UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH

UDZUR BOLEHNYA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMA’AH

Oleh: Shahib al Rasikh

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Saudaraku, artikel sebelumnya membahas “Hukum Shalat Jamaah”[1], pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas “Udzur Bolehnya Meninggalkan Shalat Berjama’ah”. Seseorang diberi keringanan untuk tidak mengerjakan shalat jama’ah ketika mengalami halangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah[2], Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar[3], Sa’id  bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam Shalâtu al-Mu’min[4], dan ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi dalam al-Wajiz[5] serta kitab-kitab fiqih lainnya yaitu:

 

  1. Ketika udara sangat dingin, hujan turun dengan lebat, dan jalanan licin.

Dari Ibnu Abbas h bahwasanya dia pernah berkata kepada mu’adzinnya ketika hujan turun: “Apabila engkau telah melafazhkan: Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh maka jangan mengatakan: Hayya ‘alash shalâh, akan tetapi katakan: Shallû Fî Buyûtikum (Shalatlah di rumah kalian). Lalu manusia (mendengarkannya seolah-olah) mengingkari masalah tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata: ‘Hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah `). Sesungguhnya shalat Jum’at itu adalah kewajiban dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar (ke Masjid) lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek dan licin”. (HR al-Bukhari dan Muslim)[6]

Imam al-Nawawi v menjelaskan, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.[7]

 

  1. Ketika makanan sudah disajikan, sedang nafsu makannya sangat berselera pada makanan tersebut.

Didasarkan pada hadits Dari ‘Aisyah i, dari Nabi  bersabda, “Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama’ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan”. (H.R. Muttafaq ‘alaih)[8]

Riwayat lain dari Anas bin Malik a bahwa Rasulullah `, “Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian”. (H.R.  al-Bukhari)

 

  1. Ketika desakan (kebelet)[9] buang air besar atau kecil.

Didasarkan pada hadits ‘Aisyah i, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ` bersabda,   “Tidak ada shalat pada saat makanan dihidangkan dan ketika menahan keluarnya (sesuatu) dari 2 jalan (qubul dan dubur)” (HR Muslim)[10]

 

  1. Kecapekan dan mengantuk yang amat sangat, jika ia sudah tidak bisa lagi mengerti bacaan apa yang sedang dibaca dalam shalat.

Berdasarkan hadits dari Anas z dari Nabi `, beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian ngantuk dalam sholat, hendaknya ia tidur (terlebih dahulu) sampai ia bisa mengerti apa yang dibacanya”(H.R. al-Bukhari)

Riwayat lain menyebutkan dari Aisyah i bahwasanya Rasulullah ` bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk dalam keadaan ia shalat, hendaknya tidur sampai hilang perasaan kantuknya. Karena seorang jika shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak mengetahui, pada saat bermaksud mohon ampunan namun justru mencela dirinya sendiri “ (H.R. Muttafaq ‘alaih).[11]

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin v menjelaskan bahwa seseorang yang sangat mengantuk dalam shalat bisa jadi ia berdoa meminta surga namun keliru berucap meminta neraka, bermaksud meminta hidayah, justru keliru berucap meminta kesesatan, dan semisalnya.[12]

 

  1. Ketiduran

Orang yang ketiduran sehingga terlambat atau tidak shalat berjamaah di masjid adalah termasuk orang yang tidak tercela karena meninggalkan shalat berjamaah di masjid, berdasarkan keumuman hadits dari Aisyah i, Rasulullah `, bersabda, “Pena (kewajiban melaksanakan syariat) diangkat dari tiga (golongan manusia): orang yang tertidur sampai dia bangun (dari tidur), orang yang gila sampai akalnya normal, dan anak kecil sampai dia dewasa.” (H.R. Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Darimi, dan al-Hakim)[13]

