KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh: Ranita Imammiar Dea Novianty

*Mahasiswi Prodi Psikologi 2020

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Masyarakat pada umumnya menilai kecerdasan seseorang hanya pada tingkat intelektualnya saja, seperti melihat kecerdasan melalui ranking di kelasnya, atau melihat dari nilai IPK seorang mahasiswa ataupun dari skor IQ seseorang. Padahal, pada kenyataannya kecerdasan bukanlah satu titik yang hanya fokus pada catatan nilai dan angka-angka yang tertera dalam hasil perkembangan seseorang dalam bidang intelektual saja. Namun, kecerdasan memiliki cakupan yang lebih luas dari pada itu, dan sebelum membahas terkait hal tersebut, kita perlu mengetahui apa itu kecerdasan, apa sih kecerdasan itu?

Makna Kecerdasan

Berdasarkan buku The Development of a Concept and Test of Psychological well-being yang dijelaskan oleh Howard Gardner (1999) menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan kehidupannya dan juga dapat menghasilkan suatu hal yang berguna bagi aspek kehidupannya. Dalam kata lain kecerdasan merupakan kemampuan seorang individu menangani permasalahan hidupnya baik dalam hal perekonomian, interpersonal, intrapersonal dan lain sebagianya. Sehingga, jenis permasalahan yang ada sangat tidak mungkin hanya dapat ditangani atau diselesaikan dengan satu alat saja yaitu intelektual. Sama hal nya dapat kita katakan bahwa kecerdasan tidak terkait dengan stereotype yang berlaku yaitu dalam intelektual saja. Akan tetapi, perlu alat yang lainnya untuk menangani konflik yang lainnya juga, yang berarti bahwa terdapat kecerdasan lain dalam menangani permasalahan manusia seperti kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal dan masih banyak kecerdasan yang lainnya[1].

Kecerdasan emosional merupakan salah satu kecerdasan yang muncul dari proses perkembangan manusia dalam mengenal, membina, dan memupuk kematangan emosi untuk memberikan sisi positif yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia itu sendiri[2]. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan kenikmatan untuk bertumbuh dan berkembang. Tidak hanya terkait perkembangan fisik, akan tetapi terdapat perkembangan aspek lainnya yang mesti selalu dikembangkan keberadaan, yaitu kecerdasan emosional. Semakin berkembang kecerdasan emosional seorang individu maka akan sangat berdampak baik bagi individu tersebut.

Mengelola Emosi

Emosi itu sendiri merupakan ungkapan seorang individu terkait perasaannya yang berkembang lalu mengerucut dalam waktu tertentu dan disertai dengan reaksi fisik dan psikologis seperti kesedihan, kekhawatiran, kecintaan, kegembiraan dan keberanian[3]. Emosi akan selalu ada di setiap aspek kehidupan seorang individu. Semua kondisi yang individu alami, maka akan selalu memberikan respon dari individu itu sendiri dan salah satu responnya ialah emosi. Bilamana seorang ibu sedang mengantarkan anaknya yang baru saja masuk Sekolah Dasar maka terdapat emosi bahagia dalam diri ibu tersebut. Begitu pula, si anak menjalani masa awal sekolahnya dengan emosi bahagia dan terkejut dengan kehidupan baru dilingkungan sekolahnya.

Memelihara emosi juga dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ: “..di antara kalian yang paling mengenal Tuhannya adalah yang paling mengenal dirinya” (HR Bukhari Muslim). Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa individu yang dapat mengendalikan tujuan kehidupannya dapat dilihat dari kemampuan individu tersebut dalam mengontrol dan mensucikan jiwa terkait emosi-emosi negatif[4]. Tujuan hidup umat manusia ialah mendapat ridho Allah ﷻ sehingga perlu pengendalian yang penuh dari seorang individu mencapai tujuannya tersebut karena disertai kemampuan dalam mengelola diri, mengontrol diri, mensucikan jiwa negatifnya.

Dibuktikan oleh suatu penelitian terkait variabel kecedasan emosional yang dilakukan pada mahasiswa hafidz al-Qur’an di salah satu Universitas di Bandung. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelompok mahasiswa hafidz al-Qur’an memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dalam hal mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, memahami orang lain dan bersosialisasi yang baik. Tidak lain lagi bahwa hal tersebut membuktikan bahwa mengagungkan al-Qur’an dan bahkan as-Sunnah baik itu melalui cara membacanya, menghafalnya dan mempelajarinya akan mempengaruhi kecerdasan emosi pada diri individu tersebut. Semakin banyak kita melakukan ibadah pada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan semakin menyayangi kita dengan cara menjauhi kita dari hal-hal negatif salah satu contohnya ialah dari emosi yang negatif[5].

Emosi Bersifat Seperti Air

Prawitasari menjelaskan bahwa pengertian umum di masyarakat mengkonotasikan emosi sebagai suatu hal yang negatif, bahkan pada beberapa kultur daerah tertentu emosi dikaitkan dengan amarah[6]. Pada nyatanya tidak demikian, emosi bersifat seperti air. Bilamana wadah air tersebut digunakan sebagai hal yang positif maka air tersebut akan menjadi positif. Namun, bila mana wadah air tersebut digunakan untuk hal yang negatif maka akan berdampak negatif pula pada air didalamnya. Seseorang yang mengarahkan emosinya pada hal yang positif maka akan memunculkan emosi yang positif, dan begitu pula sebaliknya.

Emosi dalam Perspektif Islam

Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah Islam menyatakan bahwa umat yang cerdas emosinya menjadi rahmat dari Allah bagi seluruh umat atau rahmatalill’âlamîn2. Allah ﷻ berfirman: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Ali-Imrân [2]: 134)

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa manusia selalu diberikan kondisi yang menuntut untuk mengontrol emosinya, seperti menahan amarah dan memaafkan orang lain. Secara logika, dapat dijelaskan bahwasanya ketika kita pandai menahan amarah terhadap perilaku orang lain, maka kita akan hidup dengan tenang karena tidak akan berkonflik dengan orang lain. Sehingga, berdampak pada tingkat kesejahteraan hidup karena pada dasarnya emosi negatif berupa amarah hanya akan mengundang konflik dan kebencian antar manusia.

El-Quissy pun menjelaskan bahwa emosi ialah dorongan berperilaku yang yang pada nyatanya tidak selalu berubah dan tidak selalu tersusun rapi[7]. Dapat dikatakan adanya ketidak konsistenan pada emosi seseorang. Manusia sebagai makhluk Allah l yang tidak lepas dari kesalahan, akan selalu memunculkan suatu kesalahan dari setiap aspek kehidupannya.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tugas-tugas dari Allah ﷻ, yang mana tugas tersebut dapat berjalan karena Allah ﷻ telah memberikan bekal bagi manusia untuk bisa bertahan dalam kehidupannya. Dalam al-Quran secara jelas diuraikan terkait jenis-jenis emosi pada manusia, di antaranya: Takut (Q.S. al-Qasas [28]: 28); Marah (Q.S. al-A’raf [7]: 150); Gembira (Q.S. ar-Ra’d [13]: 26); Benci (Q.S. an-Nisa [4]: 19); Cinta (Q.S. ali-Imran [3]: 14);  Cemburu (Q.S Yusuf [12]: 8-9); Sedih (Q.S. Taha [20]: 40); Dengki (Q.S. al-Baqarah [2]: 109); Penyesalan (Q.S. al-Maidah [5]: 30-31)[8]. Wallâhu a’lam.

Marâji’:
[1] Megawati, Ratna & Dona, Rahma. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Depok: Indonesia Heritage Foundation. 2005 M. Cet.k-2. hal 28.

[2] Sulaiman, Hamidah dkk. Kecerdasan Emosi Menurut Al-Quran dan Al-Sunnah: Aplikasinya Dalam Membentuk Akhlak Remaja, Kuala Lumpur: The Online Journal of Islamic Education. 2013 M. hal 51-57

[3] Goleman, Daniel. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Widodo & Kantjono, A. T. KANJakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003 M.

[4] Najati, M. Ustman. Al-qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka Hidayah. 1985 M.

[5] Hamdan, Stephani Raihana. Kecerdasan emosional dalam Al-Quran. Bandung: Journal of Psychological Research. 2017 M. hal 35-45.

[6] Adiyani, M. G. Peran Emosi dalam Kehidupan Manusia. Yogyakarta: Kongres VII ISPI. 1997 M.

[7] El-quissy dkk. Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental: alih bahasa Zakiah Daradjat. Jakarta: Bulan Bintang. 1975 M.

[8] Kistoro, Hanif Cahyo Adi. Kecerdasan emosional dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Jurnal Pendidikan Agama Islam. 2014 M. hal. 1-18.

Download Buletin klik disini

AMALAN PENGHAPUS DOSA

AMALAN PENGHAPUS DOSA

Oleh: Jaenal Sarifudin

*Mahasiswa FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi washshalâtu wassalâmu ‘ala rasûlillâh. Waba’du.

Manusia diciptakan dengan membawa dua potensi. Potensi berbuat kebaikan dan potensi berbuat dosa. Pada dasarnya manusia memiliki suara hati yang cenderung kepada nilai-nilai kebajikan. Namun manusia juga memiliki bisikan hawa nafsu yang dapat menggelincirkannya pada perbuatan dosa. Allah ﷻ berfirman: “Maka Ia mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (Q.S. Asy-Syams [91]: 8).

Pada dasarnya manusia tidak terjaga dari berbuat salah dan dosa. Namun dengan Rahman dan Rahim-Nya, Allah memberikan banyak cara bagi manusia untuk menghapus dosa dan kesalahannya. Menghapus catatan keburukan dari buku catatan amalnya. Allah ﷻ menyebut Dzat-Nya sebagai al-’Afuw, al-Ghaffar, al-Ghafur, at-Tawwab yang menegaskan bahwa Allah adalah Maha Pengampun. Ia akan menghapus dosa dan kesalahan hamba-hamba-Nya yang mau menempuh jalan untuk menghapuskan dosa. Beberapa cara yang dapat ditempuh seorang mukmin untuk menghapuskan dosa dan kesalahan di antaranya adalah:

  1. Taubat Nasuha

              Taubat nasuha adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Taubat yang dapat menasehati pelakunya dari mengulang dosa dan kesalahannya. Allah ﷻ berfirman dalam al-Quran: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim [66]: 8). Dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa makna taubat nasuha adalah berupaya menghindari dosa untuk saat ini dan seterusnya, menyesali dosa yang telah lalu dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi di masa yang akan datang.[1] Kemudian jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikan urusannya dan meminta maaf kepada yang bersangkutan.

