HAKIKAT KEMERDEKAAN

HAKIKAT KEMERDEKAAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman

*Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Bulan Agustus selalu lekat dengan hari kemerdekaan. Hal ini karena pada setiap tanggal 17 Agustus selalu diperingati sebagai peristiwa paling bersejerah bangsa ini, yakni hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagai peringatan karena telah merdeka dari belenggu penjajah. Semarak dan animo penyambutan hari kemerdekaan ditandai dengan bendera merah putih yang berkibar di sepanjang jalan dan spanduk dan umbul-umbul yang turut memenuhi ruas-ruas jalan. Ini adalah salah satu bukti masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan cintanya kepada bangsa sekaligus menghormati jasa para pahlawan.

Islam sendiri mendorong umatnya untuk mencintai tanah air sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri dalam perakara kebaikan. Mencintai tanah air seperti halnya Rasulullah n mencintai Makkah dan Madinah karena kedua tempat tersebut adalah tanah airnya. Bentuk kecintaan tersebut ditunjukkan Rasulullah n dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh  Imam Bukhari yang berbunyi, “Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah. Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kencintaan beliau terhadap tanah airnya.” (H.R. Bukhari)[1].

Hakekat Kemerdekaan Dalam Islam

Islam sesungguhnya memandang kemerdekaan sebagai sebuah bentuk kebebasan dari ketundukan kepada makhluk untuk bertindak sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah diatas pemahaman salafush shalih. Ini merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan kehendak bebas oleh Allah untuk menjadi khalifah, pemimpin di muka bumi.[2]

Konsep Islam terhadap kemerdekaan ialah perubahaan dari kegelapan menjadi terang-benderang, serta dari sesuatu yang buruk menuju ke arah yang lebih baik. Islam menjadikan konsep kemerdekaan menyentuh segala aspek kehidupan manusia, mencakup pula yang lahiriyah dan batiniyah. Artinya kemerdekaan akan diraih ketika seorang muslim mampu berada dalam fitrahnya, menjadi hamba Allah, khalifah di muka bumi.[3]

Beberapa contoh konsep kemerdekaan yang telah termaktub dalam al-Qur’an. Pertama, dapat dilihat dari kisah Nabi Ibrahim ketika membebaskan dirinya dari stereotip masyarakat yang keliru dalam kehidupan manusia. Pada surah al-Anam  ayat 76-79 dikisahkan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan sebagai upaya membebaskan hidupnya dari orientasi kehidupan yang keliru saat itu, namun tumbuh subur dalam lingkungan Nabi Ibrahim tinggal di mana masyarakat pada saat itu menyembah berhala sebagai tuhan. Bagi Nabi Ibrahim hal tersebut tidak sejalan dengan tali keimanannya karena telah melakukan bentuk pengahambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat sebagai manusia.

Contoh kedua terkait memaknai kemerdekaan dapat pula dipetik pelajarannya dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejiaan zaman pemerintaah Firaun membuatnya tidak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Isarel dan meninstakan kaum perempuan. Kezaliman inilah yang mendorong Nabi Musa untuk memimpin membebaskan bangsanya dari penindasan dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat sebagaimana tercantum dalam surah al-A’râf ayat 127, al-Baqarah ayat 59, dan Ibrahim ayat 6.[4]

Kisah Nabi Muhammad n adalah contoh berikutnya yang dapat dijadikan sumber yang tidak pernah habis untuk memaknai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia baik secara holistik maupun secara integral. Bayangkan saja ketika Nabi Muhammad di utus 14 abad silam, beliau dihadapkan dengan zaman jahiliyah dengan kondisi masyarakat yang mengalami tiga bentuk penjajahan sekaligus mulai dari segi disorientasi kehidupan, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.

Itu sebabnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah ﷻ ditugaskan untuk membawa misi tauhid, yang tidak lain dan tidak bukan untuk memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lainnya. Sebagaimana dalam firmannya Allah ﷻ berfirman: “(inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (Q.S. Ibrahim [14]: 1).[5]

Memaknai Kemerdekaan Sebagai Sarana Mencintai Indonesia

Jika melihat definisi kemerdekaan dalam Islam baik secara historis dan terminologi, maka akan didapatkan satu benang merah bahwa pemaknaan atas kemerdekaan tersebut harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang merepresentasikan tingkah laku kebaikan sehingga pada akhirnya akan melahirkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Imam An-Nawawi menambahkan jika baik saja tidak cukup. Umat Islam harus pula mampu secara mandiri dan produktif di segala kebutuhan sehingga negara Indonesia yang merdeka akan terwujud dengan setiap warga negara yang mengusahakan sebaik mungkin di profesi yang digeluti masing-masing.[6]

Jika menjadi orang tua, maka menjadi orang tua yang bertanggwungjawab. Jika menjadi pejabat, maka menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Jika menjadi pendidik, maka menjadi pendidik yang tulus dalam mengajar dan mangabdi terhadap masyarakat. Jika menjadi pelajar, maka menjadi pelajar yang rajin dalam menuntut ilmi di bidangnya masing-masing.

Maka buah dari kecintaan terhadap tanah air sejatinya akan tampak dari tingkah laku kita sebagai warga negara yang selalu berusaha baik dalam segala kondisi, tempat, dan berperilaku baik dengan akhlak yang mulia, serta senantiasa berusaha muntun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai pewaris kemerdekaan menjadi tugas bersama untuk memelihara semangat kemerdekaan dengan mengisinya dengan cita-cita kemerdekaan yaitu mewujudkan negara yang adil dan makmur sehingga mendapat limpahan dan rahmat dari Allah ﷻ dengan segala aktivitas yang kita lakukan.

Untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur, maka syarat yang harus dipenuhi ialah harus menjadi umat bertakwa, umat yang mau menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan berada jalurnya untuk menjadi negara yang aman dan tentram serta adil dan makmur. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman “Jikalau sekiranga penduduk negeri beriman dan bertawa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Q.S. al-A’râf [7]: 96).[7]

Marâji’:

[1] Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

[2] Syu’bah Asa,  Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

[3] Hilman Latief, dkk., Islam dan Urusan Kemanusiaan: Konflik, Perdamaiaan, dan Folantropi. Jakarta: Serambi, 2015

[4] Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004

[6] Aboebakar Atjeh,  Islam dan Kemerdekaan Beragama, Cirebon:  Toko Messir, 1970

[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004

Download Buletin klik disini

BAGAIMANA JIKA SELALU OVERTHINGKING?

BAGAIMANA JIKA SELALU OVERTHINGKING?

Penulis:

Hana Nabila Rizka, SE.

 

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ﷻ, overthingking merupakan kondisi seseorang sering berfikir berlebihan. Seseorang yang sering berfikir berlebihan biasanya merisaukan keadaan yang akan terjadi, misalnya mempertimbangkan perkara tanpa henti. Ketika seseorang ingin memutuskan suatu tujuan, kemudian mempertanyakan keputusan tersebut, entah fikiran “bagaimana jika” atau “seharusnya” atau “jangan-jangan?” pasti sering mendominasi fikiran. Overthingking bagaikan hakim tak terlihat yang siap untuk menilai keputusan seseorang. Walaupun dilain sisi berfikir lebih dari satu kali itu baik, karena memutuskan sesuatu dengan matang, namun tidak dipungkiri ada dampak negatif dari overthingking karena membuang energi memikirkan secara berlebihan tanpa adanya tindakan nyata. Bahkan yang terburuk overthingking dapat menimbulkan kondisi kecemasan akut dimana berbagai macam emosional dalam diri kita muncul seperti rasa khawatir, marah, takut, was-was, cemas, dan sedih yang menimbulkan konflik internal di dalam diri seseorang baik fisik maupun mental.

Tanda-Tanda Overthingking

Beberapa gejala umum dapat ditandai bahwa individu tersebut adalah seorang overthinker diantaranya; Pertama, seseorang yang overthingking akan lebih banyak berfikir dibandingkan bertindak, sehingga orang yang overthingking akan selalu menganalisa, mengulang suatu pemikiran dan mengomentari hal yang akan dituju beserta dampaknya.

Kedua, sulit tidur dan jiwa terasa lelah, dalam tubuh manusia diantaranya memproduksi hormon kortisol ketika manusia terlalu banyak memikirkan sesuatu terlalu banyak dan membuat tertekan atau stres.1 Jika hormon ini terus diproduksi dapat mengakibatkan badan lelah.

