidupnya senantiasa diisi dengan ketakwaan dan amal kebaikan. Maka insya Allah ia husnul khatimah, meskipun secara zhahir mungkin tidak memiliki tanda-tanda spesifik saat wafatnya. Juga terhitung husnul khatimah seorang muslim yang wafat dalam keadaan diuji dengan sakit, dan ia husnuzhan serta bersabar atas ketetapan-Nya. Pada hakikatnya sakit yang menimpa seorang muslim adalah ujian. Ia akan menghapus dosa-dosanya dan meninggikan derajatnya manakala ia sabar dan ridha atas ketetapan-Nya. Wa Allâhu a’lam.

Kesimpulan

Nasihat dari Kematian

  1. hidup di dunia ini hanyalah sementara
  2. masih diberikan nikmat kesehatan dan kesempatan
  3. kematian mengajarkan pentingnya menghargai waktu.

Meraih Husnul Khatimah

Mempebanyak doa: Allahumma innii asaluka husnal khatimah, wa audzubika min suuil khatimah. “Ya Allah, hamba bermohon kepada-Mu karuniakanlah hamba akhir kehidupan yang baik. Dan hamba berlindung kepada-Mu dari akhir kehidupan yang buruk”.

Marâji’:

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

[1] Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10556 dari ‘Ammar bin Yasar secara marfu’

[2] Muhammad al-Ghazali, Jaddid Hayatak. Darul Bayan, 2007.

[3] Aidh al-Qarni, La Tahzan. Jakarta: Qisthi Press, 2004.

[4] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

[5] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari. terj. Zainuddin Hamidi dkk. Jakarta:  Wijaya, 1992.

Download Buletin klik disini

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

MUAMALAH DAN MAKNA KETAQWAAN KEPADA ALLAH

Oleh: Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.

 

Aturan Muamalah dalam Islam

Sebagai mahluk hidup yang diamanahi oleh Allah ﷻ untuk berbakti dan beribadah kepada Allah ﷻ, manusia tidak dapat terlepas dari kegiatan perdagangan, komunikasi, serta membangaun relasi dengan manusia lainnya, dan oleh karena itu Allah ﷻ Tuhan yang menciptakan kita semua telah memuat rambu-rambunya melaui Al-Qur’an, dan As-Sunnah yang dibawa oleh Nabi besar ummat Islam Muhammad ﷺ.  Aturan muamalah dalam Islam berhubungan dengan interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam bermuamalah Islam telah megatur tentang hukum-hukumnya. Landasan utamanya berasal dari nas al-Quran dan hadis.

Allah ﷻ berfirman  dalam surah al-Mâidah ayat 3, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1] (Q.S. al Mâidah [5]: 3)

Surat al Mâidah ayat 3 ini turun pada hari Arafah saat haji wada’ dan sesudahnya tidak turun lagi ayat mengenai halal dan haram. Asma binti Umais menceritakan, “Aku ikut haji bersama Rasulullah ﷺ dalam haji tersebut (haji wada’). Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepada beliau dengan membawa wahyu. Maka Rasulullah ﷺ membungkuk di atas untanya. Unta itu hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah ﷺ karena beratnya wahyu yang sedang turun …”

Pernah seorang Yahudi berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau biasa membaca ayat dalam kitabmu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” “Ayat apakah itu?” Orang Yahudi tersebut lantas membaca firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui ayat ini diturunkan kepada Rasulullah n pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jum’at.”[2]

Makna Muamalah

Dalam bahasa Arab, muamalah memiliki makna  pergaulan atau interaksi manusia dengan makhluk lain. Dari perspektif bahasa, ruang lingkup muamalah tidak terbatas pada manusia semata, namun juga mahluk ciptaan Allah ﷻ lainnya. Sedangkan menurut istilah, muamalah adalah perkara syariat yang mengatur hubungan sesama manusia berkaitan dengan urusan harta, pernikahan, kriminalitas, warisan, utang-piutang, dan sebagainya, sebagaimana dikutip dari fikih Muamalah: Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer (2020) yang ditulis Syaikhu, Ariyadi, dan Norwili.[3]

Cakupan Muamalah dalam Islam

Cakupan muamalah dalam tataran asas yang umum adalah mencakup keadilan, kesimbangan, dan kebolehan (mubah). Ayat terkait persoalan muamalah dalam Islam tertera dalam banyak ayat Al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Qs. al-Mâidah ayat 1 tentang memenuhi akad perjanjian

Allah ﷻ berfirman:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.[4] (QS. Al Maidah [5]: 1).

  1. Qs. al-Baqarah ayat 275 tentang haramnya riba

Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan, “Orang-orang yang bermuamalah dengan riba (yaitu tambahan dari modal pokok), mereka itu tidaklah bangkit berdiri di akhirat kelak dari kubur-kubur mereka, kecuali sebagaimana berdirinya orang-orang yang dirasuki setan karena penyakit gila. Hal itu karena sesungguhnya mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan praktek ribawi dalam kehalalan keduanya, karena masing-masing menyebabkan bertambahnya kekayaan.” Maka Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan transaksi ribawi, karena dalam jual beli terdapat manfaat bagi orang-orang secara individual dan masyarakat, dan karena dalam praktek riba terkandung unsur pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, hilangnya harta dan kehancuran. Maka siapa saja yang telah sampai padanya larangan Allah terkait riba, lalu dia menghindarinya, maka baginya keuntungan yang telah berlalu sebelum ketetapan pengaraman. Tidak ada dosa atas dirinya padanya. Dan urusannya dikembalikan kepada Allah terkait apa yang akan terjadi pada dirinya pada masa yang akan datang. Apabila dia komitmen terus di atas taubatnya, maka Allah tidak akan menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan barangsiapa kembali kepada praktek riba dan menjalankannya setelah sampai kepadanya larangan Allah tentang itu, maka sungguh dia pantas memperoleh siksaan dan hujjah telah tegak nyata di hadapannya. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Maka mereka itu adalah para penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”[5]

  1. Qs. al-Baqarah ayat 277 dari al-Baqarah tentang benefit yang akan didapat dari mengerjakan segala yang Ia perintahkan dan segala yang Ia larang.

Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” Q.S. al-Baqarah [2]: 277).

Dari cuplikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa Allah ﷻ sangat mengutuk perilaku riba, yang mana riba merupakan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia, utamanya yang berkaitan dengan masalah utang-piutang. Kemudian, dalam ayat berikutnya yakni Q.S. Al-Baqarah ayat 277 Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah beserta Hukum-Hukum yang telah ditentukan oleh-Nya, maka kepada mereka itu tidak ada kekhawatiran dan tidak ada kesedihat dalam hatinya. Artinya kalau kita sebagai manusia menaati perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya (bertaqwa kepada Allah) termasuk dalam persoalan muamalah, maka in sya Allah hidup kita akan penuh ketenangan, damai, tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Wa Allâhu a’lam.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558)

[1] Dikutip pada 27 Mei 2022 pada laman web :  https://tafsirweb.com/1887-surat-al-maidah-ayat-3.html.

[2] Muchlisin BK, Surat Al-Maidah Ayat 3, Terjemah, Tafsir, dan Kandungan, dikutip pada tanggal 27 Mei 2022 pada laman web : https://bersamadakwah.net/surat-al-maidah-ayat-3/.

[3] Abdul Hadi, Ayat-Ayat Al-Quran tentang Muamalah : Arab, Latin, dan Terjemahannya, dikutip pada tanggal 26 Mei 2022 melalui : https://tirto.id/ayat-ayat-al-quran-tentang-muamalah-arab-latin-dan-terjemahannya-gk9w .

[4] Dikutip dari terjemahan dari laman https://tafsirq.com/5-Al-Ma’idah/ayat-1. Pada tanggal 27 Mei 2022.

[5] Dikutio dari : https://tafsirweb.com/1041-surat-al-baqarah-ayat-275.html. Pada tanggal 27 Mei 2022.

Download Buletin klik disini

JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENJAGAMU

JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENJAGAMU

Oleh: Abdurrahman Triadi Putro

 

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Sesungguhnya pokok kebahagiaan seorang hamba di dalam kehidupan ini dan pokok kemenangan di dunia dan akhirat yaitu hamba tersebut menjadi orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ, menjaga perintah-perintah-Nya, dan menjaga dirinya dalam ketaatan kepada-Nya. Barangsiapa yang melakukan hal-hal tersebut, yaitu dia telah menjaga Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menjaganya. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan melindunginya.