Jika shalat berjamaah di mesjid telah selesai ketika dia terbangun dari tidur, maka dia boleh melaksanakan shalat di rumah atau di mesjid, berdasarkan hadits riwayat Abi Bakrah a, dia berkata,“(suatu hari) sungguh Rasulullah ` datang dari pinggiran kota Madinah (menuju ke mesjid) untuk melaksanakan shalat (secara berjamaah), dan Beliau `  mendapati orang-orang telah selesai melaksanakan sholat (secara berjamaah), maka Rasulullah `  pun kembali ke rumah, kemudian mengumpulkan keluarga Beliau `  dan shalat mengimami mereka.” (H.R. ath-Thabrani)[14]

 

  1. Mengkhawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam).[15]

Misalkan, berlindung dari kejaran penguasa yang Zhalim yang akan membunuhnya bukan secara haq, atau panik menyelamatkan diri karena adanya bencana alam. Hal ini didasarkan pada keumum firman Allah l, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri pada kebinasaan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 195).

 

Mutiara Hikmah

Dari Anas Bin Malik a, Rasulullah ` bersabda:

اَلدُّعَاءُ لاُ يُرَدُّ بَيْنَ الْأذَانِ وَالإقَامَةِ.

“Doa antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak.” (H.R.Tirmidzi no. 212 dan dishahihkan oleh albani dalam Irwaul Galil)

Marâji:

[1] https://alrasikh.uii.ac.id/2021/10/01/hukum-shalat-jamaah/

[2] Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, Jilid 1, hal. 408-410

[3] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i al-Muyassar. Bairut: Dâr al-Fikr, 2008. Cet.ke-1. (Terj.) Fiqih Imam Syafi’i. Jilid. 1, (Jakarta: Almahira, 2010) hal. 326-327

[4] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 546-549

[5] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fî Fiqhi al-Sunnah wa al-Kitâbi al-‘Azîzi, Cet.ke-6. (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2011), hal. 286-287

[6] Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 901 dan Muslim no. 699

[7] Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (V/207)

[8] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 674 dan Muslim, no. 559

[9] Bahasa jawa

[10] Muslim, no. 560, penjelasan lebih lanjut lihat Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, hal. 410. Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qathani, Shalâtu al-Mu’min., hal. 548. Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu al-Syâfi’i., hal. 326-327

[11] Al-Bukhari, no.212 dan Muslim, no. 786. Lihat pula Shahih al-Jami’ al-Shaghir, no. 810

[12] Syarh Riyadhi al-Shâlihin, Juz 1, hal. 166

[13] Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh al-Dzahabi dan al-Albani dalam Irwa ul Ghalil (2/5)

[14] Berkata Al Haitsami: Semua perawinya tsiqat (terpercaya), dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 155.

[15] Wahbah al-Zauhaili, al-Fiqhu ……..., hal. 326

HUKUM SHALAT JAMAAH

Oleh: Shahib al Rasikh

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh,

Shalat jama’ah lima waktu disyari’atkan dalam Islam bagi laki-laki dan perempuan yang mukallaf dan mampu, baik sedang tidak berpergian maupun sedang dalam perjalanan. Para ulama telah sepakat bahwa shalat di masjid merupakan ibadah yang sangat mulia. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang status hukum shalat jama’ah di masjid itu sendiri, apakah wajib ‘ain (wajib bagi masing-masing individu), atau wajib kifayah atau sunnah mu’akkad. Dalam hal  ini ada empat pendapat, sebagai berikut:

  1. Hukumnya Fardhu Kifayah.

Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimîn (terdahulu), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Zhahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimîn dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.”[1]

Dalil-Dalilnya, sebagai berikut, hadits pertama, “Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud).[2] Al-Saib berkata: ”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.” Hadits kedua, “Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[3]

  1. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.

Demikian ini pendapat Zhahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.

Diantara dalil-dalinya, ialah hadits pertama, “Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.”(HR Ibnu Majah).[4]  Hadits kedua, “Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[5]

  1. Hukumnya Sunnah Mu’akkad.

Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut:

Hadits pertama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ` bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR al-Bukhâri).[6] Hadits kedua, “Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah.” (HR Muslim ).[7]

  1. Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) dan Bukan Syarat.

Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut,

Dalil-dalil dari firman Allahﷻ, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (Q.S. an-Nisâ’ [4]:102).

Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah: Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah –dan hukum asal perintah adalah wajib[8] yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”-. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi –dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, perintahkan mereka shalat bersamamu”

Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[9] Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, sebagian lain berpendapat boleh bila ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.