Ketiga, merasa takut dengan masa depan dirinya, seseorang yang overthingking akan selalu berfikir skenario terburuk sehingga hal tersebut mampu mengembangkan pola pikir negatif. Keadaan itu terlalu mengkhawatirkan masa depan, takut untuk memulai atau jika sudah memulai ia tidak akan bisa menghargai segala sesuatu yang telah diraihnya.

Keempat, emosi yang naik turun, seseorang yang overthingking fikirannya mengalami ketegangan yang luar biasa, hal tersebut menjadikan dirinya mudah marah dan insecure. Bahkan dapat melampiaskan ketegangan berfikir itu untuk hal yang merugikan dirinya.

Islam dalam Memandang Overthingking

Dalam perspektif Islam, overthinking adalah fikiran-fikiran yang muncul dari perasaan takut. Ketakutan yang muncul akan berkembang menjadi lebih besar jika dibarengi dengan perasaan gelisah, cemas, adanya imajinasi dalam kondisi tertentu serta emosi. Overthinking bisa disebabkan karena adanya bisikan setan yang menjadikan manusia merasa buruk, selain itu juga disebabkan karena manusia belum sepenuhnya berserah diri (tawakkal) dan bergantung hanya kepada Allah ﷻ.  Sebagaimana yang dijelaskan pada tafsir al-Qur’an surah An-Nâs ayat 4 dan 5 yang artinya “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia”.2

Makna ayat tersebut menjelaskan bahwa dari kejahatan setan yang banyak bersembunyi berupa berbagai pikiran, angan-angan, dan khayalan yang tidak ada hakikatnya, yang dibisikkan pada hati manusia.3 Setan menjadikan perbuatan jahat tampak indah dalam pandangan manusia, sehingga manusia bersamangat untuk mengerjakannya.4 Setan berjalan pada peredaran darah manusia, sehingga terkadang bisikannya tidak dapat dirasakan oleh manusia. Begitu tersembunyinya godaan syaitan terhadap hati manusia, maka menjadi sangat lekat dengan prasangka.

Dalam Islam sendiri, terdapat konsep su’udzon yang bermakna berburuk sangka baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan Allah ﷻ. Sikap ini muncul karena sering terburu-buru menilai atau memikirkan suatu kejadian yang belum tentu jelas, dalam arti seseorang bersikap kurang tegas dan bijaksana dalam menyikapi suatu kejadian. Prasangka buruk yang terus berulang dapat menyebabkan ketidakbersyukuran terhadap dirinya sendiri ataupun lingkungannya, perilaku tersebut juga akan semakin menjauhkan diri dari akhlak terpuji yang telah diajarkan di dalam Islam, misalnya tidak bersegera dalam kebaikan hanya karena keraguan atau ketergantungannya kepada selain Allah ﷻ. Padahal Allah ﷻ memerintahkan kepada kita untuk menjauhi prasangka (Q.S. al-Hujurat [49] : 12).

Konsep Islam Dalam Menghadapi Overthingking

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah ﷻ, Islam adalah agama yang sempurna, menjadi sumber dari segala sumber syariat mengenai akhlak terpuji, baik hubungan dengan Allah ﷻ, sesama manusia, maupun dengan sesama makhluk hidup, dan juga alam yang diciptakan oleh Allah ﷻ. Dalam menghadapi overthingking Islam memberikan faidah:

Pertama, Islam mengajarkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa berpikir husnudzon, bukan berpikir buruk kepada orang lain terutama kepada takdir yang telah Allah ﷻ  tetapkan. Prasangka baik kepada Allah ﷻ akan mendatangkan kemuliaan untuk diri kita di sisi-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim sebagai berikut, “Dari Abu Hurairah z, Rasulullah bersabda “Allah berfirman; Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia berdoa kepada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim).5

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Allah ﷻ berkehendak atas segala sesuatu sebagaimana hamba-Nya berprasangka kepada-Nya. Allah ﷻ  juga bersama dengan siapa yang selalu mengingat-Nya. Apabila kita berprasangka buruk pada ketetapan Allah ﷻ maka keburukanlah yang akan kita rasakan, namun sebaliknya jika kita menerima segala ketetapan dan kemudian berprasangka baik kepada-Nya, maka sesungguhnya Allah ﷻ tidak pernah mengingkari janji. Allah ﷻ  telah menjamin kehidupan kita. Jika manusia sepenuhnya percaya akan hal tersebut, maka dia akan menjadi seorang yang optimis.

Kedua, overthingking dapat dihindari dengan cara membangun mindfulness. Dalam pengertiannya, mindfulness merupakan atensi yang diberikan individu terhadap pengalamannya disertai penerimaan yang menjadikan kesadaran hadir.6 Sehingga seseorang dapat menyikapi suatu permasalahan, mengontrol emosi pada suatu kondisi secara baik dan tidak menjadikan overthingking. Dengan izin Allah ﷻ mindfulness mampu meningkatkan kesehatan mental, seperti mengingat lebih baik dan mampu mengelola perasaan ataupu rasa sakit dengan berfokus pada emosi. Sehingga seseorang dapat mengembangkan pola pikir yang lebih positif. Dari hal itu, seseorang dapat khusyuk dalam melakukan ibadah dan bermuamalah karena bekerja lebih efisien untuk mencapai tujuan, dan menjadi lebih bahagia.

Marâji’

  1. Setiyono, et,al.Pengaruh Tingkat Stres dan Kadar Kortisol dengan Jumlah Folikel Dominan Pada Penderita Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi Invitro. Jurnal:majalah Obstetri & Ginekologi.Vol 23. No 3. 2015.
  2. Karimah, Afifah Nurul.Overthingking Dalam Perspektif Psikologi dan Islam.2021.https://www.researchgate.net/publication/353428970
  3. Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
  4. Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. 4/495.
  5. Shahih al-Bukhari, kitab at-Tauhid, bab qaul Allah Ta’ala {وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ}(Ali Imran: 28), No. hadits 7405, jilid 9, hal 121.
  6. Yusainy, Cleoputri, dkk. Mindfulness Sebagai Strategi Regulasi Emosi. Jurnal Psikologi. Vol 17. No 2. 2018. Hal 177

Download Buletin klik disini

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

MUHARRAM, BULAN YANG MULIA DAN MITOS-MITOSNYA

Oleh: Siti Jamilah, MSI

* Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

         Dalam sistem kalender Hijriyah perhitungan tanggal, bulan dan tahun didasarkan pada peredaran bulan. Maka ia sering disebut sebagai kalender qamariyah. Sementara kalender Masehi didasarkan pada peredaran matahari, sehingga ia disebut kalender syamsiyah. Secara resmi, Islam menggunakan kalender Hijriyah, karena ia juga berkaitan dengan banyak ritual peribadatan umat Islam, seperti puasa dan ibadah haji. Allah ﷻ berfirman: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Ia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.“ (Q.S. Yunus [10]: 5).

Pada masa Nabi ﷺ, perhitungan tahun masih menggunakan tahun bi’tsah atau tahun nubuwwah (tahun kenabian) yang dihitung sejak Muhammad ﷺ diangkat sebagai Nabi. Baru pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab diinisiasi sistem kalender baru yang menjadi identitas umat Islam dengan mendasarkan pada hitungan hijrahnya Nabi ﷺ ke Madinah yang kemudian dikenal dengan kalender hijriyah. Kalender hijriyah diawali dengan bulan Muharram. Bulan yang memiliki arti tersendiri. Karena nama Muharram langsung diberikan oleh Allah melalui wahyu. Sehingga ia disebut dengan syahrullah (bulannya Allah). Sebelum itu Muharram bernama Shafar Awwal. Dan bulan Shafar yang kita kenal, dahulu disebut dengan Shafar Tsani.[1]

Beberapa Keutamaan Bulan Muharram

  1. Bulan haram adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Nabi n bersabda: ”Zaman berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).[2]
  2. Muharram disebut dalam hadits dengan sebutan syahrullah (bulannya Allah). Muharram merupakan bulan yang dinisbatkan kepada dzat-Nya yang Maha Mulia. Ia disebut sebagai syahrullah (bulannya Allah) sebagaimana sabda Nabi; “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim).[3]
  3. Di dalamnya terdapat hari Tanggal 10 Muharram dikenal dengan sebutan hari asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyara yang bermakna hari kesepuluh bulan Muharram. Ia merupakan waktu yang agung dan mulia.
  4. Banyak peristiwa besar terjadi dalam sejarah di bulan Muharram, terutama pada hari asyura. Menurut beberapa sumber riwayat diceritakan bahwa hari asyura diselamatkanlah Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun, mendaratnya kapal Nabi Nuh di bukit Juud setelah sekian lama berlayar di tengah banjir, juga diselamatkannya Nabi Yunus dari perut ikan Nun raksasa yang menelannya.