Baik juga menunaikan shalat sunnah dalam konteks memohon ampunan kepada Allah saat seseorang menyatakan taubatnya. Ini yang diberi nama oleh sebagian fuqaha dengan sebutan shalat sunnah taubat. Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah-nya juga mencantumkan bab shalat sunnah taubat ini.[2] Hal ini didasarkan kepada sebuah riwayat hadits yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua rakaat kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.” (HR. Tirmidzi no. 406, Abu Daud no. 1521, Ibnu Majah no. 1395)

  1. Memperbanyak bacaan istighfar

Istighfar artinya memohon ampun. Bacaan istighfar adalah salah satu bacaan mulia yang semestinya selalu membasahi lisan kita. Rasulullah ﷺ sebagai manusia yang telah dijamin terpelihara dari dosa saja menyatakan dalam sabdanya bahwa beliau tidak kurang beristighfar memohon ampun kepada Allah ﷻ sehari semalam 70 kali. Dalam riwayat yang lain bahkan sampai 100 kali. Tentu semestinya kita lebih layak lagi untuk melakukannya. Seutama-utama waktu beristighfar adalah tiap seusai menunaikan shalat dan lebih-lebih lagi pada waktu sepertiga malam terakhir atau di waktu sahur. Allah ﷻ berfirman: “Dan pada waktu sahur mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).”  (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 18).

Memperbanyak istighfar adalah hal yang penting untuk menjaga kebersihan jiwa kita. Agar dosa yang dilakukan tidak mengotori dan menutupi hati. Nabi ﷺ menyatakan:  “Sesungguhnya seorang hamba apabila ia berbuat suatu dosa, maka dititikkan dalam hatinya satu titik hitam. Apabila dia berusaha menghilangkannya dan beristighfar serta bertaubat maka terhapuslah titik tersebut.” (HR. Tirmidzi).

Selain itu bacaan istighfar juga ternyata memiliki fadhilah yang banyak selain untuk menghapuskan dosa. Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya kelapangan dan untuk setiap kesempitannya jalan keluar dan akan diberi-Nya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.”  (H.R. Abu Daud). Banyak redaksi istighfar yang dianjurkan. Mulai dari yang terpendek yaitu astaghfirullah, astaghfirullahal‘azhim, sampai bacaan sayyidul istighfar (istighfar paling utama) yang sangat dianjurkan untuk dibaca setiap hari pada waktu pagi dan petang.

  1. Sabar menghadapi ujian atau musibah

Setiap orang pasti mengalami ujian ataupun musibah di dalam hidupnya. Allah ﷻ juga menegaskan dalam firman-Nya bahwa setiap manusia pasti akan diuji.[3] Agar terlihat mana hamba-hamba Allah yang benar-benar beriman dan mampu bersabar, maupun yang sebaliknya.[4] Ujian dan musibah disini bermakna luas. Misalnya dalam bentuk ditimpa kemalangan, sakit, kehilangan sesuatu, terkena bencana, wabah, kematian, kesulitan ekonomi dan seterusnya. Jika seseorang menghadapi ujian dan musibah dengan ikhlas dan sabar serta tetap berhusnuzhan kepada Allah, niscaya hal itu akan menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya. Rasulullah n bersabda: “Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapus (dosa orang itu) dengannya, bahkan meski sebab duri yang menyakitinya sekalipun.” (HR. Bukhari).       

  1. Melakukan amal-amal kebaikan

              Perbuatan baik dan ibadah yang dilakukan oleh seorang mukmin ternyata juga dapat menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda:  Bertakwalah kepada Allah di manapun berada. Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan karena ia akan dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi).

Di dalam beberapa riwayat hadits juga disebutkan beberapa amalan ibadah yang akan dapat menghapuskan dosa dan kesalahan seseorang di masa yang lalu. Diantaranya adalah shalat lima waktu yang ditunaikan dengan baik, wudhu yang dilakukan dengan sempurna, puasa dan qiyamu ramadhan, haji dan umrah, bacaan dzikir tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat fardlu, banyak melangkahkan kaki ke masjid dan sebagainya. Juga sedekah yang ditunaikan seseorang dengan ikhlas sebagaimana sabdanya; Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi).

  1. Meminta maaf dan halalnya kepada sesama atas kesalahan yang dilakukan

Dalam interaksi sosial dengan sesama manusia adalah sesuatu yang wajar ketika terjadi salah dan khilaf. Manusia tentu tidak luput dari berbuat kesalahan. Nabi memerintahkan untuk bersegera meminta maaf atau minta dihalalkan jika kita melakukan kesalahan kepada orang lain. Sabda beliau ﷺ: “Barangsiapa yang merasa berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau dosa apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maafnya) pada hari ini (di dunia).” (HR. Bukhari). Meminta maaf atas kesalahan kita kepada sesama adalah hal yang sangat penting. Agar hal tersebut tidak menjadi tanggungan kita di akhirat kelak. Tentu jika menyangkut hak-hak adami, hal itu juga semestinya diselesaikan urusannya.  

Marâji’:

[1]  Imaduddin Abil Fida Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Beirut: Darul Fikr, 2004.

[2]  Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, (Beirut: Darul Fikr, 2006), Juz I hal. 129.

[3]  QS. Al-Baqarah [2]: 155.

[4]  Lihat dalam QS. Al-Ankabut [29]: 2-3.

Download Buletin klik disini

KELAHIRAN NABI MUHAMMAD ﷺ MEMBAWA BERKAH BAGI SEMESTA ALAM

KELAHIRAN NABI MUHAMMAD MEMBAWA BERKAH BAGI SEMESTA ALAM

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

* Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Rasulullah ﷺ,  namannya, kisahnya perjalanan hidupnya sudah terkenal di muka bumi ini, bahkan alam semesta pun menyambut gembira saat kelahiran beliau. Nabi Muhammad ﷺ merupakan Nabi terakhir yang diturunkan dibumi ini. Sosoknya yang indah dalam berdakwah, akhlaknya yang sangat mulia senantiasa menjadikan idola bagi setiap muslim.

Kelahirannya pun telah di tunggu-tunggu oleh alam semesta. Allah ﷻ berfirman, “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”  (Q.S. Al-Anbiya’ [21] : (107). Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, diutusnya Nabi Muhammad  ﷺ memberikan rahmat bagi seluruh alam. Diutusnya Nabi Muhammad  ﷺ merupakan rahmat Allah yang dianugerahkan bagi para hamba-Nya. Kaum Mukminin menerima bingkisan rahmat ini dan mensyukurinya serta menyikapinya dengan baik. Sementara itu, kalangan lainnya , mereka mengingkarinya dan merubah kenikmatan Allah dengan bentuk kekufuran, enggan untuk menerima rahmat dan kenikmatan-Nya.[1]

Kelahirannya Disambut Hangat oleh Alam Semesta

Berdasarkan kutipan dari buku dengan judul “ Uswatun Hasanah” karya Haddad Alwi.[2] Menerangkan bahwa keadaan mekah saat itu berbeda dengan hari biasanya ketika menjelang kelahiran Nabi ﷺ, karena mekah pada sekitar tahun 570 mengalami gersang kerontang, dan hampir tidak tumbuh tanaman selain kurma. Tetapi setelah kelahiran Nabi ﷺ, tiba-tiba mekah berubah menjadi kawasan yang subur, hujan lebat kemudian tanaman-tanaman tumbuh dengan lebat.

Pada tahun kelahirannya ada banyak tanda-tandanya, termasuk kisahnya Abrahah yang ingin menghancurkan ka’bah dengan menggunakan kendaraan gajah, dan kemudian hal itu berhasil di gagalkan oleh Allah ﷻ dengan dikirimkannya burung Ababil membawa batu kerikil dari Neraka yang kemudian di lemparkan ke pasukan gajah. Akibatnya pasukannya kalah sesuai dengan yang diceritakan dalam  surah al-Fîl.

Tanda-Tanda Kelahirnya Sudah Tertuang Pada Kitab Terdahulu

Sangat mulianya Nabi ﷺ disisi Allah ﷻ, sampai pada tanda-tanda kelahirannya sudah tertuang dan dijelaskan sosok Nabi terakhir kita di kitab-kitab terdahulu. Berdasarkan isi dari kitab Injil yang dirturunkan untuk umatnya Nabi Isa merangkum bahwa, “Ketika pohon-pohon kurma yang telah mengering, tiba-tiba keluar daunnya, maka pada saat itulah Nabi Muhammad ﷺ, telah lahir di dunia”. Dan memang benar adanya bahwa pada saat Nabi Muhammad ﷺ, tiba-tiba pohon dari kurma yang awalnya sudah mengering tiba-tiba bisa keluar daunnya. Selanjutnya dalam kitab Zabur yang diturunkan untuk umatnya Nabi Daud memberikan tanda-tanda kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, “ ketika mata air yang telah kalian kenal kering airnya, tiba-tiba memancarkan air dengan derasnya, maka pada saat itulah waktu kelahiran Nabi Muhammad ﷺ telah tiba. Dan benar saja tanda-tanda yang disebutkan tadi terjadi pada waktu Nabi ﷺ lahir. [3]

Nasab dan Kelahiran Nabi Muhammad

Kaum Quraisy merupakan kaum yang terpandang dan dihormati oleh kaum lainnya. Dari bani Quraisy Nabi ﷺ berasal, kakeknya Abdul Muthalib merupakan seorang pemimpin Makkah pada saat itu. Ayahnya Abdullah merupakan anak terakhir yang sangat dicintai oleh Abdul Muthalib. Beliau ini dinikahkan dengan Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhra.