Sesungguhnya menjaga Allah ﷻ yaitu menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak-Nya, perintah-perintah-Nya, dan larangan-larangan-Nya. Menjaga hal-hal tersebut yaitu dengan berharap pahala terhadap perintah-perinrah-Nya yang dikerjakan, menjauh terhadap larangan-larangan-Nya, dan tidak melampaui batas terhadap batasan-batasan yang telah Allah ﷻ tetapkan. Barangsiapa yang melakukan hal-hal ini, maka dia termasuk kedalam orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ yang mana Allah ﷻ telah puji mereka di dalam kitab-Nya, al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Q.S. Qâf [50]: 32-33). Tafsir kata ‘al-hafizh’ dalam ayat ini adalah orang yang menjaga perintah-perintah Allah, dan dengan menjaga dari dosa-dosa yang dia lakukan dengan bertaubat dari dosa-dosa tersebut.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Diantara perkara yang paling agung dari perintah-perintah Allah agar dapat dijaga adalah shalat. Karena shalat adalah tiang penegak agama dan rukun islam yang paling agung setelah 2 kalimat syahadat. Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk menjaga shalat kita. Allah ﷻ berfirman, “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 238). Allah ta’ala juga memuji orang-orang yang menjaga shalatnya, “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 34).

Barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ dan perhatian terhadap hak-hak Allah, maka Allah ﷻ akan menjaganya. Sebagaimana terdapat sebuah kaidah agung dalam agama kita, “al-jaza’u min jinsil ‘amal”. Yaitu balasan yang didapat sesuai dengan amal yang dilakukan.

Dua Bentuk Penjagaan Allah 

Penjagaan Allah ﷻ yang akan didapat oleh seorang hamba yang telah bersungguh sungguh menjaga batasan-batasan Allah ﷻ tersebut ada 2 macam, yaitu: Bentuk pertama dari pejagaan Allah ﷻ adalah penjagaan-Nya bagi orang tersebut dalam perkara-perkara dunia. Bentuknya seperti penjagaan kepada fisiknya, anaknya, istrinya, dan hartanya. Allah ﷻ berfirman, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 11).

Ibnu ‘Abbas menafsiri ayat ini, “Mereka (yang menjaga orang itu) adalah para malaikat, mereka menjaga dengan perintah Allah ﷻ. Apabila ketetapan (kematian) telah datang (bagi orang itu), maka para malaikat itu beralih darinya.”. Ali bin Abi Thalib juga menafsiri ayat di atas “Sesungguhnya bersama setiap orang terdapat 2 malaikat yang keduanya menjaga orang tersebut sebelum datangnya ketetapan (kematian). Apabila telah datang ketetapan itu, maka kedua malaikat tersebut beralih dari orang tersebut. Sesungguhnya kematian (bagi orang tersebut) adalah tameng yang sangat kokoh.”.

Bentuk kedua dari penjagaan Allah ﷻ yang mana penjagan ini merupakan penjagaan yang paling mulia, yaitu penjagaan Allah ﷻ kepada seorang hamba dalam agama dan keimanannya. Allah menjaganya dalam hidupnya dari syubhat-syubhat yang memalingkan dan dari syahwat-syahwat yang haram. Allah ﷻ juga menjaga agamanya ketika menjelang wafatnya sehingga wafatlah ia dalam keadaan beriman.

Doa Agar Mendapatkan Penjagaan Allah 

Sebagaimana hal ini dilandasi oleh sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi ﷺ berdoa, “Allahummah fazhnii bil islaam qoo’idan, wahfazhnii bil islaam qoo’iman, wahfazhnii bil islaam rooqidan, wa laa tuthi’ ‘aduwwan haasidan”. Artinya: “Ya Allah jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan duduk. Jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan berdiri. Jagalah aku dengan islam ketika dalam keadaan tidur. Janganlah Engkau berikan kepadaku musuh yang hasad.” (Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya).

Kita sebagai seorang muslim hendaknya mengetahui bahawasanya kebutuhan kita kepada penjagaan Allah dalam kehidupan dunia dan akhirat adalah kebutuhan terbesar dan sangatlah diperlukan di dalam kehidupan kita. Sehingga wajib bagi kita menempuh sebab-sebab penjagaan Allah kepada diri kita. Hendaklah kita menjadi orang-orang yang menjaga diri dalam ketaatan kepada Allah, dengan menjaga batasan-batasan dan perintah-perintah-Nya, agar Allah subhanahu wa ta’ala berkenan menjaga diri kita, menjaga harta kita, menjaga istri dan anak kita, serta menjaga dunia dan akhirat kita.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ﷻ. Kebutuhan kita terhadap penjagaan Allah diperlukan di setiap pagi dan sore hari, setiap siang dan malam hari, setiap berdiri dan duduk, serta di segala waktu dan kondisi kita. Oleh karena itu, sebagaimana terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan selain keduanya, dari hadits Ibnu Umar, bahwasanya Nabi ﷺ mengajarkan kepada sahabatnya sebuah doa yang hendaknya dibaca di waktu sore dan pagi hari, dan tentunya hal ini juga ditujukan kepada kita sebagai umatnya,

Beliau ﷺ berdoa, “Allahumma innii as’alukal ‘afwa wal ‘aafiyata fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as’aluka’ ‘afwa wal ‘aafiyata fii diinii wa dunyaaya wa ahlii wa maalii. Allahummastur ‘aurootii wa aamin rou’aatii. Allahummah fazhnii min baini yadayya, wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fauqii, wa a’uudzu bi’azhomatika an ughtaala min tahtii.”. Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ‘afiyah (kesehatan dan keselamatan) di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan ‘afiyah didalam agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan jagalah penglihatanku. Ya Allah, jagalah aku dari apa yang ada diantara tanganku, dari belakangku, dari sebelah kananku, dari sebelah kiriku, dan dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu dari ditenggelamkan dari bawahku.

Beliau Nabi kita tercinta, Nabi Muhammad ﷺ berdoa kepada Allah ﷻ agar dijaga oleh Allah ﷻ, di tiap pagi dan sore hari. Lalu bagaimanakah dengan kita ? Kebutuhan kita terhadap penjagan Allah ﷻ sangatlah penting di segala kondisi dan waktu kita. Oleh karena itu, jagalah Allah ﷻ, niscaya Allah ﷻ akan menjagamu. Jagalah perintah-perintah, larangan-larangan, batasan-batasan yang telah Allah ﷻ tetapkan, maka Allah ﷻ akan menjaga kita dalam perkara-perkara dunia dan agama kita, dalam kehidupan dunia dan akhirat kita.

Semoga setelah berlalunya bulan Ramadhan ini, selain meningkatkan intensitas dan kesungguhan amal-amal shalih kita di dalamnya, kita juga dapat semakin memupuk keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah ﷻ. Kita meyakini bahwasanya penjagaan Allah ﷻ sangatlah kita butuhkan dalam kehidupan kita, maka hendaklah kita menjadi orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah ﷻ dan syariat-yariat Allah. Jagalah Allah, niscaya Allah ﷻ akan menjagamu.[]

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ berdo’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kemiskinan, kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu jangan sampai aku mendzalimi atau didzalimi.” (HR. Ahmad 8053, Abu Daud 1546 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Marâji’:

https://al-badr.net/detail/G2bL35rfKj

https://al-badr.net/detail/stP9BGc6rZT0

(dengan beberapa penyesuaian)

Download Buletin klik disini

RAJIN KETIKA RAMADHAN, SETELAH RAMADHAN LALAI

RAJIN KETIKA RAMADHAN, SETELAH RAMADHAN LALAI

Oleh: Diki Muallim

 

Bismillah wasshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ba’du.

Saudaraku yang semoga dirahmati oleh Allah ﷻ, marilah kita renungi terlebih dahulu kandungan dalam surat al-Hadid ayat 16 ini. “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”[1]

Ingatlah Tentang Ramadhan

Ingatlah tentang amalan shalih yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan. Bulan yang baru saja telah kita lalui. Bulan bulan yang sangat mulia, banyak sekali keutamaan pada bulan Ramadhan salah satunya adalah menjadi bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, Allah ﷻ berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…”[2]

Bulan Ramadhan juga merupakan bulan dengan penuh keberkahan, Rasulullah ﷺ bersabada, “Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”[3]

Banyak orang ketika sebelum Ramadhan ia hanya mengerjakan ibadah yang wajib-wajib saja, atau dengan sedikit mengerjakan ibadah sunnah, atau bahkan mengerjakan ibadah wajibpun masih ada yang ditinggalkan. Namun setelah memasuki bulan ramadhan mereka lebih giat lagi dalam beribadah, yang tadinya bolong-bolong sholat lima waktu menjadi lebih rajin menjalankan sholat lima waktu, yang tadinya hanya mengerjakan ibadah yang wajib-wajib saja atau dengan sedikit tambahan ibadah sunnah namun ketika di bulan ramadhan ia lebih banyak lagi menjalankan ibadah-ibadah sunnah dibanding sebelum bulan Ramadhan. Ada yang menghatamkan Al Qur’an bahkan menghatamkannya pun sampai berkali-kali, ada juga yang lebih rajin menjalankan sholat malam, dan berbagai macam ibadah lainnya.