Tathoyyur seputar Muharram

            Bulan Muharram yang disebut orang Jawa dengan bulan Suro adalah bulan yang sering dihubung-hubungkan dengan mitos dan hal-hal yang berbau klenik/mistis. Bahkan banyak orang menganggapnya sebagai bulan keramat yang dipercaya dapat membawa kesialan jika melanggar pantangan-pantangannya. Banyak orang meyakini, tidak boleh melangsungkan hajat tertentu di bulan Suro, seperti menikah (mantu), membangun rumah dan seterusnya. Hal itu diyakini akan membawa pada kesialan.

Sesungguhnya menghubungkan kesialan dengan bulan atau waktu tertentu merupakan hal yang keliru dan bertentangan dengan agama. Islam mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat memberikan madharat kecuali atas izin-Nya. Apalagi Muharram sendiri artinya adalah bulan yang dimuliakan Allah ﷻ. Mengapa lalu dianggap sebagai bulan yang sial? Hal semacam ini dalam kajian ilmu tauhid sering disebut dengan tathoyyur.

            Tathoyyur secara bahasa artinya berita burung. Tathoyyur maksudnya adalah mengkait-kaitkan sesuatu dengan hal yang tidak memiliki hubungan logis. Termasuk menganggap diri akan terkena sial jika melakukan hal-hal tertentu. Contohnya menganggap diri akan celaka jika melangsungkan hajat di bulan Suro. Hal ini dapat mengotori kemurnian aqidah. Nabiﷺ  melarang seseorang mencela masa atau waktu.

Larangan Mencela Waktu atau Bulan

            Menganggap bulan Suro atau Muharram sebagai bulan yang membawa sial adalah bentuk tindakan mencela waktu. Apalagi yang dicela adalah bulan yang istimewa, yang disebut sebagai bulannya Allah. Orang yang mencela waktu pada hakikatnya telah mencela Allah yang Maha mengatur waktu. Di dalam hadits qudsi disebutkan; “Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela waktu, padahal Aku adalah (pencipta) waktu. Di tangan-Ku segala perkara. Aku memutar malam dan siang.” (HR. Bukhari).[4]

Termasuk perbuatan mencela waktu adalah menganggap adanya hari naas, hari jelek, bulan sial dan yang semisalnya. Nabi juga melarang kita mencela sesuatu yang merupakan bagian dari sunnatullah dan fenomena alam ciptaan-Nya. Misalnya mengumpat, “dasar batu sial”, “hujan sialan”, “dasar pembawa sial” dan sejenisnya. Nabi n mengajarkan jika kita bertemu hal yang tidak menyenangkan pun tetap memuji Allah l dengan dzikir. Misalnya dengan mengucapkan alhamdulillâh ‘alâ kulli hâl, astaghfirullâh, subhânallâh, dan sebagainya.

Dasar prinsip tauhid adalah membangun sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat mendatangkan manfaat dan madharat, melainkan atas izin dan kehendak Allah ﷻ. Dan juga mengikis hal-hal yang menciderai logika akal sehat. Manusia dimuliakan Allah ﷻ karena kemampuan menalar dan menggunakan akal fikirnya yang sehat dan lurus. Al-Qur’an berulangkali menegaskan hal tersebut dalam ayat-ayatnya.

Beberapa Amalan di bulan Muharram

Secara umum di bulan-bulan haram, termasuk Muharram, kita dianjurkan untuk lebih meningkatkan amal ibadah di dalamnya. Misalnya dengan memperbanyak tilawah, sedekah dan seterusnya. Amal ibadah di bulan-bulan haram akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang lebih besar. Selain itu ada beberapa ibadah yang dituntunkan secara khusus oleh Nabi ﷺ di bulan Muharram. Di antaranya adalah menunaikan puasa sunnah pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Rasûlullâh berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: ”Ya Rasulallah, sesungguhnya hari itu (juga) diagungkan oleh orang-orang Yahudi.” Maka beliau bersabda: “Pada tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga  pada tanggal sembilan.” Tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah telah wafat.” (HR. Muslim). Secara khusus, Nabi mengabarkan agungnya pahala menunaikan puasa sunnah pada hari asyura. Beliau bersabda; “Puasa pada hari asyura akan menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).[5]

Marâji’:

[1] Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh Shahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t. Juz 3 hal. 252.

[2] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[3] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[4] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, 2003.

[5] Muslim ibn Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.t.

Download Buletin klik disini

HISABLAH DIRIMU, MAKA KAU BERUNTUNG

HISABLAH DIRIMU, MAKA KAU BERUNTUNG

Oleh: Khairul Fahmi

 

Bismillâhi walhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dikisahkan bahwa suatu hari seorang kaum Anshar bernama Tsalabah Ibn Hathib al-Anshari menghadap Rasulullah ﷺ,  ia berkeluh kesah dengan kondisi prekonomiannya yang terus terpuruk, ia sudah bosan hidup dalam kemiskinan, ia ingin hidup lebih layak dengan memiliki banyak harta. Tsalabah memohon agar Rasulullah ﷺ mendo’akannya agar menjadi orang yang memilik banyak harta. Mendengar permohonan Tsalabah, Rasulullah ﷺ langsung secara tegas menolaknya permintaanya.

Meski telah ditolak, Tsalabah memohon sekali lagi kepada Rasulullah ﷺ seraya mengucapkan sumpah “Demi Zat yang telah mengutusmu dengan hak. Jika engkau memohon kepada Allah ﷻ, lalu dia memberiku kekayaan, niscaya aku akan memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya. Mendengar sumpah yang Tsalabah ucapkan, akhirnya Rasulullah ﷺ berkenan mendo’akannya agar diberi banyak rezeki. Akhirnya Tsalabah diberikan rezeki seekor unta dan domba, ia sangat senang dan gembira, kemudian hari-harinya disibukkan dengan mengurus hewan ternaknya yang lambat laun semakin banyak jumlahnya.

Karena kesibukannya mengurus hewan ternaknya, Tsalabah kerap kali tidak hadir saat shalat berjamaah, hingga suatu hari Rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabatnya tentang kabar Tsalabah. Para sahabat menyampaikan bahwa Tsalabah setelah memiliki banyak harta, ia bersikap kikir, ia tidak mau membayar zakat dan melupakan sumpahnya. Mendengar hal tersebut Rasulullah ﷺ bersabda: “Aduh celaka Tsalabah, aduh celaka Tsalabah, celaka Tsalabah ”.[1]

Ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah Tsalabah ini adalah selalu bersyukur dengan segala nikmat yang telah Allah ﷻ berikan dan jangan pernah terlena dengan harta yang dimiliki sehingga lupa dan lalai menunaikan kewajiban untuk beribadah kepada Allah ﷻ. Muhasabah diri menjadi salah satu alarm atau pengingat agar kita tersadar dari kelengahan beribadah kepada Allah ﷻ.

Pentingnya Muhasabah Diri

Terlena dengan bujuk rayu nafsu akan memberikan kerugiaan bagi seorang hamba di kehidupan dunia dan pasti akan menjadi beban dan penyesalan baginya di akhirat.  Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Dalam tafsir al-Misbah disebutkan bahwa, ayat tersebut merupakan perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Ini seperti seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangannya dan barang tersebut tampil sempurna. Setiap mukmin dituntuk untuk melakukan hal tersebut.[2] Amalan-amalan yang telah dikerjakan selalu dievaluasi, jika sudah baik tetap dilakukan dan bahkan ditingkatkan, namun jika amal yang dilakukan tidak baik maka segera bertaubat dan diganti dengan amal kebaikan.

Muhasabah diri sangat penting bagi kehidupan setiap mukmin agar tidak menjadi orang yang merugi dan menyesal, karena pada hakikatnya, kehidupan di dunia bertujuan untuk mengumpulkan dan memperbanyak amalan selama hidup karena hal tersebut akan menjadi bekal untuk menghadapi pengadilan hari akhir yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Sang Maha Khalik.