Riwayat menyebutkan bahwa Abdullah menikah pada umur 25 tahun, sedangkan riwayat lainnya menyebutkan bahwa Abdullah menikah pada umur 24 tahun. Ada riwayat yang mengatakan bahwa, setelah menikah Abdullah pergi ke Syiria, dan ketika hendak pulang Abdullah menginap dirumah saudaranya ibunya di Madinah untuk beristirahat, namun Abdullah mendadak sakit dan kemudian meninggal dunia.

Mendengar kabar kematian suaminya membuat Aminah berduka cita, sedih dan sendirian. Beliau sangat kehilangan suami yang sangat dicintainya itu. Dan pada saat itu Aminah sedang dalam keadaan hamil. Banyak kejadian luar biasa saat Aminah mengandung. Pada malam kelahiran Nabi ﷺ, bumi bergetar seperti sedang menyambut kelahiran Nabi,  sehingga getarannya tersebut  merobohkan berhala-berhala yang ada di sekitar Ka’bah. dan di malam yang sama semenanjung yang dianggap suci oleh orang persia yaitu Tasik Sava tenggelam kedalam tanah.

Setelah kelahirannya keluarganya menyambut gembira karena kedatangan seorang anak laki-laki. Kakeknya Abdul Muthalib selanjutnya menemui menantunya kemudian memberikan Nama “Muhammad” dengan harapan agar nantinya Muhammad mendapatkan kemuliaan dan menjadikan tempat di hati bangsa Arab, sebenarnya banyak pertanyaan kenapa namanya tidak diberi nama bapaknya saja, kemudian Abdul Muthalib menjawab, “ aku ingin supaya Allah memujinya di langit dan di puji oleh manusia di bumi”. [4]

Hikmah dari Mempelajari Perjalanan Rasulullulah Mulai dari Detik-Detik Kelahirannya

Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah perjalanan Rasulullah ﷺ, mulai dari tanda-tanda sebelum kelahirannya, perjalanan kehidupan sehari-hari Rasulullah ﷺ, sampai pada detik meninggalnya Rasulullah ﷺ. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Rasulullah merupakan sosok tauladan bagi kita semua, bahkan orang non Islam pun mengakui keberadaannya dan sebagian bahkan mengenal Rasulullah ﷺ.

Hikmah yang bisa diambil dari peristiwa-peristiwa luar biasa sebelum detik-detik Rasulullah lahir adalah, Alam saja yang tidak bisa berbicara secara langsung mampu mengungkapkan apa itu rasa sayangnya kepada Rasulullah ﷺ yang belum lahir. Sedangkan Rasulullah ﷺ, sebelum meninggal yang beliau ingat adalah umatnya. yang bahkan belum lahir pun sudah sangat dirindukan oleh beliau. Hal itu sungguh sangat mengecewakan ketika Rasulullah ﷺ berjuang untuk kita, tapi malahan kita sendiri yang kadang melupakannya.

Untuk itu tidak ada salahnya untuk belajar mencintai Rasulullah ﷺ, walaupun belum bisa bertemu secara langsung, tapi setidaknya kita bisa belajar mencintai lewat kisah perjuangan-perjuangan yang beliau curahkan untuk kita semua.

Marâji’:

[1] https://tafsirweb.com/5619-surat-al-anbiya-ayat-107.html

[2] Ade Kosasih, “Fenomena Menjelang Kelahiran Nabi Muhammad: Kajian Terhadap Naskah Al-Hamziyyah Karya Al-Bushiri,” Jurnal Kajian Ilmu Sosial Dan Humaniora Berbasis Kearifan Lokal 1, no. 2 (2022): 69.

[3] Yudi, “Keajaiban yang terjadi saat kelahiran Rasulullah”dikutip dari https://www.islampos.com/keajaiban-yang-terjadi-saat-kelahiran-rasulullah-2-153300/  diakses pada hari Kamis 29 September 2022

[4] inal Mardhiah, “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ ,” Jurnal MUDARRISUNA (Media Kajian Pendidikan Agama Islam) 3, no. 2 (2014): 216.

Download Buletin klik disini

BERBUAT BAIK KEPADA SESAMA

BERBUAT BAIK KEPADA SESAMA

Oleh: Fatimah Aulia Permata

*Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional FPSB UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Pada dasarnya, kebaikan adalah hal yang telah diajarkan oleh lingkungan sekitar kita sejak kecil, entah itu orang tua, saudara, kakek, nenek, dan lain-lain. kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai/value, apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkret.[1]

Kebaikan berasal dari kata baik, yang artinya elok, patut, teratur (apik, rapi, tidak ada celanya dan sebagainya), mujur, beruntung (tentang nasib), menguntungkan (tentang kedudukan dan sebagainya), berguna, manjur (tentang obat dan sebagainya), tidak jahat (tentang kelakuan, budi pekerti, keturunan dan sebagainya), jujur, sembuh, pulih (tentang luka, barang yang rusak dan sebagainya), selamat, tidak kurang suatu apa), selayaknya, sepatutnya, (untuk menyatakan setuju), kebajikan. Kebaikan berarti sifat baik, perbuatan baik, kegunaan, dan sifat manusia yang dianggap baik menurut sistem norma dan pandangan umum yang berlaku.[2]

Standar kebaikan dalam Islam adalah sesuai dengan fitrah manusia dan perspektif Islam. Kebaikan menurut Islam disebutkan dalam hadits Rasulullah ﷻ, dari Wabishah bin Ma’bad dia berkata: Saya mendatangi Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda: “Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?” saya menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (HR Ahmad bin Hanbal dan Ad Darimi).[3]

Rasulullah ` menyampaikan bahwa kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, karena sejatinya kebaikan merupakan suatu hal yang dapat menenangkan hati ketika melakukannya, kebaikan adalah hal yang indah. Kita akan cenderung merasa puas dan bangga ketika sedang berbuat baik. Rasulullah ﷺ juga menyebutkan dimana kebaikan adalah akhlak yang baik dan terpuji, maka dengan akhlak yang mulia pun dapat dikatakan telah berbuat baik. Kebaikan tidaklah hanya dilakukan kepada orang lain saja, akan tetapi terhadap hewan, tumbuhan, Allah ﷻ, bahkan kepada diri sendiri.

Berbuat baik tidak hanya kepada sesama muslim saja, kebaikan juga dilakukan kepada mereka yang tidak beragama Islam. Toleransi, rasa hormat, dan bersikap arif bijaksana juga merupakan suatu kebaikan yang dapat kita lakukan. Kita harus menerima bahwa setiap orang memiliki jalan masing-masing dan tidak memaksa kehendak kepada orang lain.

Mengapa Berbuat Baik?

Manusia adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, kebaikan adahal hal mendasar yang dibutuhkan untuk mencapai keharmonisan hubungan antara manusia. Tentunya, sebagai manusia, kita senang dalam menerima kebaikan pula. Kebaikan adalah hal yang gratis, dapat dilakukan tanpa mengeluarkan biaya. Adanya kebaikan dapat mengundang keindahan.

Allah ﷻ meridhai kebaikan walaupun itu sebesar biji zarrah, yang kecilnya tidak sampai sebesar jari manusia, dan Allah ﷻ pun berjanji akan membalas perbuatan kebaikan tersebut. Allah ﷻ menyukai orang-orang yang berbuat baik, Allah ﷻ berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS Al Zalzalah [99]: 7)

Akan tetapi, di saat berbuat baik kepada orang lain, seringkali kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik pula. Akan tetapi, sikap orang lain bisa saja tidak menghargai, bahkan memperlakukan dengan cara yang buruk. Akhirnya kita merasa sedih dan kecewa, kadang pula kita merasa perbuatan yang kita lakukan sia-sia, karena orang tersebut bersikap sebaliknya. Hidup seringkali tidak sesuai dengan ekspektasi yang kita inginkan.

Lalu, mengapa kita harus berbuat baik? Berikut alasan mengapa kita harus berbuat baik:

  1. Kebaikan kepada diri sendiri

Perbuatan baik dapat mengantarkan pelakunya kepada kebaikan terhadap dirinya sendiri. Allah ﷻ berfirman: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 7)

  1. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik

Tidak perlu bersedih dan mengharapkan validasi orang lain atas kebaikan yang telah  dilakukannya, ada Allahl yang selalu menjadi alasan untuk setiap perbuatan baik. Allah ﷻ berfirman: “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 195)

  1. Jaminan Allah akan balasan bagi orang yang berbuat baik

Allah ﷻ telah menjamin balasan untuk orang yang berbuat baik. Dan setiap kebaikan pun berupa balasan kebaikan pula. Allah ﷻ berfirman: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Q.S. Ar-Rahman [55]: 60)

  1. Kebaikan lebih baik daripada keburukan

Sesuatu yang dinilai baik namun tidak disukai (dianggap buruk), maka bisa jadi bernilai lebih daripada rasa tidak suka. Allah ﷻ berfirman: “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Al-Maidah [5]: 100)

Manfaat Berbuat Baik

Berbuat baik mempunyai banyak manfaat bagi manusia. Syeikh Aidh Al Qarni berkata, “Orang yang pertama kali akan merasakan manfaat memberi adalah pihak yang memberi itu sendiri. Mereka akan merasakan ‘buah’ memberi seketika itu juga, dalam jiwa, akhlak, dan nuraninya. Sehingga mereka selalu lapang dada, merasa tenang, tentram, dan damai.” Memberi adalah kemudahan, kebahagiaan, gairah, serta memotivasi orang lain.[4]

Faktanya, berbuat baik semisal memberi dapat menjadikan manusia pribadi yang lebih menyenangkan, ini dapat menjadi bibit dari kebaikan-kebaikan lain.[5] Contohnya, ketika kita melakukan sedekah kepada Panti Asuhan, maka uang yang didapatkan pihak Panti Asuhan dapat menjadi pundi-pundi pendidikan bagi anak-anak yang ada di dalamnya, kemudian pendidikan anak-anak tersebut dapat menuai ke kebaikan baru. Dan hal ini berujung dan terus memberikan manfaat kepada orang lain.