Nabi ` memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib. Dalil-dalil dari sabda Rasulullah `, sebagai berikut, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR al-Bukhâri dan Muslim).[10]

Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan, “Adapun hadits bab (hadits di atas), maka zhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[11]

Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan, “Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.”[12] “Seorang buta mendatangi Nabi `  dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah ` sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau rmemberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi `, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!”. (H.R. Muslim)[13]

Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata, “Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [14]

Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.” (HR Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad)[15]

Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia)[16]  dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim al-Sadlan dalam kitabnya Shalat al-Jama’ah.[17] Demikian juga sejumlah ulama lainnya.[18]

 

Marâji:

[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari, jilid 2, hal. 26

[2] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.

[3] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab al-Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.

[4] Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab al-Masajid wal Jama’ah, Bab al-Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.

[5] Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.

[6] Al-Bukhari dalam shahihnya kitab al-Adzân, Bab Fadhlu shalatu al-Jama’ah no. 609.

[7] Muslim dalam shahihnya kitab al-Masâjid Wa Mawâdhi’ Shalat, bab Fadhlu Katsrati al-Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.

[8] Hal ini berdasarkan kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqih yaitu hukum asal perintah adalah wajib.

[9] Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, al- Shalah wa Hukmu Tarikiha, (Dar Al Imam Ahmad) hal. 110,  dalam majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta

[10] HR al-Bukhâri dan Muslim –Bukhari dalam Shahihnya kitab al-Adzan, bab Wujubu Shalati al-Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab al-Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalati al-Jama’ah wa Bayani al-Tasydid Fî al-Takhalluf ‘Anha (Keutamaan Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras bagi Orang yang Meninggalkannya), no. 1041.

[11] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fathu al-Bâri, (II/125).

[12] Ihkamul Ahkam, (I/124).

[13] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.

[14] Ibnu Qudamah, al-Mughni (III/6).

[15] Abu Dawud dalam Sunannya, kitab al-Shalat, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, al-Nasa’i dalam Sunannya, kitab al-Imamah, Bab al-Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.

[16] Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.

[17] Ibid. hal. 72.

[18] Sebagian sub bab ini (hukum shalat jama’ah) diambil dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999.M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.

 

Download Buletin klik disini

JADIKAN HARTAMU LEBIH BERMANFAAT

Oleh: Arviyan Wisnu Wijanarko*

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Dalam setiap kegiatan hendaknya selalu mengingat Allah ﷻ sebagai bentuk rasa syukur, tidak terkecuali dalam mencari harta kekayaan. Allah Ar-Rahmah tidak pernah melarang untuk mencari sebanyak-banyaknya harta di dunia ini, melainkan melarang pencarian harta yang berakibat lupa akan rahmat Allah ﷻ. Karena Allah ﷻ mengetahui bahwa anak cucu Adam alaihissalam tidak akan pernah puas dengan harta yang dimiliki walau sudah banyak, bahkan bisa sampai tujuh turunan tidak habis.
Kita juga sudah masyhur dengan kekayaan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang apabila di zaman ini beliau-beliau ini masih hidup maka bisa dibilang crazy rich, dan kekayaanya mampu memberikan manfaat dari zamannya dahulu hingga pada masa sekarang ini. Contohnya saja sahabat Utsman bin Affan radhiyallahuanhu yang membeli sumur dari Yahudi yang harganya apabila nilai tukarnya dialihkan ke zaman saat ini akan sangat besar sekali.
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu mari kita cari sebanyak-banyaknya harta demi kemakmuran masyarakat Islam. Sebab kita ketahui masyarakat Islam banyak yang mengalami kemiskinan pada masa sekarang ini.
Akan tetapi patut diingat bahwa jangan sampai kita dibutakan oleh harta tersebut ketika mampu mengumpulkannya sebanyak mungkin. Harta-harta tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah sekedar titipan belaka yang Allah ﷻ titipkan kepada kita untuk kemakmuran hamba-hambanya baik yang beriman maupun tidak. Allah ﷻ berfirman, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ﷻ lah pahala yang besar” (Q.S. al-Anfal [8]: 28).
Hendaknya harta itu sendiri juga sebagai bahan untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ senantiasa menambahkan harta yang lebih banyak ketika seseorang tersebut mau mengeluarkan harta yang dicintainya di jalan Allah ﷻ demi kemakmuran umat.
Segala harta yang telah dikumpulkan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Al-Malik. Jangan sampai harta yang dikumpulkan akan bersaksi terhadap buruknya pengelolaan harta kita, sehingga menjerumuskan kita kedalam jurang neraka, na’udzubillah.
Sebenarnya, apa itu harta? Bagaimana cara mendapatkannya? Bagaimana cara agar dapat berlipat ganda?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan harta sebagai “kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan dimiliki oleh seseorang” . Dalam Islam sendiri, harta diartikan sebagai al-maal atau condong, yang artinya kebanyakan manusia hatinya lebih cenderung ingin menguasai harta walaupun memiliki banyak sekali harta dibawah haknya. Menurut Hanafiyah, harta adalah sesuati yang dapat disimpan, sehingga apapun yang sifatnya tidak bisa disimpan bukan merupakan harta. Sedangkan menurut jumhur ulama, harta adalah sesuatu yang bisa disimpan dan memiliki nilai sehingga orang yang merusaknya dikenakan ganti rugi .
Harta menjadi salah satu tujuan yang dilindungi dalam Islam. Ada lima hal dari tujuan menegakan syariat Islam, yaitu menjaga agama, menjaga keturunan, menjaga diri, menjaga harta dan menjaga akal. Karena harta merupakan salah satu yang penting dalam Islam.