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah ﷺ memberi gelar bagi orang-orang yang bermuhasabah dan mengevaluasi diri sebagai orang yang pandai. Rasulullah Muhammad ﷺ bersabda: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan, orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serangan berangan-angan terhadap Allah”. (HR Imam Turmudzi)[3]

Cara Muhasabah Diri

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggung jawaban) tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya, serta tubuhnya untuk apa digunakannya”. (HR. Tirmidzi)[4]

Sabda Rasulullah tersebut dapat menjadi acuan untuk muhasabah diri, empat hal tersebut akan dimintai pertanggung jawaban dari setiap hamba selama menjalani hidup di dunia, yaitu:

  1. Umur

Hidup di dunia hanya sementara, dunia ini hanyalah persinggahan untuk memperbanyak bekal untuk dibawa dan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Umur yang berlalu begitu cepat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah agar kita tidak merugi. Sebagaimana firman Allah ﷻ: “Tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Ku” QS. Az-Zariyat [51]: 56

  1. Ilmu yang dimiliki

Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amalan yang kekal dan tetap mengalir kepada si pemilik ilmu meskipun ia telah meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah n: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)[5]

  1. Harta

Harta yang dimiliki ini hanyalah titipan, sehingga perlu dipertanggung jawabkan. Ada dua hal yang akan ditanya dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah dari harta yang kita miliki. Pertama adalah dari mana kita dapatkan tersebut, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram?. Hal yang kedua adalah dibelanjakan untuk apa saja harta yang dimiliki tersebut, apakah untuk jalan kebaikan atau jalan keburukan?

  1. Anggota badan

Harus disyukuri, bahwa anggota badan mulai dari kepala hingga kaki adalah salah satu contoh nikmat yang diberikan oleh Allah ﷻ. Seluruh anggota badan ini akan dimintai pertanggung jawaban, kedua mata yang dimiliki digunakan untuk melihat hal-hal yang baik atau sebaliknya? Kedua tangan yang dimiliki apakah digunakan untuk melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. Kedua kaki yang dimiliki apakah dilangkahkan ke jalan kebaikan atau jalan keburukan?

Allah ﷻ sudah menegaskan hal tersebut dalam al-Qur’an: “Pada hari ini, Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah yang berkata kepada kami dan kaki merekalah yang akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” QS. Yasin [36]: 65

Pada hari akhir nanti, Allah ﷻ akan menutup mulut-mulut kita sehingga tidak dapat berkata bohong atau berkilah sedikitpun. Tangan kita akan berkata kepada perihal perbuatan yang mereka lakukan di dunia, dan kaki kita akan memberikan kesaksian terhadap apa yang dahulu dikerjakan selama hidup di dunia.[6]

Hidup yang sekali ini harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, jangan dibiarkan hanya mengikuti arus saja. Hari ini harus diisi dengan kebaikan dan harus lebih baik dari hari sebelumnya agar kita menjadi orang beruntung.  Mari kita selalu bermuhasabah diri agar kita selalu berada di jalan lurus, jalannya para orang-orang sholeh yang kehidupannya selalu bermuara untuk  beribadah kepada Allah ﷻ. Semoga kita terhindar dari kelenaan gemerlapnya kehidupan dunia agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi.[]

[1] https://www.republika.co.id/berita/pf1vhh313/kisah-tsalabah-dan-pelajaran-bagi-umat-islam

[2] Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah Vol. 13 Cet. V, 2012, Jakarta: Lentera Hati

[3] Asep Sapa’at, Muhasabah diri, 15 Februari 2022 dalam https://www.republika.id/posts/25069/muhasabah-diris

[4] https://suaramuhammadiyah.id/2020/11/05/empat-pertanyaan-di-hari-kiamat/

[5] https://rumaysho.com/1663-terputusnya-amalan-kecuali-tiga-perkara.html

[6] https://quranhadits.com/quran/36-ya-sin/yasin-ayat-65/

Download Buletin klik disini

SIFAT SABAR DALAM ISLAM

SIFAT SABAR DALAM ISLAM

Oleh: Nabilah Nur Syafiyah

*Mahasiswa Teknik Kimia UII

 

Sabar merupakan kata yang hampir selalu terdengar dalam keseharian kita. Tak jarang juga kita menemukan ungkapan “bersabarlah” di kalangan masyarakat. Sabar memang sudah menjadi ungkapan sehari-hari dan sudah menjadi bahasa komunikasi masyarakat. Tapi dibalik itu, ungkapan sabar  yang sudah menjadi bahasa komunikasi masyarakat selalu dikonotasikan kepada kondisi bagaimana menghadapi musibah dan diidentikkan dengan sikap berdiam diri dalam menghadapi musibah. Sikap sabar memang harus dimiliki oleh setiap orang. Karena apabila orang tersebut mengalami musibah, itu tidak menjadikan malapetaka baginya, menghancurkan hidupnya, dan melemparkannya pada derajat terendah diantara makhluk Allah lainnya. Dari pemahaman yang keliru ini mengenai sabar, akan berdampak pada hilangnya makna sabar yang sangat luas. Apabila sabar diidentikkan atau dipergunakan hanya pada saat menghadapi musibah saja, maka kekuatan sabar yang sangat besar tidak pernah dipakai manusia untuk mengatasi berbagai problematika hidup lainnya. Padahal sabar merupakan peluang atau potensi diri yang bisa membawa manusia untuk sanggup menjalankan fungsiya sebagai khalifah dan hamba Allah secara bersamaan.[1]

Keutamaan Sabar

Allah ﷻ telah menyifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat. Dia menyebut sabar dalam al-quran pada lebih dari 70 tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar. Sebagaimana firman Allah ﷻ : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar,” (Q.S. as-Sajdah[32] : 24).

Allah ﷻ juga berfirman: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” (Q.S. an-Nahl [16] : 96). Allah l berfirman: “Mereka diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,” (Q.S al-Qashash [28] : 54). Allah l berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas,” (Q.S. az-Zumar [39] : 10). (Al-Ghazali. 2013)

Macam-Macam Sabar             

Macam-macam sabar dan beberapa hal yang berhubungan dengan sabar

  1. Kesabaran yang dilakukan dalam menghadapi nafsu perut dan kemaluan disebut iffah. Kebalikan dari sifat ini yaitu jaza’ atau hala’ yang artinya keluh kesah dimana membiarkan faktor nafsu terlampiaskan.
  2. Kesabaran untuk menahan dalam menghadapi kekayaan disebut dhabtun nafsi yang artinya kendali diri. Kebalikan dari sifat ini yaitu bathr yang artinya tak tahu berterima kasih.
  3. Kesabaran yang terkait dengan peperangan disebuat syaja’ah (berani), dan kebalikannya yaitu jabn (pengecut).
  4. Kesabaran yang ditunjukkan untuk menahan kemarahan dan emosi, maka disebut hilm atau penyantun dan kebalikannya yaitu tadzammur yang artinya menggerutu.
  5. Kesabaran yang terkait dengan waktu yang jenuh, maka disebut sa’atush shadri (lapang dada). Kebalikannya yaitu adh-dhajr (tidak sabaran), tabarrum (cepat bosan) dan dhiiqush shadri (sempit dada).
  6. Kesabaran yang menyangkut tentang penyembunyian perkataan, maka disebut kitmaanus sirri atau menyimpan rahasia. Dan orang yang melakukan hal tersebut dinamakan katum atau orang yang pandai menyimpan rahasia.
  7. Kesabaran yang ditunjukkan terhadap kehidupan yang berlebih, maka disebut zuhud yang artinya tidak berambisi kuat. Kebalikannya yaitu hirsh yang artinya berambisi besar atau tamak.
  8. Kesabaran dalam menerima bagian yang sedikit, maka disebut qana’ah yang artinya sikap menerima apa adanya. Sedangkan kebalikannya yaitu syarah yang artinya rakus.[2]

Sabar Dalam Al Quran

  1. Surah Al-Baqarah ayat 153

Allah ﷻ berfirman:  “Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sungguh hal itu teramat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Q.S. al-Baqarah [2] : 45)

  1. Surah Al-Baqarah ayat 155-156

Allah ﷻ berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”(sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali untuk hisaban)” (Q.S. al-Baqarah [2] ; 155-156)

Tiga Jenis Sabar

              Pertama, sabar ketika menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah ﷻ , seperti melaksanakan ibadah sholat, puasa, serta kewajiban-kewajiban yang lain.