Karena kebaikan merupakan hal mendasar yang dilakukan setiap manusia. Kebaikan memiliki arti yang sangat luas, dan harus didasarkan pada syari’at dan fitrah akal sehat. Ada kalanya di kehidupan kita merasa tidak diterima dan dihargai, sedang kita telah berbuat sebaik mungkin. Tak perlu bersedih, karena setiap kebaikan yang kita lakukan dengan ikhlas akan selalu Allah catat dan ingat. Dan Allah pun akan membalas kebaikan yang kita lakukan, dengan kebaikan pula. Niatkan kebaikan tersebut kepada Allah dan tidak akan sirna pula pahala yang kita dapatkan. Allah pun menyukai orang-orang sabar dan bertaqwa. Oleh karena itu, jangan mengharapkan validasi orang lain dan teruslah menjadi orang yang baik, walaupun tidak ada seorang pun yang baik kepadamu. Karena kamu punya Allah ﷻ. Wa Allâhu a’lam.[]

MARÂJI’:

[1] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002. Hal. 102

[2]Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008. Cet. 1, hal. 118-119

[3] Abdullah Haidhir. Terjemahan Hadits Arba’in Nawawiyah, Muhyidin Yahya bin Syaraf Nawawi. Jakarta: Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. 2010. Hal. 80-81

[4] Muhammad Yasir. Jangan Hidup Jika Tak Memberi Manfaat. Jakarta: Al-Kautsar. 2019. Hal. 4-5

[5] Cahyadi Takariawan & Ida Nur Laila. Jalan Bahagia: Inspirasi Akhlak dan Perjuangan untuk Menghadirkan Keajaiban Kebaikan dalam Kehidupan. Jakarta: Wonderful. 2019. Cet. 1, hal. 89

Download Buletin klik disini

MEREKA GENERASI PENERUS KITA

MEREKA GENERASI PENERUS KITA

Oleh: Ahkam Aulia Rahman

*Mahasiswa Psikologi 2020 FPSB UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Allah ﷻ berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar” (Q.S an-Nisâ’ [4]: 9)

Tidak jarang saya mendengar perkataan anak-anak di lingkungan sekitar dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan. Nama binatang dan kata kotor keluar dari mulut mereka nampak fasih diucapkan disaat bercanda dengan kawannya. Berita-berita tentang perilaku mereka yang membuat saya mengelus dada. Pemikiran mereka yang masih polos disusupi hal-hal yang sepatutnya tidak mereka dapati diusianya. Pernah beberapa kali saya tanya darimana mereka mengetahui atau mendapat kosa kata tersebut dan rata-rata jawabannya hampir sama, yaitu media sosial dan contoh dari orang dewasa sekitarnya. Keresahan saya (dan mungkin anda) terhadap persoalan ini semakin membesar.

Jika fenomena ini dibiarkan oleh kita sebagai muslim begitu saja, maka hakikatnya kita sudah menyerahkan masa depan Islam pada kehancuran. Selain itu, kita juga secara jelas tidak mengindahkan peringatan dari Allah ﷻ yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an surat an-Nisâ’ ayat 9 sebagaimana telah dicantumkan diatas. Berdasarkan tafsir ibnu katsir[1], ayat 9 surat An-Nisa ini konteks utamanya menjelaskan masalah harta waris yang mesti disisakan untuk anak keturunan agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan kurang harta/miskin. Namun, menurut imam An-Nawawi[2], kalimat dzurriyyatan dhi’afan (keturunan yang lemah) ini tidak hanya dimaknai sebagai lemah ekonomi/harta saja, namun juga termasuk lemah akhlak dan pengetahuan. Pasalya, harta itu bisa dibilang dapat datang kapan dan dimana saja. Berbeda halnya dengan akhlak dan pengetahuan yang mesti dibina sejak kecil.

Lantas, bagaimana caranya agar kehawatiran ini diatasi? Jawabannya sudah Allah sampaikan  pada kalimat terakhir ayat tersebut, “Fattaqullâha wal yaqûlû qawlan sadîdan“. Dua cara utama yang dapat dilakukan, bertaqwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar.

  1. Bertaqwa kepada Allah

Pada tulisan ini, saya sendiri tidak akan membahas definisi taqwa dan turunannya karena mungkin anda sekalian sudah sering mendengar definisinya. Yang saya bahas yaitu bagaimana bisa dengan bertaqwa kepada Allah ﷻ, anak-anak kita akan terhindar dari kemunduran akhlak dan pengetahuan.

Pertama, kita tahu orang yang bertaqwa itu pastinya akan hidup berlandaskan al-Qur’an dan Hadits. Ketika bangun tidur hingga tidur kembali perilakunya dijaga oleh landasannya itu. Kalaupun dia berbuat khilaf, maka dia akan langsung taubat dan berusaha kembali ke landasannya.

Kedua, dalam mendidik anak tentunya orang yang bertaqwa akan mencontoh pola pendidikan yang diajarkan dalam al-Quran dan Hadits. Pola pendidikan ini bisa kita pelajari dari kisah para nabi dan orang shalih terdahulu ataupun sejarah Nabi Muhammad ﷺ. Kita bisa melihat bagaimana lembutnya cara memberi nasihat Luqman Al-hakim kepada anaknya, bagaimana besar harapan dan perasaan cintanya Nabi Nuh u untuk anaknya, bagaimana perjuangan Siti Hajar berkeliling di bukit mencari air untuk menyusui anaknya, dan banyak lagi kisah-kisah orang shalih lain yang tidak mungkin saya sebut satu persatu disini.

  1. Berbicara dengan tutur kata yang benar

Qaulan sadidan menurut Hamka[3] merupakan ucapan yang timbul dari hati bersih. Ucapan merupakan gambaran hatinya. Menurut At-Thabari[4], makna qaulan sadidan adalah ucapan yang adil. Sedangkan menurut Rahmat[5], yaitu pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak berbelit-belit. Memahami beberapa pandangan ahli tafsir tersebut dapat dimaknai bahwa qaulan sadidan  ini merupakan pembicaraan yang timbul dari hati bersih sehingga digambarkan melalui ucapan yang adil, benar, jujur, serta lugas. Pembicaraan ini kita aplikasikan saat berinteraksi dengan anak-anak sehingga timbul rasa kepercayaan dalam diri anak bahwa ucapan orang tuanya/gurunya adalah sesuatu yang benar (mesti dilakukan atau ditinggalkan).

Aplikasi

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ  bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (H.R Bukhari)[6]. Rasulullah ﷺ merupakan teladan bagi kita selaku umat muslim dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya mendidik generasi muda. Adalah Rasulullah ﷺ ketika membiarkan cucunya Husain menaiki punggung beliau saat sedang sujud dalam shalat dengan alasan agar cucunya ini tidak merasa terganggu ketika bermain. Di waktu lain, ketika Al-Hasan kecil memakan sebiji kurma tiba-tiba Nabi ﷺ menyontohkan agar cucunya tersebut memuntahkan apa yang dia makan dan dengan tegas berkata “tahukah kau bocah, bisa jadi kurma tadi adalah bagian dari zakat, sedangkan keluarga kita dilarang memakan apapun dari shadaqah”[7].

Sementara itu, perilaku Rasulullah ﷺ ini nampak berbanding terbalik dengan kita. Kebanyakan dari kita malah menjadi sosok yang mengerikan bagi anak-anak saat menjalankan shalat atau ibadah lain namun seakan-akan persoalan halal-haram dari makanan, kesukaan dan permainan cenderung abai. Padahal hakikatnya halal itu merupakan akar dari kebaikan. Langkah selanjutnya yaitu memberi contoh berperilaku baik pada anak karena sebaik-baiknya pendidikan anak adalah memberinya contoh/teladan. Jika anak sudah menjadikan orang tuanya teladan kebaikan, maka pengaruh buruk dari luar dapat diminimalisir.

Terakhir, Rasulullah mendefinisikan seorang muslim bukan orang yang suka shalat ataupun ibadah lainnya. Beliau menyatakan bahwa muslim itu orang yang mampu menjaga keburukan lisan dan tangan(kuasa)nya terhadap orang lain, pun terhadap anak-anak. Karena itu, beri mereka contoh tutur kata yang baik dengan lemah lembut[8]. Rasulullah ﷺ bersabda: “Muslim sejati adalah orang yang menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya” (H.R. Bukhari).

Jika ternyata anak terlanjur mengetahu ucapan yang tidak semestinya dilontarkan maka beritahu mereka dengan lemah lembut juga. Berat? Tentu, karenanya kita dilatih bersabar menghadapi mereka bukan. Memang perubahan perilaku mereka boleh jadi tidak secepat yang dibayangkan, namun setidaknya jika sejak kecil anak terus diingatkan maka akan terbentuk pola pikir bahwa memang ucapan yang tidak pantas tersebut mesti ditinggalkan.

Penutup

              Kita mesti punya pemikiran bahwa anak-anak itu merupakan penerus dakwah Islam dan penerus perjuangan bangsa. Maka dari itu, mendidik anak ini hakikatnya merupakan tugas bersama seluruh umat muslim, tidak hanya orang tua bersangkutan saja. Bagaimana jadinya Islam dan negara indonesia jika generasi penerusnya banyak mengalami kerusakan moral. Ajarkan mereka cara menuhankan Allah ﷻ serta memanusiakan manusia karena kedua aspek ini penting. Jangan hanya salah satunya atau bahkan tidak keduanya. Wallahu a’lam bisshawwâb.[]

Marâji’:

[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 (terjemahan). Bogor: Pustaka Imam Syafi’i. 2003 M. Cet.1. hal 241-243

[2] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994

[3] Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Bulan Bintang. 1987

[4] Thabari, Abu ja’far bin jarir. Jami’ul Bayan fi ta’wili ayyil Quran. Beirut: Darul Fikr. 1988

[5] Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 1994

[6] Al Bukhari. Al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

[7] Salim A. Fillah. Lapis-Lapis Keberkahan. Yogyakarta: Pro-U Media. 2014

[8] Awy’ A. Qolawun. Rasulullah ; Guru Paling Kreatif, Inovatif, & Sukses Mengajar. Yogyakarta: DIVA Press. 2012

Download Buletin klik disini

BAGAIMANA SHALAT BISA MEMPENGARUHI STRESS?