Ingat Teguran Allah dalam surat al Hadid

Namun setelah melewati bulan Ramadhan ibadah tersebut mulai menurun, semangatnya tidak lagi seperti saat di bulan Ramadhan. Maka ingatlah Allah ﷻ menjelaskan pada firmannya dalam surat Al-Hadid ayat 16 tersebut sebagai teguran bagi kita dengan mengatakan “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)…” yaitu menerima (pelajaran) Al-Qur’an dan mengamalkannya.

Bagi orang-orang yang beriman Al-Qur’an itu bisa memberi pengaruh dalam menambah keimanan mereka, Allah ﷻ berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”[4]

Kemudian dalam surat Al-Hadid ayat 16 itu Allah ﷻ mengingatkan kita janganlah meniru atau mengikuti seperti jalannya orang-orang ahli kitab, “…dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Orang-orang Ahli Kitab dahulu menerima Al-Kitab bersama mereka kemudian mereka melalaikannya lalu meninggalkannya dalam masa yang lama, kemudian hati mereka menjadi keras dan mereka pun menjadi orang-orang yang fasik. Pada ayat ini fasik yang dimaksud adalah bermakna kafir, sebagaimana Allah c menjelaskan, “Demikianlah telah tetap hukuman Tuhanmu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman.”[5]

Seseorang jika telah melewati satu bulan Ramadhan, ia sudah merasakan nikmatnya ibadah dan telah merasakan manisnya iman dalam berbagai amaliyah di bulan Ramadhan. Ia sudah terbiasa dengan ketaatan dan terbiasa takut jika melakukan perbuatan dosa, jika kebiasaan-kebiasaan ini dia tinggalkan maka hal itu dinamakan kelalaian. Sama seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang Ahli Kitab dahulu yaitu membuat jarak, mereka menelantarkan pelajaran pada kitab yang turun pada mereka dan akhirnya mereka ditimpa dengan kekerasan hati kemudian menjadikan diri mereka sendiri orang-orang yang fasik.

Hikmah Yang Dapat Diambil

Hikmah dari adanya bulan Ramadhan yaitu untuk mendidik diri seseorang untuk menjadi taat. Dan ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 185 dimana disebutkan secara khusus keterkaitan antara bulan Ramadhan dengan Al-Qur’an yaitu “…bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”

Ini menunjukkan bahwa setiap muslim dan muslimah harus mengetahui bahwa Al-Qur’an itu untuk diamalkan supaya memberi warna dan pengaruh pada hidupnya, bukan hanya sebagai simbolis atau kebiasaan saja. Ketika bulan Ramadhan ia rajin beribadah namun ketika selesai Ramadhan hatinya kembali jauh dari ibadah. Karena yang demikian sama halnya seperti jalannya orang-orang Ahli Kitab sehingga mereka dikeraskan hatinya.

Pelajaran lain yang dapat diambil dalam surat Al-Hadid ayat 16 ini adalah penyakit keras hati yang menimpa Ahli Kitab disebabkan karena mereka melalaikan Al-Kitab yang diturunkan kepada mereka dalam jangka waktu yang sangat lama. Oleh karena itu jika seseorang memahami tuntunan Islam yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi ﷺ maka hal itu pasti akan membuat dadanya terasa lapang (tidak menjadi keras hati), Allah ﷻ berfirman, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”[6]

Allah ﷻ berfirman, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”[7]

Maka tidak patut bagi seorang muslim jika sudah dimuliakan dengan ketaatan, akhlak yang baik, dan pendidikan yang berharga di bulan Ramadhan namun setelah selesai Ramadhan ia berganti dengan hal-hal yang buruk.

Kita memohon kepada Allah ﷻ yang memberikan anugrah kepada kita semua dengan keislaman, yang membuat kita mendapati awal Ramadhan kemudian akhir Ramadhan, semoga Allah ﷻ menyempurnakan nikmat untuk kita semua, menjadikan bulan Ramadhan selalu bermakna, berpengaruh di dalam jiwa dan kehidupan kita, dan semoga Allah ﷻ menggolongkan kita semua sebagai hamba-hambanya yang diterima puasanya, sholatnya, dan segala ketaatan yang kita lakukan di bulan Ramadhan, dan kita memohon kepada Allah supaya kita dijadikan sebagai orang-orang yang bertakwa, kedalam golongan orang-orang yang diterima amalannya dan orang-orang yang beruntung di sisi Allah ﷻ.

Mutiara Hikmah

Ibnu Katsir berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

‎وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

Dan barangsiapa yang beramal shalih maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (Q.S. Ar-Rûm [30]: 44). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114).

Marâji:

[1] Q.S. al-Hadid [57]:16

[2] Q.S. al-Baqarah [2]:185

[3] H.R. Ahmad dalam al-Musnad (2/385). Dinilai shahih oleh al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991)

[4] Q.S. al-Anfal [8]: 2

[5] Q.S. Yunus [12]: 33

[6] Q.S. al-An’am [6]: 125

[7] Q.S. az-Zumar [39]: 22

Download Buletin klik disini

MADRASYAH RAMADHAN DAN FAEDAH PUASA SYAWAL

MADRASYAH RAMADHAN DAN FAEDAH PUASA SYAWAL

Oleh : Abdul Muis*

*Alumni Informatika UII 2017

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ramadhan telah berlalu, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam, jika kita beribadah pada malam itu, maka kita akan mendapatkan keutamaan ibadah yang lebih baik daripada beribadah seribu bulan. Kita telah berpisah dengan bulan yang di dalamnya terdapat limpahan rahmat dan ampunan Allah ﷻ yang berlipat ganda. Kita telah ditinggalkan oleh bulan yang di dalamnya menutupi salah dan dosa. Kita telah ditinggalkan oleh bulan turunnya al-Qur’an pedoman umat manusia. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kita akan bertemu lagi dengan bulan yang penuh keberkahan itu.

Manusia dianggap mulia bukan karena hartanya, bukan karena jabatannya, bukan pula karena bentuk dan rupanya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu dan tidak melihat kepada bentuk kamu, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu.” (H.R Muslim)[1]. Sejatinya Ramadhan adalah madrasah yang mendidik kita supaya menjadi manusia bertaqwa. Apakah kita berhasil menjalani madrasah tersebut dan memperoleh gelar taqwa disisi Allah? Mesti ada empat unsur dalam diri kita, barulah kita layak disebut sebagai orang yang bertaqwa.

Pertama: Takut kepada Allah

Di siang hari bulan Ramadhan, kita menahan diri dari segala sesuatu yang halal, karena rasa takut kita pada Allah ﷻ. Maka diharapkan setelah Ramadhan kita mampu menahan diri dari segala yang haram, juga karena rasa takut kita kepada Allah. Kita tumbuhkan rasa takut sebulan penuh, supaya ia bersemayam dan kekal abadi di dalam hati sampai Ramadhan yang akan datang. Janji Allah ﷻ untuk orang-orang yang takut kepada-Nya yaitu seperti yang tercantum dalam surat Ar-Rahman ayat 46, Allah ﷻ berfirman “Dan bagi orang-orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.” (Q.S Ar-Rahman [55]:46).

Kedua: Melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an

Di bulan Ramadhan, bulan turunnya Al-Qur’an kita perbanyak tadarus Al-Qur’an. Maka mari kita amalkan isi dan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an bukan hanya sekedar untuk dibaca dan diperdengarkan, melainkan lebih dari itu, Al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman kehidupan.

Ketiga: Ridha terhadap ketentuan Allah

Setelah kita berusaha, maka kita harus menerima ketentuan Allah. Jangan sampai hasrat dan ambisi mendorong kita menghalalkan segala cara mendapatkan apa yang kita inginkan. Di bulan ramadhan kita diajarakan mengenali hakikat hawa nafsu. Kalau kita sudah mengenalnya dengan baik, maka mudah bagi kita mengendalikannya dan tidak tertipu oleh nafsu.

Keempat: Mempersiapkan diri menghadapi kematian

Sudahkah kita persiapkan diri untuk menghadapi kematian? Rasulullah ﷺ bersabda, “yang mengiringi mayit itu ada tiga, yang dua kembali, sedangkan yang kekal hanya satu. Mayat itu diiringi keluarga, harta, dan amalnya.” (HR. At-Tirmidzi). Selama ini kita sibuk mengurus yang dua perkara tersebut ; harta dan keluarga, kita lalaikan yang satunya. Padahal yang satu itulah yang akan menemani kita. Kalau kita mengaku sebagai orang yang bertaqwa, maka mari kita siapkan diri kita menghadap hari kematian itu.

