UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH
UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH
Oleh: Shahib al Rasikh
Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Saudaraku, artikel sebelumnya membahas “Hukum Shalat Jamaah”[1], pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas “Udzur Bolehnya Meninggalkan Shalat Berjama’ah”. Seseorang diberi keringanan untuk tidak mengerjakan shalat jama’ah ketika mengalami halangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah[2], Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar[3], Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam Shalâtu al-Mu’min[4], dan ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi dalam al-Wajiz[5] serta kitab-kitab fiqih lainnya yaitu:
- Ketika udara sangat dingin, hujan turun dengan lebat, dan jalanan licin.
Dari Ibnu Abbas h bahwasanya dia pernah berkata kepada mu’adzinnya ketika hujan turun: “Apabila engkau telah melafazhkan: Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh maka jangan mengatakan: Hayya ‘alash shalâh, akan tetapi katakan: Shallû Fî Buyûtikum (Shalatlah di rumah kalian). Lalu manusia (mendengarkannya seolah-olah) mengingkari masalah tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata: ‘Hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah `). Sesungguhnya shalat Jum’at itu adalah kewajiban dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar (ke Masjid) lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek dan licin”. (HR al-Bukhari dan Muslim)[6]
Imam al-Nawawi v menjelaskan, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.”[7]
- Ketika makanan sudah disajikan, sedang nafsu makannya sangat berselera pada makanan tersebut.
Didasarkan pada hadits Dari ‘Aisyah i, dari Nabi bersabda, “Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama’ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan”. (H.R. Muttafaq ‘alaih)[8]
Riwayat lain dari Anas bin Malik a bahwa Rasulullah `, “Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian”. (H.R. al-Bukhari)
- Ketika desakan (kebelet)[9] buang air besar atau kecil.
Didasarkan pada hadits ‘Aisyah i, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ` bersabda, “Tidak ada shalat pada saat makanan dihidangkan dan ketika menahan keluarnya (sesuatu) dari 2 jalan (qubul dan dubur)” (HR Muslim)[10]
- Kecapekan dan mengantuk yang amat sangat, jika ia sudah tidak bisa lagi mengerti bacaan apa yang sedang dibaca dalam shalat.
Berdasarkan hadits dari Anas z dari Nabi `, beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian ngantuk dalam sholat, hendaknya ia tidur (terlebih dahulu) sampai ia bisa mengerti apa yang dibacanya”(H.R. al-Bukhari)
Riwayat lain menyebutkan dari Aisyah i bahwasanya Rasulullah ` bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk dalam keadaan ia shalat, hendaknya tidur sampai hilang perasaan kantuknya. Karena seorang jika shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak mengetahui, pada saat bermaksud mohon ampunan namun justru mencela dirinya sendiri “ (H.R. Muttafaq ‘alaih).[11]
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin v menjelaskan bahwa seseorang yang sangat mengantuk dalam shalat bisa jadi ia berdoa meminta surga namun keliru berucap meminta neraka, bermaksud meminta hidayah, justru keliru berucap meminta kesesatan, dan semisalnya.[12]
- Ketiduran
Orang yang ketiduran sehingga terlambat atau tidak shalat berjamaah di masjid adalah termasuk orang yang tidak tercela karena meninggalkan shalat berjamaah di masjid, berdasarkan keumuman hadits dari Aisyah i, Rasulullah `, bersabda, “Pena (kewajiban melaksanakan syariat) diangkat dari tiga (golongan manusia): orang yang tertidur sampai dia bangun (dari tidur), orang yang gila sampai akalnya normal, dan anak kecil sampai dia dewasa.” (H.R. Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Darimi, dan al-Hakim)[13]
Jika shalat berjamaah di mesjid telah selesai ketika dia terbangun dari tidur, maka dia boleh melaksanakan shalat di rumah atau di mesjid, berdasarkan hadits riwayat Abi Bakrah a, dia berkata,“(suatu hari) sungguh Rasulullah ` datang dari pinggiran kota Madinah (menuju ke mesjid) untuk melaksanakan shalat (secara berjamaah), dan Beliau ` mendapati orang-orang telah selesai melaksanakan sholat (secara berjamaah), maka Rasulullah ` pun kembali ke rumah, kemudian mengumpulkan keluarga Beliau ` dan shalat mengimami mereka.” (H.R. ath-Thabrani)[14]
- Mengkhawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam).[15]
Misalkan, berlindung dari kejaran penguasa yang Zhalim yang akan membunuhnya bukan secara haq, atau panik menyelamatkan diri karena adanya bencana alam. Hal ini didasarkan pada keumum firman Allah l, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri pada kebinasaan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 195).
Mutiara Hikmah
Dari Anas Bin Malik a, Rasulullah ` bersabda:
اَلدُّعَاءُ لاُ يُرَدُّ بَيْنَ الْأذَانِ وَالإقَامَةِ.
“Doa antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak.” (H.R.Tirmidzi no. 212 dan dishahihkan oleh albani dalam Irwaul Galil)
[1] https://alrasikh.uii.ac.id/2021/10/01/hukum-shalat-jamaah/
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, Jilid 1, hal. 408-410
[3] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1, (Jakarta: Almahira, 2010) hal. 326-327
[4] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 546-549
[5] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fî Fiqhi al-Sunnah wa al-Kitâbi al-‘Azîzi, Cet.ke-6. (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2011), hal. 286-287
[6] Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 901 dan Muslim no. 699
[7] Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (V/207)
[8] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 674 dan Muslim, no. 559
[9] Bahasa jawa
[10] Muslim, no. 560, penjelasan lebih lanjut lihat Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 410. Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 548. Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i., hal. 326-327
[11] Al-Bukhari, no.212 dan Muslim, no. 786. Lihat pula Shahih al-Jami’ al-Shaghir, no. 810
[12] Syarh Riyadhi al-Shâlihin, Juz 1, hal. 166
[13] Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh al-Dzahabi dan al-Albani dalam Irwa ul Ghalil (2/5)
[14] Berkata Al Haitsami: Semua perawinya tsiqat (terpercaya), dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 155.
[15] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu ……..., hal. 326