              Kedua, sabar terhadap apa saja yang diharamkan oleh Allah ﷻ . Jenis sabar ini menandakan bahwa kita kbih mudah mnunaikan kewajiban daripada menjauhi larangan. Mungkin kita tidak menemukan masalah yang serius saat harus menjalankan kewajiban, seperti saat menunaikan shalat lima waktu. Tapi di sisi yang lain, menjauhi larangan akan lebih berat. Tidak berbohong, tidak suudzon terhadap orang, tidak membuka aurat, itu semua jauh lebih berat daripada menjalankan shalat lima waktu.

Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah. Menunaikan kewajiban itu biasa dan menjauhi larangan itu sangat berat. Tapi dibandingkan dengan kedua hal tadi, ternyata masih ada yang lebih sulit, yaitu perilaku sabar saat ditimpa musibah. Semisal tiba-tiba difitnah, kehilangan benda kesayangan, atau ditimpa kematian. Itu semua adalah musibah yang menuntut kita berlaku sabar menjalaninya. Kesabaran dalam menjalani semua ini jelas lebih berat daripada menunaikan kewajiban ataupun menjauhi larangan Allah ﷻ .

Jika kewajiban yang harus kita tunaikan dan larangan yang harus kita jauhi jumlahnya banyak, bahkan sudah menjadi rutinitas hidup, maka musibah itu sangat jarang kita jumpai. Ibadah itu adalah rutinitas, dan musibah bersifat temporal dan jarang datangnya. Namun, sekali menjumpai musibah, berat sekali kita untuk menghadapinya dengan sabar yang sebenar-benarnya. Maka wajarlah jika pahala sabar dalam menghadapi musibah lebih banyak pahalanya.[3] Wa Allahu a’lam.[]

Marâji:

[1] Nasaruddin Umar, Sabar dan Fungsinya dalam Kehidupan. Jurnal Bimas Islam Vol.4 No.4 2011

[2] Ubaidurrahim El-Hamdy, Sabar Tanpa Batas, Syukur Tiada Akhir. Jakarta: Wahyu Qolbu, 2015.

[3] Nasaruddin Umar, Sabar dan Fungsinya dalam Kehidupan. Jurnal Bimas Islam Vol.4 No.4 2011

Download Buletin klik disini

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

PENTINGNYA TADABBUR AL-QUR’AN

Oleh: Liza Jauharatul Munfarida

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah,

Kata tadabbur di dalam Al Qur’an disebutkan 4 kali salah satunya dalam surat As-Shad ayat 29

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Shâd [38]: 29)[1]

Allah ﷻ telah menurunkan firman-Nya sebagai pedoman hidup manusia dengan kedudukan al-Qur’an yang sedemikian jelas namun banyak dari kita yang mengabaikan pesan cinta dari Rabbul Izzah, tidak pernah membacanya apalagi merenungkan dan mentadabburi-nya. Fenomena membaca al-Qur’an terkadang hanya terasa ketika bulan Ramadhan tetapi ketika hari biasa al-Qur’an tidak menjadi objek utama untuk medekatkan diri kepada Allah ﷻ, kita sudah mulai disibukkan oleh gemerlap dunia, tugas kuliah dan kesenangan dunia, sehingga ketika Allah memberikan ujian kepada kita sebagai pesan rindu-Nya, kita enggan untuk mengagungkan nama-Nya.

Semakin jauhlah kita kepada sang pencipta, maka dari itu Allah ﷻ mengajak kita untuk selalu mengingat-Nya melalui al-Qur’an dan mentadabburi-nya agar semua yang kita lakukan Kembali kepada Allah lillahi, billahi, fillahi dengan rasa keikhlasan kita akan semakin bersyukur atas ujian dan nikmat-Nya.

Tujuan Tadabbur al-Qur’an

Maka sepantasnyalah seorang mukmin menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, membacanya dengan merenungkan dan mentadabburinya lalu mengamalkan isi kandungannya, Ibnul Qoyyim berkata: ”Tidak ada yang lebih besar manfaatnya bagi hati dari pada membaca al-Qur’an dengan mentadabburi dan merenungkannya, karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang bisa dijadikan pedoman hidup oleh setiap manusia, dengan membaca dan mentadabburinya bisa melahirkan al-Mahabbah (cinta kepada Allah), al-Khauf (rasa takut kepada Allah), ar-Raja’ (berharap hanya kepada Allah), al-Inabah, tawakkal, ridha dan menerima (takdir Allah), sifat sabar, syukur serta seluruh perbuatan yang bisa menyebabkan hidupnya hati dan mencapai kesempurnaannya. Membaca sebuah ayat al-Qur’an disertai dengan mentadabburi dan merenungkan maknanya jauh lebih baik dari pada mengkhatamkan al-Qur’an tanpa disertai tadabbur dan pemahaman akan maknanya. Membaca al-Qur’an dengan memahami makna dan kandungannya jauh lebih bermanfaat bagi hati serta jauh lebih besar faidahnya dalam menambah keimanan dan merasakan manisnya al-Qur’an.” [2]

Namun proses tadabbur ini pada umumnya hanya mampu dilakukan oleh ûlû al-albâb, yaitu orang-orang yang memiliki akal pikiran dan penghayatan mendalam terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur‘an, yang dengan bergegas mereka akan meninggalkan berbagai kesesatan yang masih bersemayam dalam diri mereka dan bersegera mengaktualisasikan petunjuk kebenaran yang telah diketahui dan dipahaminya. Karena itu, al-Hasan pernah memberikan saran berharga sebagai berikut: Al-Qur‘an diturunkan untuk ditadabburi dan diaplikasikan dalam amal nyata, maka jadikanlah proses membacanya sebagai amal perbuatan.[3]

Pola interaksi seperti apa yang seharusnya kita lakukan dalam bertadabbur?

  1. Berinteraksi dengan cara yang kita suka
  2. Berinteraksi dengan cara yang Allah suka

Secara bahasa tadabbur artinya “memandang kepada akibat sesuatu dan memikirkannya”, maksud dari mentadabburi perkataannya adalah “memperhatikannya dari permulaan hingga akhir, kemudian mengulai perhatian itu berkali-kali”. Secara istilah tadabbur artinya menggunakan ketajaman mata hati melalui proses perenungan mendalam secara berulang-ulang agar dapat menangkap pesan-pesan Al-Qur’an yang terdalamm dan mencapai tujuan makna yang terjauh.

Adab-Adab Bertadabbur Al-Qur’an

  1. Hadirkan niat karena Allah ﷻ i,[4]
  2. Bersuci dengan sempurna seperti berwudhu, gosok gigi karen mulut adalah jalan keluar untuk melantunkan Al-Qur’an,[5]
  3. Menghadap kiblat
  4. Mensucikan indera-indera yang digunakannya untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an,
  5. Memilih tempat yang sesuai, seperti di Rumah Allah,
  6. Memilih cara duduk yang sesuai, kondisi yang sesuai, dan sikap badan yang pantas
  7. Memulai dengan ta’awudz dan basmallah,[6]
  8. Membaca Al-Qur’an secara tartil dengan pelan-pelan sesuai dengan tujuan awalnya untuk bertadabbur,[7]
  9. Menjaga kekhusyuan dengan tidak menaruh handphone disekitar tempat tadabbur
  10. Memperindah suaranya semampunya
  11. Mengosongkan jiwa dari hal-hal-yang menyita perhatian, memenuhi kebutuhannya dan tuntutannya sebelum membaca al-Qur’an.
  12. Menghadirkan hatinya terhadap keagungan Allah ﷻ.
  13. Meninggalkan bisikan-bisikan jiwa,
  14. Tidak memutus bacaan Al Qur’an dengan pembicaraan dan lamunan yang tidak bermanfaat
  15. Terpengaruh dan terbawa emosi oleh ayat-ayat sesuai tema dan konteksnya
  16. Apabila ia membaca ayat tentang nikmat, maka ia memohon kepada Allah agar ia termasuk golongan yang menerimanya,
  17. Perasaan bahwa pembaca sendirilah yang diajak bicara oleh ayat-ayat al-Qur’an
  18. Meninggalkan faktor-faktor yang bisa menghalangi pemahaman dan tadabbur ayat-ayat al-Qur’an.