Mencari Harta Karena Allah ﷻ.
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah ﷻ. Dipersilahkan kalian mencari sebanyak-banyaknya harta kekayaan. Memperkaya diri agar terlihat bahwa umat Islam ini adalah umat yang kuat baik di dunia terutama di akhirat.
Dalam pencarian harta, akan ada banyak sekali rintangan dan cobaan, dan kadang hal tersebut akan berganti dengan kebahagiaan, sehingga akan menjadi siklus dalam perjalanan kita mencari harta. Namun akan lebih indah apabila dalam setiap perbuatan selalu dan setia mengingat Allah ﷻ.
Apabila selalu mengingat Allah ﷻ semua akan terasa baik-baik saja, tidak aka nada efek buruk karena Allah ﷻ tidak akan memberikan rintangan dan cobaan melebihi kemampuan hambanya. Allah ﷻ berfirman, “Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya…”(Q.S. al-Baqarah [2]:286)
Ingat bahwa rintangan dan cobaan adalah dari Allah ﷻ tidak lain tidak bukan adalah rahmat dan anugerah dari-Nya. Apabila hidup tidak ada ujian mungkin akan terasa nikmat, namun itu akan membuat kita lupa dan bahkan mungkin akan menemukan kehampaan hidup.
Beda orang beriman dengan orang yang lemah imannya ketika mendapati sebuah cobaan yang begitu berat adalah lupa kepada Allah ﷻ, sehingga orang yang kurang imannya lebih cenderung akan mendekati kemaksiatan, contohnya mabuk-mabukan, dan lainnya.

Gunakan Harta Dijalan Allah ﷻ.
Para pembaca yang semoga selalau dirahmati oleh Allah ﷻ. Bukankah manusia memang tidak akan puas dengan harta yang dimiliki olehnya? Maka Allah ﷻ juga akan terus memberikan harta bagi orang-orang yang berusaha memilikinya.
Ada satu jalan yang Allah ﷻ sangat ridha terhadap jalan tersebut dan juga jalan tersebut merupakan tools untuk lebih memperbanyak harta sekaligus menjadi lebih bahagia. Yaitu dengan cara mengeluarkan harta tersebut di jalan Allah ﷻ seperti sedekah, zakat, infaq, dan lainnya.
Allah ﷻ berfirman, “Katakanlah sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah ﷻ akan menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang baik.” (Q.S. Saba’ [34]:39). Dalam tafsir Al-Muyassar, Allah ﷻ akan menggantikannya di dunia dan juga di akhirat dan nikmat mana lagi selain mendapatkan nikmat yang ada di akhirat.
Oleh karena itu harusnya kita menghilangkan prasangka kepada Allah ﷻ apabila ketika ingin bersedekah maka harta kita akan berkurang. Karena Allah ﷻ tahu bahwa kita telah bersusah payah dalam mencari harta, apalagi ketika mencari harta tidak lupa mengingat Allah ﷻ. Sehingga sangat mustahil bagi Allah ﷻ tidak membalas apapun kebaikan yang telah dilakukan. Allah mengganti harta yang telah dikeluarkan tersebut bisa berupa harta yang sama plus tambahannya, bisa juga dalam bentuk kesehatan, bisa juga dalam bentuk pengampunan dosa, dan juga bisa berbentuk pahala dan nikmat akhirat yang tidak akan pernah habis. Wallâhu a’lam.