BAGAIMANA SHALAT BISA MEMPENGARUHI STRESS?

Oleh: Farah Adibah Kamilia

*Mahasiswi Psikologi Universitas Islam Indonesia

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Dalam keseharian, telinga kita seringnya akrab dengan kalimat keluhan seperti, “Duh, jujur aku capek banget sama semuanya, stress banget rasanya kalau begini … kalau begitu …” atau kalimat-kalimat lainnya yang serupa dengan yang telah dimisalkan. Perasaan lelah, kacau, stress, dan semacamnya sering kali dirasakan seseorang usai ia menjalankan suatu aktivitas tertentu yang dirasa berat baginya. Banyaknya tekanan dan tuntutan dari berbagai sisi sering kali membebani pikiran mereka yang merasakan. Bahkan, hal tersebut bisa menimbulkan keputusasaan yang berujung pada hal-hal yang tidak diharapkan dan diinginkan. Lantas jika seperti itu, bagaimana caranya agar kita dapat mengupayakan agar hal-hal seperti demikian tak terjadi?

Baik, sebelum beranjak pada pokok pikiran yang telah disinggung secara singkat, ada baiknya bila kita berkenalan terlebih dahulu tentang segala hal yang berkaitan dengan stress dan shalat itu sendiri. Kira-kira, apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda sekalian ketika mendengar kata “Stress”?

Menurut KBBI online, stress merupakan gangguan atau permasalahan mental dan emosional dengan faktor luar sebagai penyebabnya[1]. Tak jarang juga stress sering disebut dengan ketegangan. World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa stress merupakan respon tubuh terhadap tekanan batin, mental dan kehidupan. Selaras dengan hal tersebut, Barseli et al. mengutarakan pendapat mereka perihal definisi stress, yakni represi yang muncul karena adanya ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan individu dengan harapan pihak luar, juga banyaknya tuntutan dari lingkungan kepada individu tertentu yang mana ia tidak mampu untuk memenuhinya sehingga menimbulkan ketimpangan yang berpotensi membahayakan, mengancam, ataupun mengganggu dirinya[2]. Singkatnya menurut Hidayati dan Harsono, stress merupakan respon yang timbul dari diri individu terhadap situasi yang berubah atau mengancam bagi dirinya[3].

Dalam Islam disebutkan bahwa keadaan stress dan gangguan psikologis yang menyertai manusia tergolong ke dalam sebuah penyakit hati. Perihal tentang penyakit hati tersebut tertulis dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 10 yang berbunyi: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 10).

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) telah melakukan penelitian pada lima bulan pertama semenjak ditetapkan pandemi Covid-19 di Indonesia dan memperoleh hasil persentase orang yang mengalami masalah psikologis sebesar 64,8%, dan dari total persentase tersebut salah satu masalah psikologis yang banyak ditemui yaitu stress[4]. Lalu, dari banyaknya kasus yang menyertakan stress sebagai salah satu permasalahan yang sering ditemui tersebut, apakah kiranya yang menyebabkannya dapat terjadi?

Ada banyak faktor yang dapat memicu timbulnya stress, yakni faktor internal seperti kondisi fisik, perilaku, minat, kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spiritual, serta faktor eksternal seperti tugas, lingkungan sosial, dan lingkungan fisik baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan lembaga pendidikan (Sudarya et al., 2014)[5]. Selain yang telah disebutkan, penilaian diri, konflik interpersonal, kurangnya kontrol diri, tuntutan mental dan dukungan sosial[6], self efficacy, hardiness, dan motivasi[7] juga ditambahkan sebagai faktor-faktor yang mampu menimbulkan stress.

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hal-hal yang dapat memunculkan stress di antaranya adalah rasa takut, kekurangan makan, kemiskinan, dan kehilangan harta dapat menjadi cobaan yang berat. Hal tersebut tertulis pada surat al-Baqarah ayat 155, yang berbunyi: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan …” (Q.S. al-Baqarah [2]: 155).

Sehubungan dengan apa yang telah disampaikan, ternyata stress banyak berefek bagi kehidupan seseorang di antaranya dapat menurunkan daya tahan tubuh (Martin et al., 2014)[8], mempengaruhi prestasi belajar seseorang secara parsial[9], mempengaruhi siklus menstruasi pada remaja putri[10], menyumbang risiko untuk mengalami sleep paralysis sebesar 4.6 kali lipat dibanding dengan yang tidak mengalami stress[11], mempengaruhi kemampuan menyesuaikan diri suatu individu[12], dan lain sebagainya.

Dari penjabaran di atas mengenai definisi, faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stress, dan efek yang terjadi karena stress, maka diperlukan solusi agar kiranya hal tersebut berkurang intensitasnya atau bahkan tak terjadi. Lantas apa sajakah yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut?

Menurut Darmawanti, semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, semakin baik pula coping stress-nya[13], dan salah satu cara untuk meninggikan tingkat religiusitas seseorang adalah dengan melaksanakan ibadah yang sering kita laksanakan sehari-hari, yakni shalat. Shalat memberikan efek psikologi yang baik bagi individu[14]. Shalat mempunyai peranan penting bagi kesehatan yang di dalamnya terdapat aspek-aspek terapeutik aspek olahraga, aspek relaksasi, aspek meditasi, aspek auto-sugesti/self-hipnosis, dan aspek pengakuan dan penyaluran[15]. Hasil penelitian yang dilakukan Pratama menunjukkan bahwa mahasiswa yang teratur melaksanakan shalat mampu menekan stress atau depresi yang dirasakan[16]. Kamalin mengungkap dari penelitiannya tentang besarnya pengaruh terapi shalat sebanyak 76% dapat menurunkan stres pada remaja, sedangkan sisanya sebesar 24% dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian[17].

Pernyataan-pernyataan tersebut membuktikan bahwa shalat memang memberi efek yang signifikan dalam penurunan stress. Bukan hanya itu, ternyata shalat juga mampu mengatasi masalah kesehatan lainnya baik dari segi fisik maupun mental. Itulah pentingnya seorang individu mendirikan shalat, sebab bukan hanya karena shalat adalah suatu kewajiban yang mesti dilaksanakan tiap umat manusia, tetapi juga shalat mampu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan kita semua.[]

MARÂJI’:

[1] Setiawan, E. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. KBBI Indonesia.

[2] Barseli, M., Ifdil, I., & Nikmarijal, N. (2017). Konsep stres akademik siswa. Jurnal konseling dan pendidikan, 5(3), 143-148.

[3] Hidayati, L. N., & Harsono, M. (2021). Tinjauan literatur mengenai stres dalam organisasi. Jurnal Ilmu Manajemen, 18(1), 20-30. https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/765 4/5934.

[4] Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran jiwa Indonesia (PDSKJI) 2020, Masalah Psikologis Di Era Pandemi Covid-19. Diakses dari http://www.pdskji.org/home

[5] Sudarya, I. W., Bagia, I. W., & Suwendra, I. W. (2014). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada mahasiswa dalam penyusunan skripsi jurusan manajemen undiksha angkatan 2009. Jurnal Manajemen Indonesia, 2(1).

[6] Lady, L., Susihono, W., & Muslihati, A. (2017). Analisis tingkat stres kerja dan faktor-faktor penyebab stres kerja pada pegawai BPBD Kota Cilegon. Journal Industrial Servicess, 3(1b).

[7] Oktavia, W. K., Fitroh, R., Wulandari, H., & Feliana, F. (2019, November). Faktor-faktor yang mempengaruhi stres akademik. In Prosiding Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (pp. 142-149).

[8] Martin, R., Mulyati, S., & Fratidhina, Y. (2014). Pengaruh stres terhadap disminore primer pada mahasiswa kebidanan di Jakarta. Jurnal ilmu dan teknologi kesehatan, 1(2), 135-140.

[9] Harwanasari, D. (2012). Analisis Pengaruh Stress Mahasiswa Dan Kinerja Dosen Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya Dengan Structural Equation Modelling (SEM) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

[10] Mayasari, B., Arismawati, D. F., & Wardani, R. A. (2021). Pengaruh Stress Terhadap Siklus Menstruasi pada Remaja Putri. Surya: Jurnal Media Komunikasi Ilmu Kesehatan, 13(3), 247-252.

[11] Tjang, Y. S., & Arista, M. (2017). Pengaruh Stress Terhadap Kejadian Sleep Paralysis Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling, 41-45.

[12] Widyastuti, W. (2020). Self compassion, stress akademik dan penyesuaian diri pada mahasiswa baru. Jurnal Psikologi Talenta, 3(1), 6.

[13] Darmawanti, I. (2012). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan kemampuan dalam mengatasi stres (coping stress). Jurnal psikologi teori dan terapan, 2(2), 102-107.

[14] Annatagia, L., Trimulyaningsih, N., & Sari, E. P. (2017). Psychophysiogical aspects of shalat: A chronobiology measurement. Jurnal Psikologi Islam, 4(2), 223-234.

[15] Zulkarnain, Z. (2020). Psychotherapy Shalat Sebagai Mengatasi Stress dalam Meningkatkan Kesehatan Jiwa. Tawshiyah: Jurnal Sosial Keagaman dan Pendidikan Islam, 15(1).

[16] Pratama, M. R. Y. (2020). Analisis Pengaruh Keteraturan Frekuensi Shalat Terhadap Tingkat Stress Pada Mahasiswa Muslim Dengan Menggunakan Pendekatan Konseling (Studi Pada Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel). Nathiqiyyah, 3(1), 27-38.

[17] KAMALIN, L. F. N. (2018). Pengaruh Terapi Shalat Tahajud Dalam Menurunkan Stres Pada Remaja Di Upt Pelayanan Sosial Bina Remaja Blitar.