Allah bercerita tentang balasan yang telah disiapkan untuk orang-orang yang bertaqwa, Allah ﷻ berfirman “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Alimrân[3]:133)[2]

Kaum muslimin sejatinya memahami bahwa ibadah itu bukan hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja. Karena memang kita harus melanjutkan amal bakda Ramadhan. Allah ﷻ  sangat menyukai amalan yang dilaksanakan secara kontinu. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ pernah menemui ‘Aisyah dan di sisinya ada seorang wanita. Rasulullah ﷺ pun  bertanya, “siapa ini?” ‘Aisyah menjawab, “si fulanah yang terkenal luar biasa shalatnya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Jangan seperti itu. Hendaklah engkau beramal sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Allah itu itu tidak bosan untuk menerima amalanmu hingga engkau sendiri yang bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara kontinu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah berpuasa dan melakukan berbagai ibadah pada bulan Ramadhan, kita dipertemukan dengan bulan Syawal. Ada amalan yang mulia di bulan ini yaitu melakukan puasa Syawal selama enam hari, yang pahalanya seperti berpuasa di sebulan penuh. Kaum muslimin dianjurkan untuk melaksanakan ibadah ini. Di antara faedah melakukan ibadah puasa Syawal adalah sebagai berikut.

Menggenapkan ganjaran pahala berpuasa setahun penuh

Rasulullah ﷺ bersabda “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim). Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan berpuasa sepuluh bulan (30×10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bula Syawal sama dengan berpuasa selama 2 bula (6×10 = 60 hari = 2 bulan) (sitasi buku fiqih syawal)

Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah ﷺ “Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah).

Puasa Syawal dapat menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah shalat wajib. Dalam menjalani puasa Ramadhan sering kali ada kekurangan, maka untuk melengkapi kekurangan tersebut mesti disempurnakan dengan amalan sunnah yaitu puasa Syawal.

Sebagai tanda diterimanya amalan di bulan Ramadhan adalah Allah akan menunjuki pada amalan shalih selanjutnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.

Sebagai bentuk syukur kepada Allah

Salah satu nikmat yang patut disyukuri adalah nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah mengetahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah. Ibnu Rajab rahimahullah berkata “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dari Allah.”[3].

Melalui puasa enam hari bulan Syawal secara tidak langsung Allah memberi hikmah kepada kita agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis. Semoga Allah ﷻ selalu memudahkan kita dalam melakukan ketaatan-ketaatan, amin.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah l adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (H.R. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

MARÂJI’:

[1] A. Somad, “somadmorocco.blogspot.com: Puasa 6 Hari di Bulan Syawwal,” 2010. http://somadmorocco.blogspot.com/2010/08/puasa-6-hari-di-bulan-syawwal.html (accessed May 12, 2022).

[2] A. Somad, “somadmorocco.blogspot.com: Khutbah Idul Fithri 1 Syawwal 1431H / 10 September 2010M.,” 2010. http://somadmorocco.blogspot.com/2010/09/khutbah-idul-fithri-1-syawwal-1431h-10.html (accessed May 12, 2022).

[3] M. A. Tuasikal, Fikih bulan syawal, Kedua. Pesantren Darush Sholihin, Dusun Warak RT.08 / RW.02, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55872: Rumaysho, 2021.

Download Buletin klik disini

TETAP ISTIQOMAH DALAM KEBAIKAN

TETAP ISTIQOMAH DALAM KEBAIKAN

Oleh : Nadya Rahma Restu Aulia*

*Ilmu Komunikasi FPSB

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh

Tak terasa satu bulan sudah kita melalui masa orientasi kebaikan untuk bisa mencapai derajat yang lebih mulia di sisi Allah. Godaan yang sesungguhnya akan mulai bermunculan ketika kita telah berpisah dengan bulan Ramadhan apakah kita akan tetap istiqomah dalam menjalankan amal kebaikan atau malah lengah dan tak terasa melakukan kekufuran demi kekufuran nauzubillahiminzalik. Ada baiknya kita tetap mempertahankan pembiasan baik yang selalu didawamkan selama bulan puasa.

Kebiasaan Baik Terus Berlanjut

Kebiasaan baik harus tetap berlanjut seperti halnya memakmurkan masjid tentunya ada kebaikan didalamnya. Terlebih Allah ﷻ telah berfirman dalam hadits qudsi tentang segolongan orang yang mendapatkan naungan kelak diakhirat, dimana tidak ada naungan kecuali naugan dari Allah ﷻ. Salah satunya adalah seorang pemuda yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid. Siapa yang tidak mau mendapatkan naungan Allah ﷻ kelak? Itu adalah cita-cita semua umat Islam, kita sebagai kaula muda sudah diberikan privilege untuk bisa memegang kunci naungan tersebut maka dari itu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini selagi kita mampu untuk melakukannya.

Maka yang dulu senantiasa beri’tikaf di masjid maka di bulan syawal pun tidak ada salahnya untuk melanjutkan kebiasaan baik tersebut. Disamping dengan beri’tikaf kita bisa juga memakmurkan masjid dengan cara lain seperti mengajar mengaji anak-anak, mengikuti kajian- kajian yang sering dilaksanakan di masjid, mengikuti diskusi keilmuan dengan remaja masjid, dan tak lupa sering-seringlah membersihkan rumah Allah ini agar orang nyaman berlama-lama berdiam di masjid dan semakin banyak pula orang yang tertarik untuk mendatangi masjid jika masjid senantiasa ada dalam keadaan bersih.

Kemudian kebiasaan membaca istighfar pun melanjutkan jangan sampai terlewatkan karena sesungguhnya Rasulullah ﷺ saja semasa hidupnya tidak pernah terlewatkan untuk membaca istighfar sekurang-kurangnya 100x dalam sehari. Contoh positif yang diberikan oleh Rasulullah inilah yang harus kita ikuti jejaknya, karena perlu kita tahu jika seseorang tidak membaca istighfar minimal 2x dalam sehari maka sesungguhnya ia telah zhalim terhadap dirinya. Bagaimana tidak dikatakan zhalim? sebut saja jika seseorang telah melakukan 10x tindakan yang berdosa dalam satu hari namun ia sama sekali tidak memohon ampunan atas tindakan dosanya itu, maka tentu ia telah zhalim Terhadap dirinya sendiri. Disinilah letak pentingnya memperbanyak membaca istighfar untuk menghapus setiap dosa yang telah kita lakukan baik yang disadari maupun yang tidak disadari.

Tak lupa dalam hal menjaga hubungan baik dengan Allah l dan sesama manusia pun harus tetap dipertahankan karena kedua hal tersebutlah yang menjadi tolak ukur baik maupun buruknya akhlak kita. Baiklah kita sebutkan saja dua contoh tindakan konkret dari hablum minallah dan hablum minannas.

Tindakan Nyata dalam Amal Shalih

Hablum minallah salah satunya adalah dengan memperbanyak membaca al-Qur’an. Mengapa membaca al-Qur’an ini menjadi hal yang penting untuk dilakukan secara continue oleh umat Islam? karena sesungguhnya di dalam al- Qur’an terdapat obat (Fiihi syifaa ul li nass).

Obat apa yang sebetulnya dimaksudkan dalam ayat ini ? tentunya obat yang tidak diperjualbelikan di Apotek, obat yang tidak hanya mengobati sakit fisik, tapi obat yang bisa menenangkan hati yang dipenuhi kegundahan, menguatkan pikiran yang tidak luput dari ketakutan, dan menghapuskan bayangan-bayangan buruk masa depan yang kerap kali menimbulkan kecemasan. Obat ini tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, hanya orang- orang yang senantiasa istiqomah membaca al-Qur’an lah yang bisa mendapatkan obat tersebut.

Adapun penerapan hablum minannas dalam kehidupan sehari-hari bisa kita lakukan dengan tolong-menolong kepada sesama manusia. Disamping tolong menolong sebetulnya ada hal lain yang memiliki urgensi yang tidak kalah pentingnya dalam membangun hubungan baik dengan sesama manusia yaitu perbanyak meminta maaf dan tidak sukar memaafkan. Mengapa maaf memaafkan ini dianggap sebagai hal yang penting? karena dosa yang manusia lakukan lebih banyak terbentuk dari dosa kepada sesama manusia maka dari itu perlu untuk meminta maaf kepada tetangga, saudara, dan juga orang tua secara berkala.