Mutiara Hikmah

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh , ia berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah ` bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (godaan yang merusak/menyesatkan mereka), dan fitnah yang ada pada umatku adalah harta”.
(H.R. Tirmidzi IV/569 no.2336, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah II/139 no.592)

 

Download Buletin klik disini

NIKMATNYA BISA MEMAHAMI BAHASA ARAB

Oleh: Galih Enggartyasto*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash shalâtu was salâmu ‘alârasûlillâh,

Bahasa Yang Istimewa

Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, ada berbagai hal yang Allah ﷻ istimewakan di dunia ini. Ada manusia yang Allah ﷻ istimewakan, ada hari yang Allah ﷻ istimewakan, ada bulan yang Allah ﷻ istimewakan, ada tempat yang Allah ﷻ istimewakan, dan ada bahasa yang Allah ﷻ istimewakan yaitu bahasa Arab. Allah ﷻ berfirman “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (Q.S. az-Zumar [39]: 27-28)

Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari bahasa yang telah Allah ﷻ istimewakan ini, karena dengan mempelajari dan memahami bahasa Arab, maka kita akan lebih mudah dalam memahami agama kita. Umar bin Khattab radhiyallau’anhu pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena dia bagian dari agama kalian”[1] . Ustadz Aceng Zakariya mengatakan “Kebutuhan setiap muslim untuk mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab itu sangat penting sekali, karena dengan mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab akan menjadi sebab untuk dapat memahami al-Qur’an dan sunnah.”[2]

 

Hukum Mempelajari Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah radhiyallau’anhu  menjelaskan, “Bahasa Arab itu termasuk bagian agama (Islam), dan mengetahuinya hukumnya wajib, karena sesungguhnya memahami al-Kitab dan As-Sunnah itu adalah perkara yang wajib, dan tidaklah dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab, dan suatu kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengan sarana tertentu, maka sarana tertentu tersebut hukumnya juga wajib.” Di antara (hukum mempelajari) bahasa Arab itu ada yang fardhu ‘ain, dan ada pula yang fardhu kifayah” (Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim: 1/527).[3]

As-Suyuthi radhiyallau’anhu menegaskan, “Tiada keraguan sedikit pun bahwa ilmu bahasa Arab termasuk bagian dari agama Islam, karena mempelajarinya termasuk fardhu kifayah, dan dengannya dapat diketahui makna lafal-lafal Al-Qur`an dan As-Sunnah” (Al-Muzhir, hal. 302).[4]

 

Kenapa harus Belajar Bahasa Arab?

Berikut merupakan lima alasan kenapa setiap muslim dan muslimah harus belajar bahasa Arab.