Download Buletin klik disini

MENGENAL BAHAYA ‘ISTIDRAJ’

MENGENAL BAHAYA ‘ISTIDRAJ’

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah

*Mahasiswi Prodi  Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI UII

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah ﷻ. Berbicara terkait kenikmatan tentu fokus paham kita pada rezeki, nikmat dunia, uang yang banyak, harta dan tahta yang berlimpah. betul sekali, semua yang disebutkan memang masuk dalam kategori nikmat. Namun nikmat bisa beribadah kepada Allah ﷻ , bisa berpuasa dengan lancar, berdzikir dengan khusu’, hal tersebut merupakan nikmat terbesar   yang patut kita syukuri.

Makna Istidraj

Mengenal istilah ‘Istidraj’, orang awam pasti belum memahami dengan terperinci terkait istilah tersebut. Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah ﷻ berfirman, “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. al-Qalam [68]: 44)[1]

Dapat dipahami bahwa, sebuah kenikmatan yang diberikan Allah ﷻ tidak akan lekang pada kasih sayangnya. Namun jika seseorang telah diberikan kenikmatan tetapi ia terus berbuat maksiat dan malah sering melalaikan perintahnya maka bisa jadi kenikmatan-kenikmatan yang terus bertambah itu merupakan salah satu murka Allah ﷻ, dan termasuk dalam kategori ‘Istidraj’.[2]

Sebagaimana kutipan dari Fadhullah al-Haa’iri dalam kalimat Ali Bin Abi Thalib, “Barangsiapa yang bersenang-senang dengan maksiat kepada Allah , niscaya Allah akan memberikan kepadanya kehinaan.[3]

Menurut Asy-Syaukani dalam kitabnya tafsir fathul qadir menyatakan bahwa, al istidraj berasal dari kata sanastadrijuhum yang berarti bertahap atau menerik secara berangsur-angsur. Sedangkan makna al-istidraj adalah melangkah sedikit demi sedikit sehingga dapat mencapai tujuan.

Semua tindakan maksiat yang Allah balas dengan nikmat, dan Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj.[4]

Berdasarkan hadis dari Uqbah bin Amir dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “ Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj” (H.R. Ahmad no.16673). Hasan menurut Syu’aib al-Arna’uth.

Sebagai seorang muslim, patutlah kita bersyukur jika mendapatkan musibah seperti rasa sakit, menderita, patah hati  dll.  Karena hal itu merupakan sebuah pertanda  bahwa kasih sayang Allah ﷻ kepada kita sangat besar. Sehingga kita menyadari bahwa mungkin saja karena dosa yang terlalu banyak hal itu dapat mengugurkan dosa-dosa dengan musibah yang kita terima jika sabar dan rendah hati dalam  menjalani ujian.

Tanda-Tanda ‘Istidraj

Salah satu tanda seseorang mendapatkan ‘istidraj adalah memperoleh kelancaran, kenyaman, ketenangan dalam hidup, tetapi nyatanya lalai dalam beribadah. Pasti kita sering menemukan beberapa contoh dari  orang yang mendapatkan kesenangan, kelancaran, kenyaman dan ketenangan  dalam hidup padahal jarang sekali melakukan ibadah atau bahkan tidak sama sekali melaksanakan ibadah. Maka dari hal tersebut perlu diwaspadai dan dicermati bahwa hal tersebut merupakan tanda-tanda ‘istidraj’. Karena dia tidak akan pernah tahu kesenangan dan kenyamanan itu sebagai bentuk nikmat ataukah azab yang nantinya pasti mendapatkan balasan yang seadil-adilnya.

Allah ﷻ berfirman: “ Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa”. (Q.S. al-Anam [6]: 44).

Dari ayat diatas dapat memberikan kita gambaran yang nyata bahwa, orang yang melupakan sebuah peringatan dari sebab dan akibat seperti menolak nasihat dari sebuah kesengsaraan maupun ancaman, serta melalaikan ibadah, maka daripada itu Allah ﷻ akan membuka sebuah pintu kesenangan dan kebahagiaan sebagai pintu ‘istidraj’. Jika seseorang ketika mendapatkan kebahagiaan kemudian ia sombong, dengan tersebut Allah ﷻ akan mengazabnya sesegera mungkin.[5]

Mendapatkan Kemewahan, Padahal Kikir dan Pelit

Harta, tahta dan segala kemewahan dunia bukanlah milik kita, segala sesuatu yang ada di bumi terutama dalam bentuk fisik pasti akan lenyap di dunia ini. Karena sejatinya hanya Allah ﷻ yang maha kekal abadi selama-lamanya. Untuk itu jika seseorang memperoleh harta yang berlimpah, kedudukan yang tinggi semua itu tidak berarti, jika masih mempunyai sifat kikir dan pelit dalam menggunakan hartanya untuk orang lain. Dunia dan isinya itu hanyalah sementara, ibaratnya sebuah tempat persinggahan sesaat, untuk itu manusia di dunia hakikatnya mencari bekal untuk hidup di akhirat. Karena di akhirat waktu lebih panjang daripada dunia ini yang sementara.

Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraj.” (HR. Ahamd).[6] Dapat dipahami bahwa, kadang masyarakat awam cenderung ambigu untuk mengenal apa itu ‘istidraj’, dengan hal tersebut banyak manusia yang mengalami hal tersebut tidak sadar dan akhirnya tersesat dengan kenikmatan-kenikmatan yang terus berdatangan.[7]

‘Istidraj’ Menurut Tafsir Al-Misbah

Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh M.Quraish Shihab menjelaskan konsep ‘istidraj’ adalah pemberian dari Allah ﷻ kepada manusia berupa kemudahan dalam segala urusan dunia, termasuk harta dan tahta serta kesehatan. Dengan hal tersebut hakikatnya ‘istidraj itu ialah azab yang diberikan Allah ﷻ kepada hambanya dengan segala bentuk  kenikmatan-kenikmatan dunia, serta kesenangan  lainnya sehingga semakin diberikan nikmat, maka seorang hamba tersebut akan semakin lalai dalam beribadah sehingga adanya jarak terhadap hubungan  seorang hamba dengan Allah ﷻ.

Jika kita mengenal kata murka merupakan sebuah hal bencana, kesengsaraan hidup, siksa. Hal itu berbanding dengan konsep ‘istidraj’, jadi yang dimaksud kenikmatan disini adalah bagaimana seorang hamba bisa menyadari dalam bentuk kesenangan, kenikmatan, kemudahan padahal sering melalaikan perintah Allah ﷻ sebagai ujian. Karena manusia ketika diberikan kesenangan dan kenikamatan dunia akan cenderung melalaikan dan melupakan siapa yang memberikan nikmat.[8] Dengan hal tersebut patut lah kita bersyukur jika masih diberikan cobaan yang sekiranya itu merupakan tanda-tanda yang bisa kita kenali bahwa itu merupakan dosa yang perlu kita perbaiki dan memohon ampun kepada Allah ﷻ karena sering melalaikan perintahnya.

Marâji:

[1] Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja, disebutkan dalam Ammi Nur Baits, Makna Istidraj, https://konsultasisyariah.com/10940-makna-istidraj.html

[2] Bayu Arif Bimantoro, ‘Istidraj dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Skripsi S1,  Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021, 2

[3] Ibid. hal.2

[4] Ammi Nur Baits, Makna Istidraj, https://konsultasisyariah.com/10940-makna-istidraj.html

[5] Bayu Arif Bimantoro, ‘Istidraj dalam Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, hal 4

[6] Jalaluddin as-Suyuti, Jilid. I: 26

[7] Dina Fitri Febriani and Muhammad Zubir, “Istidraj Dalam Al-Quran Perspektif Imam Al-Qurthubi,” Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial Dan Budaya 2, no. 1 (2020): 78, doi:10.31958/istinarah.v2i1.2101.

[8] Ali Muzamil, John Supriyanto, and Apriyanti, “Istidraj Dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” Al-Misykah: Jurnal Kajian Al-Quran Dan Tafsir 1, no. 2 (1902): 109.

Download Buletin klik disini

HIDUP INI UNTUK MENGHAMBA

HIDUP INI UNTUK MENGHAMBA

Oleh : Abdul Muis, S.Kom

*Alumni Informatika FTI UII 2017

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Derasnya arus modernisasi di berbagai aspek, meningkatnya gaya hidup, tingginya persaingan status sosial membuat sebagian besar individu lupa akan hakikat kehidupan. Fenomena tersebut didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dalam segala hal, baik dalam sudut pandang positif ataupun sebaliknya. Terkadang dengan kemudahan yang ada tidak sedikit yang terjerumus dalam hiruk pikuknya dunia teknologi terutama media sosial. Tanpa disadari kemudahan dan kemewahan tersebut menjadi bumerang tersendiri.

Munculnya paham-paham pemikiran yang berseberangan dengan Islam memperparah fenomena yang ada. Dampaknya Aqidah dan jati diri Islam terkoyakkan. Misalnya saja adanya paham pemikiran Islam liberal. Paham ini berawal dari pengaruh pandangan hidup barat dan peradabannya yang hegemoni dan mendominasi semua bidang kehidupan. Islam liberal mencoba memberikan tafsiran Islam yang sesuai modernity atau kemordenan. Sehingga Islam harus sesuai dengan kemordenan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, yang harus dilakukan menurut penganut paham ini adalah bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut[1].

Paham Islam liberal kemudian dipopulerkan oleh satu kumpulan para pemuda dengan menumbuhkan satu rangkaian kerja sama di dalam dan di luar negeri, yang mereka namakan sebagai ‘Jaringan Islam Liberal’ (JIL). Terlihat jelas bahwa pemikiran-pemikiran liberal yang dilontarkan oleh kelompok ini merupakan penyerapan dan pengaruh dari isu-isu pemikiran yang berkembang di dunia barat. Selain itu, paham pemikiran ini hendak menjadikan Islam sama seperti Kristen atau paham Yahudi di barat yang tunduk dengan kehidupan duniawi, dengan cara membebaskan umat Islam dari ajaran-ajaran yang sesungguhnya supaya sesuai dengan selera dan agenda barat[2].