Mari kita umpamakan proses meminta maaf kepada Allah dan kepada manusia, pastinya akan lebih banyak jumlah kegiatan yang bisa kita lakukan untuk memohon maaf kepada Allah dibanding dengan sesama manusia. Kita lihat saja dari shalat 5 waktu, jika kita tambahkan dengan dzikir setelah shalat maka akan ada sekurang-kurangnya 5x waktu untuk memohon maaf kepada Allah atas tindakan atau kesalahan yang telah kita lakukan kepada Allah.  Sedangkan kepada manusia, mungkin hanya saat kita ingat saja atas kesalahan yang telah kita perbuat kepadanya maka dari itu penting untuk memperbanyak meminta maaf kepada sesama  manusia karena bisa saja ada tindakan dan ucapan yang bisa menyakiti hati namun tak kita sadari yang bisa memicu api yang lebih besar lagi jika kita tidak segera meminta maaf kepada orang-orang di sekitar kita.

Bersabar dalam Menghadapi Ujian

Dalam hal mengatur pola pikir kita agar senantiasa berpikir lebih positif dalam menghadapi berbagai ujian yang Allah ﷻ berikan kepada kita juga harus terus dilanjutkan. Laa Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’ahaa (Q.S al-Baqarah [2] : 286) “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.

Dari potongan ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan hambanya. Seberat apapun ujian yang Allah berikan kepada kita tidak mungkin akan sesulit dan seberat itu jika kita tidak mampu melaluinya. Yang berarti cobaan seberat apapun yang Allah berikan kepada kita sudah melalui takaran Allah sehingga menempatkan kita di posisi yang mampu melalui semua cobaan itu. Kita sebagai hamba-Nya seharusnya berbahagia ketika mendapatkan ujian tersebut karena hal itu menunjukkan bahwa Allah percaya pada kita, Allah memilih kita dari sekian juta umat manusia yang ada dimuka bumi ini, namun kitalah yang terpilih untuk memecahkan ujian yang sulit itu.

Sehingga dalam menghadapi semua cobaan itu kita hanya perlu bersabar karena di akhir kisah sulit tersebut akan terdapat hikmah yang bisa kita petik dan kita jadikan pelajaran untuk bisa lebih baik lagi dalam menjalani kehidupan di masa depan. Selain sabar kita juga harus bersyukur dengan adanya cobaan kita bisa lebih dekat lagi dengan Allah ﷻ. Pernah tidak terpikir oleh kita bahwa cobaan dan rintangan yang menghampiri kita adalah salah satu bentuk kasih sayang yang Allah ﷻ berikan kepada kita? Allah ﷻ sayang kepada kita sehingga Allah ﷻ menginginkan hamba-Nya bisa lebih dekat lagi dengan-Nya sehingga Allah ﷻ hadirkan ujian agar hamba-Nya bisa kembali mengingat Allah dan kembali mendekat pada-Nya. Sungguh maha baik sekali Allah ﷻ, manusia terkadang lalai dan lupa pada-Nya tapi Allah ﷻ tetap ingin dekat dengan hamba-Nya sejauh apapun hamba-Nya keluar dari jalur yang Allah tetapkan dalam ajaran-Nya.

Tiga Kunci Sukses

Akhirnya terdapat tiga kunci sukses dalam menghadapi ujian yang Allah ﷻ berikan yaitu “Ridho, Sabar, dan Syukur”. Ridho menerima ujian yang menimpa kita karena ujian itu sudah menjadi bagian dari suratan takdir yang Allah ﷻ gariskan Untuk kita. Sabar untuk menjalani ujian tersebut karena setiap ujian tidak ada yang tidak memiliki solusi dan akhir yang baik, yang perlu kita lakukan adalah sabar menunggu Kun Fayakun Allah ﷻ agar mendapat jawaban atas semua kesulitan yang menghampiri kita. Dan terakhir Syukur kita harus senantiasa bersyukur dengan cobaan yang Allah ﷻ berikan karena cobaan yang Allah ﷻ hadirkan untuk kita bukanlah bentuk kebencian Allah ﷻ atas kekhilafan yang dilakukan manusia melainkan bentuk kasih sayang agar hamba-Nya kembali ke jalan yang Allah ridhoi, kembali melakukan ketaatan kepada Allah ﷻ, dan berhenti melakukan kesalahan dan dosa yang dapat menjerumuskan kita pada jalan yang sesat.[]

Mutiara Hikmah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash c, ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ berkata padanya,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

”Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)
Download Buletin klik disini

IDUL FITRI, SILATURAHMI DAN BERBAGI DI TENGAH PANDEMI

IDUL FITRI, SILATURAHMI DAN BERBAGI DI TENGAH PANDEMI

Oleh: Jaenal Sarifudin*

 

Setelah kaum muslimin menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh, tibalah saatnya merayakan kegembiraan berhari raya idul fitri. Kaum muslimin berbondong-bondong menuju ke tanah lapang dan masjid-masjid untuk menunaikan shalat ‘id. Memanjatkan rasa syukur, mengagungkan Allah ﷻ dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Tuntas sudah kita menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan tahun ini. Tentu harapannya ibadah puasa yang ditunaikan berikut ibadah-ibadah yang mengiringinya seperti shalat tarawih, tadarus, sedekah dan iktikaf diterima oleh Allah ﷻ.

Ramadhan adalah madrasah ruhani, saat dimana spiritualitas dan keimanan kita ditempa. Idealnya setelah Ramadhan usai, keberagamaan kita pun akan semakin tercerahkan. Semakin meningkat ketaatan dan kualitas ibadah kita kepada Allah ﷻ. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, Idul fitri bukanlah milik mereka yang mengenakan baju baru, tetapi (kemenangan) Idul fitri adalah milik mereka yang ketaatannya bertambah”.

Merekatkan Silaturrahim dan Persaudaraan

Pada hakikatnya sesama manusia adalah bersaudara. Mereka dipersaudarakan dari asal-usul nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa. Allah ﷻ mengingatkan hal tersebut dalam firman-Nya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) daripadanya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan periharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]: 1).

Ini adalah salah satu ayat al-Qur’an yang di antara kandungannya memerintahkan manusia untuk menjaga hubungan tali silaturrahim. Silaturrahim atau silaturrahmi berasal dari bahasa Arab silah yang berarti menyambung dan rahim atau rahmi yang bermakna kekeluargaan dan kasih sayang. Maka silaturrahim dapat dimaknai dengan menyambung hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam bingkai kasih sayang. Silaturrahim merupakan salah satu ajaran agama yang sangat penting kedudukan dan maknanya. Ia merekatkan persaudaraan, kasih sayang dan menumbuhkan solidaritas sesama. Dengan tali silaturrahim manusia juga disatukan dalam ikatan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah) yang dengannya akan terbangun kepekaan sosial dan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Terlebih persaudaraan yang dibangun di atas pondasi keimanan dan agama (ukhuwwah Islamiyah), maka semestinya akan menjadi lebih rekat dan lebih kuat lagi. Nabi ﷺ bersabda; ”Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah laksana suatu bangunan yang (setiap bagiannya) menguatkan satu sama lain.” (H.R. Muslim no. 4684).

Dalam suasana ‘idul fitri, silaturrahim dan halal bihalal menjadi bagian dari budaya luhur yang telah mengakar dalam tradisi keagamaan Islam di Indonesia dari masa ke masa. Hal ini dibangun atas sebuah pemahaman bahwa setelah ibadah puasa usai ditunaikan, harapannya dosa-dosa kita diampuni Allah ﷻ, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari no. 38)[1].

Maka hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah upaya untuk menghapuskan dosa-dosa yang bersifat sosial, dosa-dosa kepada sesama manusia (haqqul adami). Menurut ajaran agama, dosa kepada sesama baru terhapus apabila kita meminta maaf dan menyelesaikan urusan tersebut dengan yang bersangkutan. Sehingga untuk tertunaikannya tujuan tersebut, sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim di negeri ini untuk mengadakan acara halal bihalal atau syawalan.  Nabi ﷺ bersabda: ”Barangsiapa merasa berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau sesuatu yang lain, hendaklah ia meminta halalnya (maafnya) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan dirham (akhirat).” (H.R. Bukhari no. 2449).[2]

Isi acara syawalan sendiri tidak lain adalah silaturrahim dan berikrar untuk saling maaf memaafkan atas segenap kesalahan. Juga biasanya disertai pula dengan pengajian yang disampaikan oleh ustadz atau penceramah. Tentu hal ini merupakan sebuah tradisi yang baik. Meski untuk kondisi saat ini, di tengah situasi pandemi yang belum berakhir, barangkali belum sepenuhnya bisa dilaksanakan secara maksimal sebagaimana kondisi normal. Masih ada pembatasan-pembatasan tertentu yang ditetapkan pemerintah dan para ahli kesehatan, seperti keharusan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan, utamanya memakai masker, untuk saling menjaga dari hal yang tidak diinginkan.