Bila proses tadabbur ini bisa diejawantahkan, maka nilai aksiologis yang dapat dipetik dari proses tersebut antara lain:

  1. Kemantapan iman di dalam hati dapat digapai,
  2. Menjadikan seseorang berkepribadian paripurna karena memiliki sikap berharap dan khawatir yang seimbang,
  3. Selamat dari tipu muslihat
  4. Selalu yakin dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan
  5. Mampu membedakan antara yang baik-buruk dan benar-salah secara cermat.

[1] Q.S. Shad [38]: 29

[2] Miftah Daar as-Sa’adah:I/187.

[3] Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ’an Ta‘wîl al-Qur‘ân, ed. Maktab al-Tahqîq wa al-I’dâd al-’Ilmî fî Dâr al-A’lâm, Oman: Dâr al-A’lâm dan Dâr Ibn Jarîr Beirut, 2002, vol. 12, hal. 187

[4] Q.S.Al-Bayyinah [98] : 5

[5] Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 77-79

[6] Q.S. sAn-Nahl [16]: 98

[7] Q.S. Al-Muzammi [73]: 4

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

MEMAKNAI HAKIKAT HARI RAYA QURBAN

Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman*

* Penulis merupakan seorang santri yang bermukim di Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah seluruh umat muslim di seluruh penjuru dunia merayakan hari raya Idul Adha. Idul Adha merupakan hari raya besar kedua umat muslim setelah hari raya Idul Fitri. Di dalam penamaannya, seringkali umat muslim di Indonesia menyematkan hari raya Idul Adha dengan istilah Hari Raya Haji atau Hari Raya Qurban. Disebut sebagai Hari Raya Haji karena pada momen itu kaum muslimin sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Dan, disebut pula sebagai Hari Raya Kurban karena peristiwa yang melatarbelakanginya yakni kisah Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putra semata wayangnya Ismail untuk Allah.

Meneladani Kisah Ibrahim dan Ismail

Di antara hikmah dari melaksanakan Idul Adha bagi umat muslim adalah untuk terus menyegarkan ingatan atas peristiwa qurban, yaitu tatkala Nabi Ibrahim yang bersedia untuk mengorbankan anaknya Ismail untuk Allah ﷻ. Lalu kemudian sesaat sebelum peristiwa sembelih, Ismail diganti oleh Allah ﷻ dengan seeokar domba sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an.

Allah ﷻ berfirman:  “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.  (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. ash-Shâfât [37]: 107-110)

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah salah satu kisah paling momumental dalam sejarah umat manusia. Kebesaran hati seorang Ibrahim yang merelakan anak satu-satunya yang bahkan kehadiran telah ditunggu bertahun lamanya demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah ﷻ adalah bentuk kerelaan paling tulus dan berat yang pernah ada. Sedangkan kepatuhan dan kecintaan seorang anak kepada orang tua demi memenuhi perintah Allah swt tergambar jelas pada diri seorang Ismail yang mengikhlaskan dirinya untuk disembelih.

Tragedi penyembelihan itu lantas membuat Malaikat Jibril kagum dan terkesima seraya mengucapkan kalimat “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Yang kemudian dijawab oleh Nabi Ibrahimi dengan lantunan “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Dan kemudian disambung oleh Nabi Ismail dengan ucapan “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Maka, ini adalah sebuah potret yang menyentuh hati antar ayah dan anaknya yang saling mencintai dan rela berpisah serta melepas kecintaannya demi ketataan kepada Allah.

Dari kisah pengorbanan dan ketulusan yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail setidaknya kita dapat mengambil hikmah yang bisa kita teledani di dalam kehidupan kita saat ini. Bahwasanya penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Ismail harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama dan mengandung pembelajaran bagi siapa saja. Hikmahnya ialah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan. Kerelaan serta kesiapan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya atas perintah Allah ﷻ menunjukkan betapa tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim. Sebab takwa sendiri ialah sangat terkait dengan ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta dalam menjalankan perintah dan menjauhi segala larangannya.

Esensi Hari Raya Idul Adha

Selain keteledanan dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hakikat sesungguhnya dari Idul Adha semata-mata terwujudnya pelaksanaan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk peribadahan kepada Allah ﷻ. Namun ada esensi lain  dari Idul Adha ialah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita. Maka, ketika hewan qurban disembelih, pada saat yang bersamaan pula lenyaplah nafsu kebinatangan kita seperti merasa selalu paling benar, paling hebat, tidak peduli terhadap sesama, rakus, serakah, dan segala macam sifat kebinatangan lainnya.

Esesensi yang diajarkan pada momen Idul Adha ialah agar tidak menjadi manusia individualis. Relasi kemanusiaan adalah wujud eskpresi kesalihan sosial yang ingin coba disampaikan pada momen Idul Adha. Semangat kemanusiaan di balik Idul Adha penting untuk diaktualisasikan di tengah-tengah maraknya sifat indvidualistis di zaman global. Sehingga momentum Idul Adha mengandung pesan moral yang kuat untuk merekatkan tali persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat.

Esensi Idul Adha dalam konteks lain ialah untuk mengingatkan setiap muslim agar siap sedia berqurban demi kebahagiaan orang lain terkhususnya bagi mereka yang kurang beruntung, serta waspada terahadap godaan dunia agar tidak terjebak dalam perilaku tidak terpuji seperti serakah, rakus, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada Sang Pencinpta.

Begitulah sekiraya hakikat Idul Adha yang memiliki esensi mendalam bagi kehidupan tiap-tiap muslim. Karena sejatinya setiap dari kita adalah Ibrahim. Selayaknya Ibrahim yang memiliki Ismail, putra yang dicintainya, maka masing-masing dari kita pun demikian. Bisa jadi Ismail yang ada pada kita berupa harta, jabatan, gelar, atau apa-apa saja yang kita sayangi dan tidak bisa dilepaskan dari dunia ini. Maka, belajar dari Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Ibrahim bukan diperintahkan untuk membunuh Ismail, melainkan diminta oleh Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah. Dengan begitu, kita akan senantiasa berusaha untuk belajar ikhlas. Wa Allâhu a’lam

Marâji’:

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004.

Mukti, Takdir Ali., Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

Rahman, Jalaludin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Shihab, Quraish. M, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Download Buletin klik disini

HARI HARI YANG ISTIMEWA

HARI HARI YANG ISTIMEWA

Oleh: Dwi Andini Prihastuti

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Hari-hari yang utama di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.[1]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang amal shalih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926,[2] Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah di sisi Allah lebih disukai dibanding hari- 3 Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik hari lainnya tanpa ada pengecualian. Jika dikatakan Allah itu cinta, maka menunjukkan hari-hari tersebut dinilai mulia di sisi-Nya.”[3]

Beliau ﷺ menambahkan pula, “Amalan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai afdal dan dicintai oleh Allah dibanding hari-hari lainnya dalam setahun. Bahkan amalan yang mafdhul (kurang afdal) jika dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai lebih baik dari hari lainnya walau di hari lainnya dilakukan amalan yang lebih afdal.”[4]

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari pada awal Dzulhijjah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan seribu hari, sedangkan hari Arafah sama dengan sepuluh ribu hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadhail yang lemah (dha’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijjah berdasarkan hadits shahih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas. Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijjah akan dilipatgandakan.”[5]

Lantas hari hari apa saja yang istimewa pada sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah? Berikut rinciannya, [6]

1. Hari Arafah

Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah. Diantara keistimewaan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan hamba dari api neraka. Dari ‘Aisyah x, bahwasanya Rasulullah n bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang begitu banyaknya Allah membebaskan para hamba dari api neraka dari pada hari ‘Arafah, pada hari ‘Arafah Allah mendekat kepada para Hamba-Nya (di padang arafah) lalu Allah membanggakannya dihadapan para Malaikat-Nya, seraya Berfirman: “Apa yang mereka inginkan? (dengan berbondong bondong datang di padang ‘Arafah ini)” (H.R. Muslim no. 1348)