Fakta tersebut tentu sangat bertentangan dengan Islam yang menundukkan umatnya kepada kehidupan akhirat melalui ibadah dan syariat yang sudah ditetapkan dengan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.

Akhirat sebagai Prioritas

Islam adalah agama yang memprioritaskan segala sesuatu untuk kehidupan akhirat yang lebih tinggi derajat kenikmatan dan karunianya, berdasarkan firman Allah ﷻ “Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.” (Q.S Al Isra’[17]:21).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di salah satu pakar ilmu tafsir abad ke-14 dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di) beliau menjelaskan maksud ayat tersebut bahwa kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat tidak bisa dibandingkan dalam segala sudut. Alangkah jauh perbedaan antara orang-orang yang berada di istana-istana yang tinggi, aneka kelezatan yang bermacam-macam, beragam jenis kebaikan, rangkaian kebahagiaan dengan orang yang menggelepar-gelepar di dalam neraka Jahim, tersiksa dengan azab yang pedih, dan kemurkaan Rabb yang Maha Penyayang yang sudah mengenainya. Dan masing-masing dua kampung itu (dunia dan akhirat) di hadapan para penghuninya mempunyai sisi-sisi perbedaan yang tidak terhitung jumlah oleh seseorang[3]. Ayat ini cukuplah menjadi bukti bahwa kemewahan dan kegemerlapan kehidupan dunia tidaklah sebanding dengan karunia dan kebahagiaan kehidupan akhirat.

Jika dibuka kembali lembaran sejarah Islam yang sebenarnya bahwa misi pertama diutusnya semua nabi dan rasul mulai nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad ﷺ ialah menerangkan dan mengingatkan kembali penghambaan pada Allah ﷻ. Oleh karena itu, untuk membuktikan penghambaan pada Allah ﷻ  diperintahkannya shalat sebagai salah satu turunan dari ibadah. Bukti penghambaan ini diperjelas ketika membacanya dalam pelaksanaan shalat,  Kalimat tersebut diulang sebanyak tujuh belas kali setiap harinya ketika melaksanakan kewajiban yang lima kali sehari, “Hanya kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami memohon pertolongan” (Q.S al-Fatihah [1]: 5).

Ayat tersebut menegaskan bahwa umat manusia khususnya umat Islam adalah hamba utusan Allah ﷻ. Para ahli tafsir menjelaskan makna penghambaan dari ayat tersebut ialah hanya menghususkan ibadah kepada Allah ﷻ dengan bertauhid dan memohon pertolongan hanya kepada Allah ﷻ untuk urusan lainnya[4].

Penegasan Menghamba

Penegasan derajat sebagai hamba salah satunya tercantum dalam al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S Adh-Dhariyat [51]: 56). Para ahli tafsir menjelaskan bahwa makna ibadah di ayat tersebut yaitu merendah, tunduk, dan menyerahkan diri kepada Allah ﷻ. Sebab makna ibadah secara bahasa adalah tunduk dan patuh[5].

Tunduknya kita pada Allah ﷻ semata-semata sebagai bentuk syukur terhadap segala nikmat yang diberikan. Berkurangnya ketundukan ataupun tidak patuhnya kita kepada Allah ﷻ, sama sekali tindak merendahkan derajat Allah ﷻ yang Maha Tinggi, karena sejatinya seorang hamba yang membutuhkan Rabbnya, bukan sebaliknya. Di ayat berikutnya Allah ﷻ mempertegas bahwa Dia tidak menghendaki hambanya sebagaimana seorang tuan yang memanfaatkan budaknya, akan tetapi Dia Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki, sebagaimana firman-Nya, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan. Sunggu Allah, Dialah  pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (Q.S Adh-Dhariyat [51]:57-58).

Penghambaan kita kepada Allah ﷻ bukanlah berarti bentuk larangan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya. Tentu tidak. Islam tidak melarang untuk bekerja, tidak melarang untuk menjadi kaya, berkarier mencapai jabatan tertinggi, mempunyai kedudukan dan ilmu yang tinggi serta lain semisalnya. Akan tetapi ayat tersebut mengingatkan bahwa kedudukan kita di muka bumi adalah sebagai hamba dan tugasnya untuk menghamba yang senantiasa meniatkan segala sesuatu sebagai ibadah berorientasi akhirat. Silakan bekerja, berkarier setinggi-tinginya, akan tetapi jangan lupa status kita adalah sebagai hamba yang berkewajiban menghamba dan status kehambaannya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan-Nya.[]

MARÂJI’:

[1] Dr.Adian Hussaini, Islam liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan, dan jawabannya – Adian Husaini, Nuim Hidayat – Google Books.

[2] I. Dan and P. Untuk, “Isu-Isu Sentral Dalam Pemikiran Islam Liberal : Kes,” pp. 1–16, 1999, Accessed: Aug. 19, 2022. [Online]. Available: https://insists.id/isu-isu-sentral-dalam-pemikiran-islam-liberal/.

[3] “Surat Al-Isra Ayat 21: Arab-Latin dan Artinya.” https://www.tafsirweb.com/4625-surat-al-isra-ayat-21.html (accessed Aug. 19, 2022)

[4] M. A. Tuasikal, “Tafsir Surat Al-Fatihah (Ayat 5): Memahami Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin – Rumaysho.Com.” https://rumaysho.com/24478-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-5-memahami-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html (accessed Aug. 19, 2022)

[5] “Surat Az-Zariyat Ayat 56: Arab-Latin dan Artinya.” https://www.tafsirweb.com/9952-surat-az-zariyat-ayat-56.html (accessed Aug. 19, 2022)

Download Buletin klik disini

PEMUDA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM

PEMUDA IDEAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh: Jaenal Sarifudin*

 

Bismillah, walhamdulillâh washshâlatu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh. Waba’du.

Ada kalimat hikmah menyebutkan, Syubbanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini adalah tokoh di masa depan. Demikian bunyi sebuah ungkapan dalam khazanah literatur Arab. Pemuda adalah harapan para orang tua. Bahkan harapan bangsa. Tempat melabuhkan dan menitipkan segenap asa, harapan dan cita-cita. Maka pemuda memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apa yang belum dapat dicapai oleh para orang tua dan generasi sebelumnya, para pemudalah yang diharapkan akan dapat memperjuangkan dan mampu untuk mewujudkannya. Bapak Proklamator RI, Ir. Soekarno pernah mengatakan; “Berilah aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Kalimat ini menggambarkan potensi dan kekuatan luar biasa yang ada pada diri para pemuda.

Memanfaatkan Masa Muda Untuk Hal yang Positif

Masa muda sering dikaitkan dengan kondisi fisik yang kuat dan prima. Juga semangat dan idealisme yang tinggi. Saat segala cita-cita dan keinginan masih membentang luas kesempatan untuk dapat mewujudkan dan menggapainya. Namun di sisi lain juga memiliki kerentanan dan tantangan yang menghadang pula. Tidak sedikit di antara mereka yang salah jalan karena kurangnya perhatian dan bimbingan. Juga kurangnya bekal ilmu dan lemahnya iman. Maka menjadi suatu hal yang niscaya dilakukan untuk membimbing mereka. Mengarahkan mereka dan menyalurkan semangat darah mudanya pada hal-hal yang positif dan bermanfaat. Sehingga masa muda benar-benar akan menjadi waktu yang produktif dan penuh kreativitas positif.

Salah satu pesan Nabi ﷺ dalam sabdanya adalah agar kita memanfaatkan masa muda sebelum datang masa tua. Pada masa muda lah seseorang akan dapat memaksimalkan potensi dirinya dengan sebaik-baiknya. Saat usia telah beranjak senja, tidak banyak hal yang dapat dilakukan karena berbagai keterbatasan. Nabi ﷺ bersabda:  “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara, hidupmu sebelum matimu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu sempatmu sebelum datang saat sibukmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu dan saat kecukupanmu sebelum datang saat kekuranganmu.” (HR. Al-Hakim)[1]

Teladan Ashabul Kahfi

Allah ﷻ mencintai para pemuda yang berjiwa idealis, penuh semangat daya juang dan tumbuh di dalam naungan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Di dalam Al-Quran, di antaranya Allah ﷻ memberikan contoh pemuda yang memiliki karakter tersebut. Di antara mereka adalah Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda shalih yang berani menentang tirani kezhaliman. Bahkan demi menyelamatkan iman dan tauhid, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan bersembunyi di dalam sebuah goa. Ketika Allah ﷻ mengisahkan Ashabul Kahfi, Allah ﷻ memuji mereka dalam firman-Nya, Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 13). Ashabul Kahfi adalah contoh citra pemuda bertakwa dan memiliki idealisme tinggi. Para pemuda yang rela berjuang dan berani menyuarakan kebenaran.

Dalam konteks semangat juang, sesungguhnya juga dapat kita kaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Banyak pemuda pahlawan yang turut memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Mereka bahkan rela mengorbankan jiwa raga demi membela bangsa dari cengkeraman penindasan para penjajah. Sejarah mencatat, ribuan pemuda telah gugur menjadi syuhada dan kusuma bangsa yang harum namanya dikenang oleh generasi selanjutnya.