Dalam keadaan tertentu, silaturrahim secara fisik dengan bertatap muka mungkin juga belum bisa dilakukan sebagaimana mestinya karena berbagai kondisi dan keterbatasan. Misalnya karena kendala jarak yang jauh, belum bisa mudik atau ada halangan yang lain. Namun bukan berarti esensi, makna dan keutamaan silaturahmi tidak bisa didapatkan. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa al-kitabu ka al-khithabi, “tulisan itu berkedudukan seperti ucapan”. Kemudian juga kaidah li al-wasail hukm al-maqashid, “sarana menempati hukum tujuan”.[3] Dengan berdasarkan dua kaidah ini maka sesungguhnya tetap ada cara yang bisa ditempuh untuk tetap bersilaturrahim. Ucapan yang dikirim oleh seseorang melalui tulisan berupa surat, pesan melalui media sosial atau pun dengan bertelepon, video call, zoom meeting dan sarana lainnya pada hakikatnya adalah bentuk silaturahmi juga. Sehingga silaturahmi, halal bihalal dan syawalan tetap bisa dilakukan dengan banyak cara melalui fasilitas dan sarana yang ada, tidak harus selalu dengan perjumpaan fisik.

Empati Sosial

Di antara sabda Rasulullah ﷺ yang menekankan arti penting silaturrahim adalah,  “Sebarkanlah salam, sambunglah silaturrahim, berikanlah makan kepada orang yang kekurangan dan bangunlah untuk beribadah di waktu malam, niscaya engkau akan masuk surga dengan damai.” (H.R. Tirmidzi no. 2485). Dalam hadis ini, terdapat pesan Nabi yang dapat dipahami bahwa seharusnya silaturrahim juga dilanjutkan dengan kepedulian untuk berbagi pada sesama bagi mereka yang mampu. Sosok muslim ideal adalah yang shalih secara ritual dan shalih pula secara sosial. Pesan Nabi tersebut semestinya menjadi motivasi bagi siapapun yang berkecukupan untuk melanjutkan aktivitas silaturrahim pada kesadaran untuk berempati. Kesalehan sosial seseorang diuji dalam situasi seperti sekarang ini. Saat dimana banyak saudara-saudara kita terhimpit kesulitan secara ekonomi.

Diisyaratkan dalam kandungan hadits di atas bahwa barangsiapa yang menyempurnakan kesalehan pribadinya dengan kesalehan sosial, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan penuh kedamaian. Dalam sabdanya yang lain, Nabi juga menyampaikan bahwa mereka yang memelihara tali silaturrahim maka akan dipanjangkan usianya dan diberkahi rezekinya. Tentu akan semakin bertambah keberkahan rezeki seseorang manakala ia rajin bersedekah membantu sesama. Bagi mereka yang tidak berlebih secara materi pun sesungguhnya tetap memiliki kesempatan untuk bersedekah, karena pada hakikatnya, sebagaimana sabda Nabi bahwa “setiap perbuatan baik adalah sedekah”. (H.R. Bukhari, no. 6021). Sehingga setiap kontribusi yang dilakukan berupa kebaikan dan bantuan dalam bentuk apapun pada hakikatnya adalah juga bernilai sedekah.

Mutiara Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ‏.‏

Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Maraji:

* Mahasiswa FIAI UII

[1] Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut, Darul Fikr, t.t.

[2] ibid

[3] Asjmuni Abdurrahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.

Download Buletin klik disini

MAKNA SILATURRAHIM DI HARI RAYA IDUL FITRI

MAKNA SILATURRAHIM DI HARI RAYA IDUL FITRI

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah ﷻ, telah sampai kita pada penghujung Ramadhan. Yang kemudian datanglah hari yang sering disebut sebagai hari yang suci yaitu hari raya idul fitri, maka dari itu masyarakat di Indonesia sering merayakan hari itu sebagai hari dimana untuk bisa menjalin silaturrahim dengan keluarga, kerabat maupun tetangga. Berbicara terkait  silaturrahim konteksnya tidak harus pada hari raya saja. Tetapi bisa dilakukan hari-hari biasa. Karena menjalin silaturrahim itu sangat penting, demi menjaga ketentraman bersama.

Menjalin silaturrahim di momen idul fitri ini merupakan salah satu harapan dan doa bagi seorang muslim agar dosa-dosa yang telah dilakukan baik itu kesalahan yang berkaitan dengan hubungannya dengan manusia maupun dengan Allah ﷻ bisa dimaafkan. Sehingga dengan itu akan menimbulkan perbuatan yang baik dalam hal kebersamaan dan juga dengan hubungannya dengan Allah  ﷻ. Oleh karena itu memutuskan tali silaturrahim sangat diancam dan dilarang oleh Allah ﷻ. Allah  ﷻ berfirman, “Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu tuli (pendengarannya) dan dibutakan dengan penglihatannya.” (Q.S. Muhammad [47]:22-23)

Hakikat manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya, maka dari itu terlepas daripada hubungan muamalah yang dilakukan manusia pasti ada kalanya melakukan kesalahan yang tidak disadari bahwa hal itu menyakiti saudara kita sendiri. dengan menjalin silaturrahim dan mengakui kesalahan yang dilakukan hal itu bisa meleburkan atau menghapus dosa kita sendiri.

Mengunjungi kerabat

Berkunjung secara langsung dan menemui kerabat dekat merupakan salah satu contoh agar kita bisa mengetahui keadaan secara langsung. Bukan hanya kerabat dekat saja tetapi tetangga sekitar kita yang bersebelahan dianjurkan sekali untuk mengunjunginya secara langsung. Karena biasanya tetangga yang dekat dengan rumah kita itu memungkinkan terjadinya percecokan antar tetangga secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Al-Ghazali, kerabat yang terdekat atau tetangga yang bersebelahan dengan rumah kita itu berpeluang menimbulkan percekcokan dan permusuhan yang mengakibatkan hubungan kekeluargaan terputus. Hal itu seperti istilah lebih baik hidup yang berjauhan tetapi saling mengunjungi satu sama lainnya daripada dekat tapi saling bermusuhan.[1]

Berikut hadits yang berkaitan dengan anjuran silaturrahim, “Seorang yang menyambung silaturrahim bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silaturrahim adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturrahim setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain”.[2]

Memaafkan serta ikhlas dan berlapang dada

Mungkin kita pernah merasakan rasa kecewa atau marah pada sesorang yang telah berbuat kesalahan terhadap kita atau bahkan ingkar janji pada suatu hal yang telah disepakati bersama. Memang tidak mudah untuk memaafkan seseorang yang telah melakukan sesuatu sehingga membuat kita sakit hati bahkan itu menimbulkan trauma yang berat bagi kita. Namun kita telah diajarkan oleh Allah ﷻ  untuk ikhlas dan memaafkan segala sesuatu yang menyebabkan kecewa akan suatu hal itu. Allah  ﷻitu maha adil, jika kau ihklas menerima kekecewaan dalam hidup dikarenakan seseorang dan kemudian mendekat kepada Allah ﷻ.

Suatu saat Allah  ﷻ pasti akan membalasmu dengan kebaikan-kebaikan atas rasa sabar dan ikhlas dalam menerima dan memaafkan seseorang. Dibalik rasa kecewa, rasa marahmu. Memaafkan merupakan salah satu kunci pahala yang bisa kamu dapatkan di dunia ini. Allah ﷻ berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”  (Q.S. Al-A’raf [7] : (199).

Bisa dipahami bahwa memaafkan merupakan sesuatu yang mulia, karena memaafkan terciptalah kebersamaan lagi, dan menimbulkan ketentraman hati dan berlapang dada. Siapa tau jika kau menerima dan ikhlas dalam memaafkan orang lain. Allah ﷻ juga akan memaafkan kesalahanmu. Dengan itu munculah perasaan sifat saling menyayangi sesama saudara, dan membuka lembaran baru atau hubungan akan terjalin kembali dengan baik.[3]

Menjalin silaturrahim mencegah dari perbuatan berburuk sangka.

Ketika kita datang dan berkunjung kerumah saudara kita, tentu saja selain bercakap-cakap dan bersalam kita akan menemukan arti sebuah kebersamaan dan ketentraman dalam menjalin silaturrahim. Dengan itu sifat dan perbuatan berburuk sangka terhadap orang lain sewajarnya jauh dalam pikiran kita sendiri. hal itu bisa terjalin dan mengalir begitu saja dengan rasa bahagia bisa berkumpul bersama tanpa ada rasa untuk saling menjatuhkan satu sama lainnya.

Allah ﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari  kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima Tobat. Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).

Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa, berburuk sangka atau bahkan menggunjing merupakan salah satu perbuatan yang bahaya. Bahkan sampai pada dianalogikan orang yang mengghibah sama halnya dengan memakan daging saudaranya sendiri. Dengan itu ketika kita berkunjung kemudian meminta maaf satu sama lainnya sehingga dengan menjalin silaturahmi akan tercipta kedekatan dan juga kekompakan bersama.