Imam Ibnu Rajab berkata: “Dan hari ‘Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka bagi yang sedang wukuf di ‘Arafah atupun bagi yang tidak wukuf disemua negeri dari kalangan kaum muslimin”[7]. Diantara amalan yang utama pada hari ‘Arafah baik bagi jama’ah haji yang sedang wukuf di ‘Arafah atau yang tidak sedang berada di ‘Arafah adalah memperbanyak berdo’a karena sebaik baik do’a adalah yang dipanjatkan pada hari ‘Arafah, lebih lebih bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah, karena bagi mereka ‘Arafah adalah tempat mustajab untuk berdo’a. dan wukuf di ‘Arafah adalah diantara inti dan puncaknya ibadah haji.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah. Dan sebaik baik apa yang aku dan para Nabi sebelum ucapkan adalah “Laa ilaaha illaLlahu wahdah, laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin Qodiir” (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik[1]Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” (HR At Tirmidzi : no. 3585, As Shahihah no. 1503, Shahihul Jaami’ no. 3274)

Amalan khusus yang lain di hari ‘Arfah bagi yang sedang tidak wukuf di ‘Arafah adalah dengan berpuasa, dimana seseorang akan diampuni dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dari Abu Qotadah zia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda : “Puasa hari ‘arafah adalah menghapus dosa dua tahun, tahun yang telah berlalu dan tahun yang akan dating, sedangkan puasa ‘Asyura adalah menghapus setahun yang telah berlalu” (HR Ahmad : 22535)

Bagi mereka yang sedang wukuf di ‘Arafah lebih utama untuk tidak berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dari Maimunah x ia berkata: “Bahwasanya manusia (para sahabat) mengeluhkan puasa Nabi n pada hari Arafah, lalu Ummu Salamah memberikan kepada Rasulullah ﷺ susu ketika beliau n sedang wukuf di tempat wukufnya, lalu meminumnya , dan manusia melihatnya (beliau) minum” (HR Bukhari no. 1989)

Syaikh Sa’id bin Wahaf Al Qahthani berkata: “Tidak berpuasanya jama’ah haji di Arafah ada beberapa hikmah diantaranya menguatkan didalam berdo’a, ada rasa menghinakan, dan menghambakan diri kepada Allah ﷻ, serta menumbuhkan semangat didalam kondisi yang agung ini (manasikul haji wal umrah fil islam)” Dengan demikian hari ‘Arafah memiliki 3 kekhususan, yaitu hari pembebasan dari api neraka, hari untuk memperbanyak berdo’a dan hari untuk berpuasa yang dengannya akan diampuni dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

2. Hari Nahar

Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan sebaik baik hari disisi Allah ta’ala. 12 Dari ‘Abdullah bin Qurth z , Rasulullah n bersabda: “Hari hari yang paling agung disisi Allah adalah hari nahar, kemudian hari tasyriq” (HR Ibnu Khuzaimah no. 2917, Abu Dawud no. 1765, shahihul Jaami’ no. 1064). Amalan yang paling agung adalah shalat ‘idul Adha dan menyembelih qurban.

3. Hari Tasyriq

Hari tasyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah, disebut tasyriq (daging kering), karena dahulu para sahabat mengeringkan daging kurban mereka dijadikan bekal. Pada hari Tasyriq diperintahkan untuk berdzikir banyak menyebut nama Allah ﷻ, mengagungkannya. Allah ﷻ berfirman: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang .” (Q.S Al Qaqarah [2]: 203)

Ibnu ‘Abbas berkata:  “Sesunnguhnya yang dimaksud hari hari yang telah diketahui yang terdapat di surah Al hajj adalah hari hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, dan yang dimaksud hari hari yang berbilang yang terdapat di surah al Baqarah adalah hari tasyriq”[8]

Inilah tiga hari yang agung yang terdapat di sepuluh hari pertama dibulan Dzulhijjah, semoga Allah memudahkan kita untuk mendulang pahala dihari hari yang penuh berkah tersebut. Wallahu a’lam.[]

Marâji:

[1] Keagungan Bulan Dzulhijjah, E-Book (pdf) Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[2] Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, & Tuntunan Qurban, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Jakarta: Yayasan Al Sofwa, 2012, hal.

[3] Latha’if Al-Ma’arif, hal. 458 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 2-3

[4] Latha’if Al Ma’arif, hal. 458-459 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 2-3

[5] Latha’if Al-Ma’arif, hal. 458, 469 dalam Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyriq, E-Book (pdf)  Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, hal. 4

[6] Keagungan Bulan Dzulhijjah, E-Book (pdf) Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[7] Lathoiful Ma’arif 1/276

[8] Tafsir Ibnu Rajab 1/153

Download Buletin klik disini

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

Oleh: Jaenal Sarifudin[1]

 

Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu di antara bulan yang sangat agung lagi mulia. Bulan yang memiliki banyak nilai keistimewaan, nilai sejarah dan juga sangat terkait dengan beberapa syariat ibadah dalam agama Islam. Ia merupakan bulan terakhir dalam hitungan kalender hijriyah. Dzulhijjah merupakan bulan yang memiliki banyak sekali keutamaan dan fadilah di dalamnya.[2] Ada yang mengatakan bahwa ia adalah bulan yang peringkat keutamaannya setara dengan kemuliaan bulan suci Ramadhan. Terutama pada 10 hari yang pertama dari bulan Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq. Di antara beberapa hal yang menandai kemuliaannya adalah.

  1. Ia termasuk dalam cakupan bulan-bulan haram.

              Allah ﷻ berfirman: ”Sesungguhnya bilangan bulan (dalam setahun) disisi Allah adalah ada dua belas bulan dalam kitab (ketetapan) Allah pada hari Ia menciptakan langit dan bumi, di antara dua belas bulan itu ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian di bulan-bulan haram itu…” (QS. At-Taubah [9]: 36).

              Bulan-bulan haram ada empat yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram sebagaimana di sebutkan dalam riwayat hadits. Ia merupakan waktu-waktu yang dimuliakan. Menurut Ibnu Abbas, amal  ibadah di bulan-bulan haram akan dilipatgandakan pahalanya. Sebagaimana sebaliknya bahwa kemaksiatan yang dilakukan seseorang pada waktu-waktu mulia tersebut juga memiliki konsekuensi dosa yang lebih besar di sisi Allah.

  1. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu yang agung

              Allah bersumpah di dalam al-Quran melalui firman-Nya; “Demi waktu fajar dan malam yang sepuluh.”(QS. Al-Fajr (89): 1-2). Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya dengan mendasarkan pada riwayat tafsir Ibnu Abbas bahwa maksud dari malam yang sepuluh dalam ayat tersebut adalah malam-malam sepuluh pertama pada bulan Dzulhijjah.[3] Jika ia dijadikan objek sumpah oleh Allah, maka tentu menandakan bahwa itu adalah waktu yang amat mulia.

Amal ibadah pada waktu itu juga sangat utama dan dicintai Allah. Nabi bersabda;  “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

  1. Ada hari Arafah di dalamnya dan merupakan puncak ibadah haji

Hari Arafah, yaitu hari kesembilan bulan Dzulhijjah adalah hari yang sangat agung. Pada hari itulah puncak dari pelaksanaan ibadah haji yang ditandai dengan wukuf di padang Arafah, sebagaimana sabda Nabi; “Haji adalah Arafah”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Mereka yang tidak menunaikan ibadah haji disunnahkan berpuasa. Nabi bersabda: “Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan dapat menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa Asyura’ (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).

  1. Terdapat hari raya Idul Adha dan disyariatkannya ibadah qurban

              Pada tanggal 10 Dzulhijjah kaum muslimin merayakan hari raya Idul Adha. Selain menunaikan ibadah shalat ‘id, salah satu syariat yang dituntunkan dalam merayakan Idul Adha adalah berqurban. Ibadah qurban ditunaikan dengan menyembelih hewan qurban yang baik dan sehat. Pelaksanaannya seusai shalat ‘id dan khutbahnya sampai akhir hari tasyriq. Nabi ﷺ bersabda dalam sebuah Riwayat: “Barangsiapa menyembelih sebelum shalat ‘id, ia (hanya) menyembelih untuk dirinya. Dan siapa yang menyembelih qurban setelah shalat ‘id dan khutbahnya maka ia telah menyempurnakan ibadahnya.“  (HR. Muslim).

  1. Disunnahkan memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid

              Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya dari pada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu bacaan tahlil, takbir dan tahmid“. (HR. Ahmad).