Pemuda yang Berada dalam Naungan Allah

Di dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Rasulullah ﷺ juga memuji pemuda yang beriman, taat beribadah dan memiliki semangat pengabdian tinggi. Nabi ﷺ menjanjikan bahwa kelak Allah ﷻ akan memberikan naungan pada hari kiamat bagi para pemuda yang tumbuh di dalam pengabdian dan ketaatan (syabb nasyaa fi ‘ibadatillah). Para pemuda yang selain memiliki karakter shalih, juga memiliki semangat pengabdian. Karena pada hakikatnya segala pengabdian, dedikasi, perjuangan dan kontribusi yang diberikan dengan ketulusan adalah bagian dari ibadah juga. Sehingga pemuda ideal menurut Islam adalah pemuda yang memiliki semangat beribadah dan juga semangat berjuang. Nabi ﷺ bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari di saat tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya; Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam pengabdian kepada Allah, orang yang hatinya selalu terpaut pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, orang yang bersedekah sirri (dengan ikhlas) sehingga seolah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, seorang laki-laki yang dirayu oleh seorang perempuan yang terpandang lagi cantik jelita kemudian ia berkata sesungguhnya aku takut kepada Allah dan seseorang yang berdzikir menyebut nama Allah dalam keheningan seraya mengalir air matanya (karena takut kepada Allah).” (HR.  Al-Bukhari)[2]

Menjadi Pemuda yang Berilmu dan Beramal

Salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup adalah dengan ilmu. Imam Asy-Syafi’i menyatakan: “Barangsiapa menghendaki (kesuksesan) di dunia hendaklah ia membekali diri dengan ilmu. Dan barangsiapa menghendaki (kebahagiaan) di akhirat maka hendaklah ia membekali diri dengan ilmu.”[3] Idealnya, masa muda semestinya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk belajar dengan sungguh-sungguh dalam mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Pada masa muda, daya serap dan daya lekat ilmu jauh lebih kuat dibandingkan ketika seseorang belajar di saat usia sudah tidak muda lagi. Para ilmuwan, cendekiawan dan ulama pada umumnya adalah orang-orang yang mau berletih-letih dalam belajar di masa mudanya. Bahkan jika menengok sejarah hidup para ulama masa lampau, mereka sampai rela menempuh jarak perjalanan ratusan kilometer demi untuk mendapatkan ilmu dan riwayat.

Saat ini, kita telah mendapatkan banyak sekali fasilitas dan sarana yang memudahkan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu begitu banyak. Khazanah pustaka juga begitu berlimpah, baik yang berwujud buku fisik maupun yang telah didigitalisasikan. Bahkan kita dapat dengan mudah mengakses beragam sumber pengetahuan tanpa harus keluar dari tempat tinggal kita dengan memanfaatkan fasilitas media. Kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi harus kita manfaatkan dengan baik. Bukan malah kemudian terseret dalam arus negatif akibat menggunakan fasilitas teknologi untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan sia-sia bahkan membawa dosa.

Kesungguhan dalam belajar (studi) dan menumbuhkan budaya literasi haruslah ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih bagi para mahasiswa, itulah tugas utama yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Belajar adalah amanah dari Allah l dan amanah dari para orang tua mereka. Orang yang tengah belajar dan menuntut ilmu pada hakikatnya tengah berjuang di jalan Allah ﷻ. Allah ﷻ niscaya akan memudahkan baginya meraih kesuksesan dan surga-Nya. Nabi bersabda; “Barangsiapa menempuh jalan dalam menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).[1] Tentu setelah ilmu didapat, hal selanjutnya adalah mengaktualisasikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Citra pemuda ideal dalam Islam adalah pemuda yang berilmu dan juga beramal.[]

Marâji’:

* Mahasiswa FIAI Universitas Islam Indonesia

[1] Imam al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, Beirut, Darul Fikr, 2001.

[2] Muhammad  ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Darul Fikr, t.t.

[3] Abi Zakariya an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz I,  Beirut: Darul Fikr, 1996, hal. 36.

Download Buletin klik disini

HAKIKAT PERTEMANAN DALAM ISLAM

HAKIKAT PERTEMANAN DALAM ISLAM

Oleh : Awwahun Halim

*Ketua HAWASI & mahasiswa Akuntansi 2019

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,   

Setiap manusia pasti memiliki teman akrab yang senantiasa menemaninya baik itu dikala suka maupun duka, ada yang sudah berteman dari kecil hingga dewasa. Walaupun terkadang dalam pertemanan ada juga istilah seperti “menusuk dari belakang”. Akan tetapi hakikatnya setiap orang pasti memiliki teman akrab, atau biasa juga kita sebut dengan sahib karib. Sedangkan pada zaman serba digital ini kita sangat mudah sekali untuk mendapatkan teman dalam dunia maya, bahkan terkadang kita bisa lebih dekat dengan mereka dari pada dengan teman di sekitar kita.

Pertemanan dalam Al-Qur’an

Istilah pertemanan atau sahib ini sebenarnya sudah ada sejak zaman masa Jahiliyah. Jika membicarakan pertemanan pada masa jahiliyyah terdapat suatu kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai, celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (al-Qur’an) ketika (al-Qur’an) itu telah datang kepadaku, dan setan memang pengkhianat manusia.” (Q.S al-Furqân, [25]: 27-29)

Dimana asbabun nuzul dari ayat ini karena pada zaman jahiliyyah ada seorang dari orang Quraisy bernama Uqbah bin Abu Mu’aith, dimana dulu sering sekali mengikuti majelis Rasulullah ﷺ. Sehingga suatu saat berita bahwa Uqbah bin Abu Mu’aith yang sering ikut majelis Rasulullah ﷺ sampai ke teman dekat dari Uqbah bin Abu Mu’aith yaitu Ubay bin Khalaf yang saat itu sedang di Syam. Kemudian Ubay bin Khalaf pun langsung pulang ke Makkah untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Kemudian setelah mengkonfirmasi berita tersebut Ubay bin Khalaf pun menyuruh Uqbah bin Abu Mu’aith untuk memilih apakah dia akan terus mengikuti dakwah Nabi atau memutuskan persahabatan antara mereka.

Setelah diberi pilihan tersebut maka Uqbah bin Abu Mu’aith lebih memberatkan pertemanan dari pada dakwah Rasulullah ﷺ sehingga untuk membuktikan pertemanannya Uqbah bin Abu Muaith pun sampai rela untuk melemparkan kotoran ke punggung Rasulﷺ. Akan tetapi di akhir hayatnya Uqbah bin Abu Muaith menyesali perbuatannya tersebut. Sebagaimana hal ini telah diabadikan di al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zhalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” (Q.S. al-Furqan [25]: 27). Dimana pada akhirnya Uqbah bin Abu Muaith meninggal dunia dalam keadaan kafir di medan perang.[1]

Anjuran Nabi Untuk Memilah Dalam Pertemanan

Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan kita bagaimana pertemanan yang baik itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-‘Asy’ari, Rasulullah ﷺ bersabda: “Permisalan teman duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang buruk bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun apabila engkau berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim, no.2628)[2]

Dimana Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita supaya kita mencari teman yang baik. Imam An-Nawawi menjelaskan tentang hadits diatas bahwasanya hadits diatas menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman yang shalih atau orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’ (rendah hati). Dan hadits diatas juga terdapat larangan serta bahayanya bergaul dengan orang yang memiliki perilaku yang buruk dan yang memiliki sikap yang tercela.

Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan tentang hadits diatas: “Hadits di ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”

Berdasarkan hadits diatas dijelaskan juga beberapa manfaat dari berteman dengan orang baik diantaranya: 1) Kita diajak untuk melakukan kebaikan yang serupa. 2) Kita juga mendapatkan semangatnya dalam melakukan kebaikan. 3) Hal yang paling minim yaitu kita juga mendapatkan pujian dari berteman dengannya.

Selain itu kita juga dijelaskan bahayanya jika kita berteman dengan orang yang memiliki akhlak yang buruk semisal: 1) Kita jadi ikut ikutan melakukan keburukan yang serupa. 2) Kita mendapatkan getah dari apa yang dilakukan teman tersebut. 3) Hal yang paling minim yaitu kita mendapatkan sindiran dari masyarakat karena berteman dengannya.

Pribadi Rasulullah dalam Berteman

Dalam surah al-Qalam ayat 4 Allah ﷻ berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. (Q.S. al-Qalam [68]: 4).  Rasulullah ` merupakan sosok panutan kita umat muslim seseorang yang memiliki setiap budi yang luhur. Bahkan setiap sahabat memiliki kesan yang sangat bagus dalam pergaulan beliau. Setiap pribadi Rasul dalam bergaul dengan para sahabat, kemudian para sahabat menceritakan kepada generasi selanjutnya, berikut contoh pribadi Rasulullah ﷺ salam dalam bergaul terdapat dalam suatu hadits Rasulullah ﷺ : “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (artinya  semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)”. (H.R Muslim).[3]

Berdasarkan hadits diatas terdapat 6 dasar dalam bergaul yaitu: 1) Menjawab salam. 2) Menjenguk dan mendoakan teman yang sakit. 3) Memberi undangan dan menjawab undangan. 4) Memberi nasehat. 5) Mendoakan ketika ada teman yang bersin. 6) Mengantarkan jenazah.

Selain dari 6 dasar bergaul yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, Beliau juga mengajarkan kita untuk selalu membantu setiap muslim yang sedang kesulitan dan menutup aib sesama muslim yang mana kita nanti juga akan dimudahkan dan ditutup aibnya oleh Allah ﷻ di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi `: “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.” (H.R Muslim no.2699)[4]

Oleh karena itu carilah untuk kalian teman yang baik yang senantiasa menasehati kita dikala sedang futur dalam beribadah, karena teman yang seperti ini lah yang dapat menuntun kita menuju surganya Allah ﷻ sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ibnul Mubarak: “Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam Syurga, lalu mereka tidak menemukan Sahabat2 mereka yang selalu bersama mereka dahulu di dunia.Mereka bertanya tentang Sahabat mereka kepada Allah Ta’ala “Ya Rabb kami tidak melihat Sahabat Sahabat kami yang sewaktu di dunia shalat bersama kami, puasa bersama kami dan berjuang bersama kami?” Kemudian Allah Ta’ala berfirman “Pergilah ke neraka lalu keluarkan Sahabat-sahabatmu yang di dalam hatinya terdapat iman walaupun sebiji zarrah” (HR. Ibnul Mubarak dalam kitab ‘Az-Zuhd’)[5]

Marâji:

[1] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004. Jilid 6, hal. 108

[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, No 2628

[3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-nawawi. Riyadhus Shalihin. Beirut, Maktabul Islami. hal.  143.

[4] Ibid. hal. 146.

[5] Sumber https://pundiamalhasanahumat.or.id/carilah-teman-yang-bisa-membawamu-ke-sorga/

Download Buletin klik disini