Terciptanya kerukunan bersama

Kebersamaan keluarga di hari raya idul fitri merupakan momen yang ditunggu-tunggu bagi keluarga untuk berkumpul bersama. Apalagi budaya kita yang diidentikan ketika lebaran sanak keluarga akan berbondong-bondong balik mudik ke kampung halamanya masing-masing. Oleh karena itu menjalin silaturahmi di hari raya idul fitri menjadi salah satu kesempatan untuk berkumpul bersama sanak saudara. Apalagi ditambah dengan sajian berbagai macam kue lebaran maupun opor, ketupat  sebagai pelengkap dalam mencapai keakraban bersama di hari kemenangan ini.

Makna hari Raya Idul Fitri

Setelah melewati puasa selama satu bulan, dan melewati berbagai tantangan agar dapat melawan hawa nafsu kita akan pada sampai hari dimana hari tersebut merupakan hari yang disucikan yaitu hari raya idul fitri. Selain itu di bulan ramadhan merupakan momen dimana kita bisa menemukan malam lailatul qadar yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.  sebelum hari raya idul fitri umat islam diwajibkan untuk membayar zakat, dengan membayar zakat kita akan lebih menghargai dan bersyukur atas pemberian dan karunia Allah ﷻ  kepada kita. selain itu momen hari raya idul fitri merupakan sebagai bentuk untuk membersihkan jiwa kita dari sifat iri, dengki terhadap orang lain.[4] Dengan itu semoga kita selalu diberikan keselamatan dunia dan akhirat dan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad di yaumil akhir.

Mutiara Hikmah

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda,

تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ

Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16. Syaikh Al-Albani menukilkan pernyataan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa hadits ini bersambung dari beberapa jalur yang berbeda, semuanya hasan)

* Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII, NIM: 19421133

[1] Lilik Ummi Kaltsum, ‘Hubungan Kekeluargaan Perspektif Al-Qur’an (Studi Term Silaturahmi Dengan Metode Tematis)’, Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir, 6.1 (2021), 20 <https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Al-Bayan/article/view/9539>.

[2] Syamsur Rizal, ‘Model Pembelajaran Hadist Integratif Dengan Tema Silaturahmi’, 1.1 (2019), 183 <https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/edisi/article/view/1339>.

[3] Moh Khasan, ‘Perspektif Islam Dan Psikologi Tentang Pemaafan’, At-Taqaddum, 9.1 (2017), 80 <https://doi.org/10.21580/at.v9i1.1788>.

[4] Ihyaul Ulumuddin, ‘Makna Perayaan Hari Raya Idul Fitri Dan Hari Natal’, 2010.

Download Buletin klik disini

BEKAL RINGKAS ZAKAT FITRI

BEKAL RINGKAS ZAKAT FITRI

Oleh: Hendi Oktohiba

 

Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah

Hukum Zakat Fitri

Pembaca yang budiman, pada bulan Ramadhan ini, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat fitri, sebagaimana hadits Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah n mewajibkan zakat fitri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Seorang muslim yang ada kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan keluarganya, mulai terkena kewajiban membayar zakat fitri jika ia bertemu bulan Ramadhan dan terbenamnya matahari (waktu maghrib) di malam hari raya Idul Fitri. Jika dia mendapati kedua waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fitri. Jadi, apabila seseorang meninggal sebelum maghrib hari terakhir bulan Ramadhan menjelang malam hari raya Idul Fitri, maka dia tidak punya kewajiban mengeluarkan zakat fitri. Tetapi jika dia meninggalnya setelah masuk waktu maghrib, maka dia sudah terkena kewajiban untuk mengeluarkan zakat fitri. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah masuk waktu maghrib pada malam hari raya Idul Fitri, maka tidak wajib dikeluarkan zakat fitri darinya.

Tetapi jika bayi itu lahir sebelum masuk waktu maghrib kemudian bayi tersebut menemui waktu maghrib malam hari raya Idul Fitri, maka wajib dikeluarkan zakat fitri darinya. Tadi adalah penjelasan waktu terkena wajibnya membayar zakat fitri. Meskipun begitu, zakat fitri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan dan dianggap sah serta sudah gugur kewajiban zakat fitrinya. Zakat fitri ditanggung oleh masing-masing individu, karena zakat fitri adalah zakat badan atau diri. Anak kecil yang tidak punya harta, zakat fitrinya ditanggung oleh orang tuanya.[1]

Bentuk dan Kadar Zakat Fitri

Bentuk zakat fitri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, dan semacamnya. Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fitri adalah satu sha’ dari semua bentuk zakat fitri kecuali untuk qamh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sha’.

Satu sha’ adalah ukuran takaran yang ada pada masa Nabi n. Ukuran satu sha’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan zaman sekarang adalah sekitar 3 kg. Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sha’ kira-kira 2,157 kg. Artinya, jika zakat fitri dikeluarkan 2,5 kg seperti kebiasaan di negeri kita, sudah dianggap sah. Zakat fitri tidak boleh ditunaikan dalam bentuk uang, sebagaimana pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.[2]

Golongan Orang Yang Berhak Menerima Zakat

Orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik) ada delapan golongan, yaitu: (1) Fakir, yaitu orang-orang yang tidak mampu memenuhi sesuatu yang merupakan bagian dari kebutuhan mereka. Misalnya, orang yang membutuhkan sepuluh, tetapi hanya mampu memenuhi dua atau bahkan tidak mampu sama sekali.

(2) Miskin, yaitu orang-orang yang tidak mampu memperoleh sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan mereka. Misalnya orang yang membutuhkan sepuluh, tetapi hanya mendapatkan delapan.[3]

(3) Amil Zakat, yaitu pengurus zakat dengan penunjukan pemerintah dan bukan mengangkat dirinya sendiri. Jadi, panitia atau sukarelawan yang mengumpulkan zakat atas inisiatif tanpa ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang biasanya dilakukan oleh pengurus-pengurus masjid di negeri kita, tidak termasuk dalam mustahik. Kecuali jika mereka masuk dalam golongan mustahik yang lain, misalnya tergolong fakir, miskin, atau yang lainnya.

(4) Muallafatu Qulubuhum, yaitu orang-orang yang masih lemah keislamannya.

(5) Pembebasan Budak. Termasuk di dalamnya adalah pembebasan budak mukatab yaitu budak yang berjanji pada tuannya untuk memerdekakan dirinya dengan syarat melunasi pembayaran tertentu.

(6) Gharim, adalah orang-orang yang tidak mampu melunasi utang mereka. Dalam hal ini disyaratkan utang-utang tersebut untuk sesuatu yang mubah (boleh). Jika utang-utang tersebut untuk sesuatu yang haram, maka zakat tersebut tidak boleh diberikan kepadanya kecuali setelah ia bertaubat.

(7) Fi Sabilillah, yaitu orang-orang yang berperang untuk membela Islam dan tidak ada kompensasi untuk mereka dari baitul mal. Dalam pengertian lain, yaitu orang-orang yang dalam peperangan, sedangkan mereka tidak digaji oleh departemen atau lembaga terkait. [4] Jadi, fi sabilillah dalam mustahik zakat adalah orang yang harus memenuhi dua syarat yaitu a) berperang di medan peperangan membela Islam, b) tidak mendapatkan gaji dari negara.

(8) Ibnu Sabil, yaitu musafir yang ingin kembali ke negerinya, namun kehabisan biaya atau bekal untuk mengantarkan perjalanannya.[6]

Zakat fitri boleh diberikan kepada salah satu mustahik. [5] Karena penyebutan delapan golongan di atas hanya untuk membedakan jenis-jenis golongan mustahik, bukan untuk mengharuskan agar diberi semuanya. Zakat fitri boleh dibayarkan langsung kepada mustahik tanpa melalui amil zakat maupun panitia pengumpul zakat dan juga tidak perlu ada ijab kabul serta jabat tangan antara pembayar zakat (muzakki) dan penerima zakat (mustahik).

Golongan Orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Zakat fitri tidak boleh diberikan kepada lima golongan, yaitu, (1) Orang yang kaya harta atau berpenghasilan banyak. (2) Budak. (3) Bani Hasyim dan Bani Muththalib. (4) Orang kafir. (5) Orang yang nafkahnya menjadi tanggungan si muzakki dengan atas nama mustahik fakir dan miskin, contohnya yaitu suami wajib menafkahi istri dan anak-anaknya, berarti si suami sebagai muzakki haram untuk membayar zakat kepada istri dan anak-anaknya dengan atas nama mustahik fakir ataupun miskin.