Kaum muslimin disunnahkan untuk membaca lafadz takbir setiap selesai menunaikan ibadah shalat lima waktu sejak subuh hari Arafah sampai setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Baik ia shalat sendirian maupun shalat berjamaah. Demikian Ibnu Taimiyah menyebutkan di dalam Majmu Fatawa. Juga disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam Kitab al-Adzkar.[4]

  1. Terdapat hari-hari tasyriq

Hari tasyriq adalah tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Hari tasyriq sesungguhnya masih dalam rangkaian hari raya qurban dan merupakan waktu-waktu penyembelihan hewan qurban. Sehingga kaum muslimin diharamkan menunaikan puasa pada hari-hari tasyriq tersebut. Nabi n bersabda: “Hari tasyriq adalah hari makan minum dan banyak mengingat Allah.” (HR. Muslim). Menurut para ulama, dalam konteks hari tasyriq pula yang dimaksud ayyam ma’dudat dalam firman Allah; “Dan (berdzikirlah) mengingat Allah di hari-hari yang terbilang”. (QS. Al-Baqarah [2]: 203).

Di antara bentuk dzikrullah pada hari tasyriq adalah dengan bertakbir, bertahmid, dan bertahlil setiap selesai menunaikan ibadah shalat fardhu. Juga dengan banyak membaca doa “sapu jagat” sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab di dalam kitab Lathaif al-Ma’arif.[5]  Beliau juga menukil riwayat bahwa Abu Musa al-Asy’ari pernah menyampaikan dalam khutbah Idul Adha; “Setelah hari raya nahar ada tiga hari yang Allah menyebutnya sebagai al-ayyam al-ma’dudat (hari-hari yang terbilang), Doa pada hari-hari itu mustajabah. Maka banyaklah berharap kepada Allah pada waktu-waktu tersebut dengan banyak memanjatkan doa.”[6]

Nabi ﷺ juga bersabda tentang kemuliaan hari tasyriq dalam cakupan hadits berikut: “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari raya qurban kemudian hari al-qarr (hari-hari tasyriq).” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

Marâji:
[1] Mahasiswa FIAI UII

[2] ‘Abdul Ghani an-Nablusi, Fadhail al-Ayyam wa asy-Syuhur, terjemahan Muzammal Noer, Keutamaan Hari dan Bulan dalam Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004

[3] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 2005

[4] Abi Zakaria ibn Syaraf an-Nawawi, Al-Adzkar, Semarang: Toha Putra, t.t.

[5] Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)., hal. 505.

[6] Ibid, hal. 506.

Download Buletin klik disini

ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH

ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH?

Oleh: Dwi Andini Prihastuti

 

Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Ada apa di bulan Dzulhijjah? Jawabannya adalah ada banyak keistimewaan di dalamnya, terutama di sepuluh pertama bulan Dzulhijjah. Allah ﷻ berfirman:  ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9]: 36)

Mengenai empat bulan yang dimaksud disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh z, Nabi ﷺ bersabda: ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Syaikh Umar bin Abdullah al-Muqbil menjelaskan makna surat at Taubah [9]: 36,[1]

1 ). Ibnu ‘Abbas berkata: dari bulan-bulan itu Allah mengkhususkan empat bulan, yaitu : Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab, Allah menjadikan mereka bulan-bulan yang suci dan kesuciannya begitu diagungkan, dan menjadikan dosa di dalamnya juga besar, sebagaiman Dia menjadikan amal shalih dan balasannya lebih besar.

2 ). Qatadah berkata pada firman Allah tentang bulan-bulan haram: “maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” sesungguhnya kezhaliman pada bulan-bulan haram adalah kesalahan yang paling besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya, walaupun semua kezhaliman adalah dosa yang besar, namun Allah berhak membesarkan suatu perkara sesuka-Nya.

3 ). Sepuluh Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling agung diantara bulan-bulan haram, dan diantara kezhaliman pada diri sendiri adalah menyia-nyiakan hari itu dengan perbuatan yang tidak mendekatkan seseorang kepada Allah, Hasan al-bashri berkata : “Saya berjumpa dengan kaum yang waktu mereka lebih berharga daripada dinar dan dirham yang kalian simpan”

4 ). Bukanlah muslim yang sejati ketika masuk padanya bulan-bulan yang suci ini, namun ia tidak memanfaatkan kebaikan di dalamnya, melainkan ia merusakanya dengan maksiat, dan menantang ketentuan Allah.

5 ). Pernahkah kamu melihat orang yang menzhalimi dirinya sendiri ? ya.. kamu akan melihat orang yang menerobos kesucian satu zaman yang Allah telah melarang kezhaliman terjadi di dalamya, sedang mereka tidak peduli dengan larangan itu, maka sungguh kerugian dan kerusakan akan berlaku pada dirinya sendiri.

Keistimewaan bulan Dzulhijjah

Diantara keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah keutamaan beramal shalih di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Allah l berfirman: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr [89]: 1-2)

Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsir beliau, “Sepuluh malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid dan banyak lagi ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf yang berpendapat demikian.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/390)[2]

Abdurrahman As Sa’di menyebutkan dalam tafsirnya, “Dalam ayat ini (Q.S al Fajr [89]: 1-2) digunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sessuatu yang disebutkan dalam sumpah.”[3]

Amalan Yang Dianjurkan

Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, maka dianjurkan untuk memperbanyak amalan terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.[4]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada hari hari yang amal shalih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926, Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Diantara amalan yang dianjurkan pada hari hari yang mulia ini adalah puasa, karena ibadah puasa adalah ibadah yang agung yang tiada bandingannya. Puasa yang dimaksud adalah puasa mutlak dari tanggal 1-9 Dzulhijjah , adapun pada tanggal 10 (idul adha) atau hari hari Tasyriq (11 -13 dzulhijjah) dilarang untuk berpuasa karena ia adalah hari raya, hari yang dianjurkan bergembira, sebagai hari makan dan minum. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Hunaidah bin Khalid, dari beberapa istri Nabi n mengatakan: “Rasulullah n biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, awal bulan di hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud : 2437 dan An-Nasa’i : 2374)

Yang dimaksud 9 (tis’ah) dalam hadits diatas adalah 9 hari bukan Taasi’ (hari ke-9), sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di Lajnah Daaimah (majlis fatwa Saudi Arabia) ketika ditanya dalam masalah ini, mereka menukil perkataan Imam As Syaukani v di kitab Nailul Authar: “Telah berlalu didalam kitab (pembahsan masalah) dua hari raya hadits hadits yang menunjukan keutamaan beramal ibadah di sepuluh awal bulan dzulhijjah sementara ibadah puasa adalah bagian dari ibadah yang mulia, adapun sebagian (ulama) 16 mengatakan bahwa yang dimaksud Sembilan dzulhijjah itu adalah tanggal Sembilan, maka ini adalah penafsiran yang batil lagi tertolak, dan Nampak sekali kesalahannya karena beda antara Sembilan hari (tis’ah) dengan hari ke Sembilan (at Taasi’)”[5]

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.[6]

Hari-Hari Yang Istimewa

Di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang istimewa yaitu hari ‘arafah, hari nahar, dan hari tasyriq. Hari arafah adalah hari yang ke sembilan pada saat jama’ah haji sedang melakukan wukuf di ‘Arafah. Hari nahar adalah hari penyembelihan, hari yang agung, hari raya ‘idul adha, hari haji akbar, dan sebaik baik hari disisi Allah ta’ala. Hari tsyriq adalah hari ke 11 – 13 Dzulhijjah, disebut Tasyriq (daging kering), karena dahulu para sahabat mengeringkan daging kurban mereka dijadikan bekal.[7]

Jangan lewatkan kesempatan ini berlalu tanpa amal shalih sedikitpun. Sungguh sangat rugi mereka yang melalaikannya. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufiq-Nya dalam bersamangat diatas kebaikan. Âmîn. []

[1] Dalam Li Yaddabbaru Ayatih Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari’ah Universitas Qashim Saudi Arabia https://tafsirweb.com/3052-surat-at-taubah-ayat-36.html

[2] Tafsirul Qur’anil Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin Amr bin Katsir ad Damsyqi, Jilid 8, hal.390, disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 7-8

[3] Amalan Awal Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik, Muhammad Abduh Tuasikal, Yogyakarta: Rumaysho, 2018, Cet.1, hal.1

[4] E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal.  13

[5] Fatwa Lajnah Ad Daaimah 9/308 no Fatwa : 20247. disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 15

[6] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459. disebutkan dalam E-Book (pdf) Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, hal. 16

[7] Keagungan Bulan Dzulhijjah, Abu Ghozie as Sundawie, (E-Book pdf)  hal. 8-17

Download Buletin klik disini