  1. Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an. Allah berfirman “Sesungguhnya Kami telah jadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (Q.S. Yusuf [12]: 2). Maka cukup dengan alasan ini agar setiap muslim mempelajari bahasa dari kitab sucinya, karena dengan mempelajari bahasa Arab akan mudah baginya untuk memahami apa yang dia baca dari kitab sucinya tersebut.[5]
  2. Membuat berbagai ibadah menjadi lebih khusyu’. Dengan memahami bahasa Arab, kita akan lebih khusyu’ dalam melakukan berbagai ibadah karena mengerti apa yang kita baca dalam ibadah tersebut. Seperti ketika melaksanakan shalat, apabila kita memahami bahasa Arab, tentu kita akan mengerti setiap bacaan dalam shalat yang kita baca. Kemudian ketika kita berdo’a bermunajat kepada Allah dan kita mengerti bahasa Arab, tentu kita akan lebih bisa menghayati apa yang kita minta kepada Allah ﷻ dalam setiap do’a kita.
  3. Memudahkan dalam menghafalkan al-Qur’an dan hadits. Ketika kita kesulitan dalam menghafal al-Qur’an dan hadits, salah satu hal yang membuatnya menjadi sulit adalah karena tidak memahami bahasa Arab. Dengan memahami bahasa Arab, menghafal al-Qur’an dan hadits menjadi jauh lebih mudah karena kita mengetahui harakat akhir dari setiap kata dari ayat al-Qur’an dan hadits yang ingin kita hafal, dan kita mengetahui asal-usul kata dari ayat al-Qur’an dan hadits yang kita hafal.
  4. Jalan pintas untuk memahami ilmu agama. Memahami bahasa Arab adalah jalan pintas dalam memahami ilmu agama, karena bahasa agama, bahasa kitab sucinya, dan bahasa hadits Nabi adalah bahasa Arab. Dengan memahami bahasa Arab, maka dengan mudah kita akan memahami al-Qur’an, hadits, dan kitab para ulama. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata “Pelajarilah bahasa arab, karena dia bagian dari agama kalian.[6]
  5. Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia. Seperti yang sudah disebutkan di awal, Allah ﷻ mengistimewakan bahasa Arab dibandingkan dengan bahasa lainnya, serta menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa di dalam al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi kita Muhammad . Ibnu Katsir berkata “Karena Al-Qur’an adalah kitab yang paling mulia, diturunkan dengan bahasa yang paling mulia, diajarkan pada Rasul yang paling mulia, disampaikan oleh malaikat yang paling mulia, diturunkan di tempat yang paling mulia di muka bumi, diturunkan pula di bulan yang mulia yaitu bulan Ramadhan. Dari berbagai sisi itu, kita bisa menilai bagaimanakah mulianya kitab suci Al-Qur’an.”[7]

Apa lagi alasan kita untuk tidak mempelajari bahasa Arab, bahasa yang Allah telah istimewakan di antara bahasa-bahasa lainnya? Karena ada orang yang mati-matian untuk mempelajari bahasa Inggris, bahkan sampai merogoh kocek yang dalam untuk mencapai tujuan duniawinya contohnya agar bisa kuliah di luar negeri. Ada juga orang yang berusaha keras untuk mempelajari bahasa Korea agar bisa mengikuti artis Korea favoritnya. Ada pula orang yang mempelajari bahasa Jepang agar bisa mengikuti serial anime favoritnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mempelajari bahasa Arab, bahasa agamanya sendiri, sungguh sangat disayangkan sekali.

Jadi, kapan mau mulai belajar bahasa Arab? Semoga dimudahkan untuk memulai belajar bahasa Arab. Wallâhu a’lam.

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah bersabda,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Aku tinggalkan bersama kalian dua perkara, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (H.R. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2/899)

 

Marâji’:

* Mahasiswa Teknik Mesin UII

[1] https://konsultasisyariah.com/31169-kehebatan-bahasa-arab-yang-mungkin-tidak-anda-sadari.html

[2] Aceng Zakariya. Al-Muyassar Fii ‘Ilmin Nahwi, Jilid 1. Garut: Penerbit Ibn Azka, 2018. Cet. Pertama. hal. 1

[3] https://muslim.or.id/30267-keistimewaan-bahasa-arab-1.html

[4] https://www.alukah.net/publications_competitions/0/36097/#ixzz4icjW5UcO

[5] https://rumaysho.com/12720-7-alasan-harus-belajar-bahasa-arab.html

[6] https://konsultasisyariah.com/31169-kehebatan-bahasa-arab-yang-mungkin-tidak-anda-sadari.html

[7] https://rumaysho.com/12720-7-alasan-harus-belajar-bahasa-arab.html

 