Pembaca yang budiman, kita sebagai seorang muslim sudah semestinya paham dengan syariat zakat fitri, karena ini berkaitan dengan kewajiban seorang muslim dan hak orang lain. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu bertakwa kepada Allah dan dimasukkan ke dalam surga firdaus-Nya. Aamiin.

Mutiara Hikmah

Dari Ibnu Abbas, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ  nزَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

Rasulullah n mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827)

Alumni FIAI

[1] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani. 2007 M. Jilid 1. Cet.k-3. hal. 622.

[2] Muhammad Abduh Tuasikal. Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah. Sleman: Pustaka Muslim. 2014 M. Cet.k-7. hal. 78-79.

[3] Musthafa Dib al-Bugha. At-Tadzhib fi Adillah Matan al-Ghayah wa at-Taqrib. Alih bahasa D.A Pakihsati. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i. Solo: Media Zikir. 2009 M. hal. 206.

[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq al-Sheikh. Lubabut Tafsir min Ibni Katsir. Alih bahasa M. Abdul Ghoffar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2003 M. Cet.k-2. hal. 154.

[5] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqhi fid Din. Alih bahasa Abu Ihsan al-Atsari. Pedoman Praktis Fiqih Setiap Muslim. Jakarta: Dar el-Hujjah. 2002 M. Cet.k-1. hal. 110.

Download Buletin klik disini

MENJADI TERBAIK DAN MERAIH KEBERKAHAN DI BULAN RAMADHAN

MENJADI TERBAIK DAN MERAIH KEBERKAHAN DI BULAN RAMADHAN

Oleh: Imanuddin Fadlurrahman[1]

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam diri seorang muslim sesungguhnya telah ada DNA manusia-manusia terbaik. Entah status muslim yang didapatkan berdasarkan keturunan maupun melalui pencarian jati diri yang panjang. Yang jelas siapapun yang melekat padanya identitas keislaman, maka ditakdirkan menjadi golongan orang-orang terbaik. Al-Qur’an dengan sangat gamblang menyebutkan, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]:110).

Para mufasir sepakat bahwa yang di maksud “kamu” di awal surah tersebut adalah umat Islam. Karena sesungguhnya Allah telah meletakkan ide yang independen mengenai konsep manusia terbaik jauh sebelum manusia diturunkan ke bumi. Manusia terbaik tersebut ada dengan prasayarat harus saling bersinergi satu sama lain sehingga mampu menjadi sebuah keutuhan yang membentuk umat terbaik. Lanjutan ayat diatas dikategorikan sebagai golongan yang memikul tanggung jawab menyuruh kebaikan sekaligus mencegah yang buruk. Manakala kedua tanggung jawab itu ditinggalkan, maka lepas pula status umat terbaik.Umat terbaik hadir karena adanya manusia-manusia terbaik yang membentuknya. Demikan halnya manusia terbaik lahir karena adanya himpunan yang baik yang mampu mendorong manusia untuk senantiasa melakukan perbuatan baik dan mencegah yang buruk.

Menjadi Umat Terbaik Melalui Momentum Bulan Ramadhan

Tak semua umat mampu menjadi uamat terbaik, sehingga ada syarat yang harus dimiliki oleh suatu umat untuk menyandang status umat terbaik, yakni umat Islam harus berusaha menegakkan amar makruf dan nahi mungkar. Sebagaimana Hamka menggambarkannya dalam Tafsir al-Azhar bahwa ayat 110 pada surah Ali Imran tersebut menegaskan hasil usaha yang nyata, yaitu kamu (baca; Umat Islam) yang dikeluarkan antara manusia di dunia ini. Dijelaskan sekali lagi, bahwa kamu mencapai derajat yang demikian tinggi, sebaik-baik umat, karena memenuhi ketiga syarat: amar ma’ruf, nahi munkar, iman kepada Allah.[2]

Menjadi umat Islam terbaik perlu adanya dorongan untuk memaksimalkan potensi iman yang ada dalam diri supaya  mampu menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pilar agama Islam yang keempat yaitu berpuasa dibulan Ramadhan.

Puasa di bulan Ramadhan membuat kondisi spiritual bagi orang-orang yang menjalankannya akan meningkat dan kembali fresh serta semakin kuat rasa kasih sayang terhadap sesama. Bagaimana tidak, sementara sebulan penuh kita dituntut lebih untuk saling bersilaturrahmi, ta’awun atau tolong menolong, dan menahan nafsu dan emosi sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya :”Ada lima perkara yang membatalkan puasa seseorang: yaitu bohong, ghibah (membicarakan orang lain yang membuatnya tidak senang), mengadu domba, melihat orang lain dengan syahwat dan bersaksi atau bersumpah bohong.”(HR. Ad-Dailami)

Inilah persoalan yang harus dimengerti umat Islam agar mengetahui hakikat diri dan nilainya. Bulan Ramadhan dengan ibadah puasa sebagai menu utamanya adalah sebuah wadah yang siap membakar habis segala emosi merusak yang dapat menenggelamkan manusia ke dalam lumbung kemaksiatan. Ramadhan hadir untuk menyadarkan manusia bahwa mereka dilahirkan untuk maju ke garis depan dan memegang kendali kepemimpinan karena mereka adalah umat yang terbaik.

Manfaat Berpuasa

Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan segudang manfaat dari melakukan ibadah puasa. Pertama, manfaat dalam bidang kesehatan. yaitu kesehatan jasmani, moral, maupun mental, Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda: “Berpuasalah kalian maka akan menyehatkan kalian.” Juga dalam hadits lain yang artinya: “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagian: kebahagian ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya.”(H.R. at-Thabrani no.174)

Kedua, manfaat alam bidang sosial yaitu membangun jiwa yang harmoni selaras dengan raga. Sebab dengan berpuasa seseorang akan mengambil jeda di dalam menjalankan hidupnya. Misal dengan tidak makan dan minum di siang hari merupakan salah satu cara untuk membangun sikap empati baik kepada sesama manusia dan makhluk hidup lain. Kemudian melalui momentum ramadhan ini dapat menjadi media untuk mempererat ukhuwah.[3]

Keberkahan di Bulan Ramadhan

            Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh ampunan dan penuh keberkahan, sangat disayangkan jika sebagai umat Islam tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Keberkahan yang ada di bulan ramadhan tidak hanya secara personal namun juga ada keberkahan dari berbagai bidang, yaitu bidang ekonomi, politik, sosial, etika dan budaya.

  1. Keberkahan Ekonomi

Secara ekonomi, Ramadhan memberi keberkahan bagi para pedagang. Pada bulan ini daya beli masyarakat meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Masyarakat sangat antusias dengan kedatangan Ramadhan.

  1. Keberkahan Politik

Bulan Ramadhan tercatat memberikan keberkahan kepada Umat Islam dengan kemenangan dalam berbagai pertempuran. Banyak peristiwa-peristiwa monumental yang terjadi di bulan Ramadhan. Misalnya pada tahun ke-2 Hijrah, kaum muslimin mengukir kemenangan pada perang Badar. Di Bulan Ramadhan tahun ke-8 hijrah, Umat Islam berhasil menaklukkan Mekkah (fathu makkah). Ramadhan tahun ke-15 H, kaum muslimin mengalahkan imperium Persia dalam perang Qadisiah.[4]

  1. Keberkahan Sosial

Momen Ramadhan mengajarkan manusia untuk bermurah hati (dermawan), menolong dan mempunyai rasa empati kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan sehingga melalui momen ramadhan ini dapat menjalin hubungan sosial kepada sesama.

  1. Keberkahan Etika dan Budaya

Bulan Ramadhan juga memberikan keberkahan dalam etika dan budaya kita. Ibarat sebuah madrasah (sekolah), Ramadhan mendidik kita untuk berperilaku yang mulia dan membiasakan diri melakukan kebaikan. Pembiasaan yang dilakukan di bulan Ramadhan diharapkan lahir suatu budaya yang Islami, yaitu selalu berorientasi dalam mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan, baik dalam konteks pribadi maupun dalam konteks sosial.

Inilah makna Ramadhan. Sebuah tempat dalam setahun yang disiapkan oleh Allah untuk memperingatkan manusia bahwa mereka adalah umat terbaik. Maka sudah seharusnya orang-orang terbaik mengerjakan pekerjaan yang terbaik pula. Agar meraih setiap keberkahan di dalamnya yang membawanya menuju kemajuan yakni menjadi umat terbaik dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Mutiara Hikmah

Allah ﷻ berfirman,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”(Q.S. Ali Imran[3]110).

Maraji’

[1] Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara

[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004.

[3] Takdir Ali Mukti, 2000, Membangun Moralitas Bangsa Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris, Yogyakarta: Mitra Pustaka

[4] Asa, Syu’bah, 2000, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Download Buletin klik disini