Download Buletin klik disini

CINTA YANG PALSU

Oleh: Nailis Sa’dah, S.Hub.Int*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat yang dirahmati Allah ﷻ. Kalian pasti pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini, “Apakah kalian mencintai Allah?” Tentu jawabnya bilang “iya”. Pada realitanya jawaban “iya” merupakan jawaban klasik yang seakan menjadi jawaban formalitas dan menjadi jawaban wajib bagi umat Islam. Jawaban tersebut hanya sekedar ucapan dari mulut saja, tapi hati dan perasaan belum sepenuhnya mencintai Allah. Banyak orang yang mengaku cinta Allah, tetapi tingkah laku jauh dari hal-hal yang dicintai Allah. Lantas, bagaimana mungkin mengaku cinta Allah, tapi secara terang-terangan masih berbuat maksiat? Bagaimana mungkin mengaku mencintai Allah, tapi perintah dan laranganya masih diabaikan?

 

Cinta Kepada Allah ﷻ

Cinta (mahabbah) adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang menyenangkan. Apabila merujuk pada cinta manusia kepada Tuhannya, maka Harun Nasution mendefinisikan cinta sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah dan membenci sikap yang melawan-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi dan mengkosongkan hati dari segala hal kecuali dari yang dikasihi, yaitu Allahﷻ. Pengertian di atas dapat dirangkum bahwa cinta adalah mengikuti perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangannya, dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah  dengan ketulusan hati.[1] Sebagaimana firman Allah ﷻ, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, Ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imrân [3]: 31)

Berdasarkan penjelasan dari tafsir Al-Misbah, ayat diatas mengandung makna “Katakanlah, wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang merasa mencintai Allah; jika kamu mencintai Allah, maka ikutlah aku, yakni laksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepadanya serta meningkatkan pengalaman kewajiban dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu, semua itu karena Alah Maha Pengampun terhadap siapapun yang mengikuti Rasul dan lagi Maha Penyayang.”[2]

Jika memang cinta kita sejati, niscaya kita akan taat kepada-Nya, sebab orang yang cinta terhadap yang dicintai akan selalu patuh. Dengan demikian ukuran cinta adalah ketaatan kepada Allah, yaitu ketaatan yang tidak boleh ditunda, tidak juga dipikirkan apakah perintah itu perlu dipenuhi atau tidak.[3]

 

Pengakuan Palsu

Imam Hatim al-Asham radhiyallahu’anhu berkata, “Barang siapa mengaku cinta empat hal tanpa empat hal, maka pengakuan (cinta)nya itu palsu. Yaitu, mengaku cinta Allah, tapi selalu melakukan larangan-larangannya; mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir dan miskin; mengaku cinta surga tapi tidak jujur; mengaku takut api neraka tapi tidak berhenti berbuat dosa.”[4]

            Pertama, banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tapi masih saja berbuat maksiat. Istilah familiarnya yaitu “Shalat terus, maksiat jalan terus”. Padahal shalat adalah ibadah yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah;

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. al-Ankabut [29]:45). Shalat dapat mencegah dari kemungkaran, jika shalat tersebut dilakukan degan sempurna. Banyak orang muslim yang hatiya tidak berubah dan masih melakukan perbuatan keji dan mungkar meskipun sudah melaksanakan shalat, dikarenakan shalat yang dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban bukan menjadi suatu kebutuhan.[5]

            Kedua, Mengaku cinta Rasul tapi membenci kaum fakir miskin. Nabi Muhammad diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia, bukan hanya fisiknya tapi juga akhlaknya. Sangat wajar jika banyak sahabat dan umatnya yang mengidolakan dan mencintai Rasulullah . Namun sayangnya, banyak orang yang mengaku cinta tanpa tahu bagaimana cara mencintai Rasul dengan tulus. Salah satu indikator ketulusan cinta kepada Rasulullah adalah seberapa besar kecintaan kepada kaum fakir miskin. Rasulullah memang terkenal senang bergaul dengan para fakir miskin. Sikap beliau ini diikuti oleh para sahabat, karena ada satu hadits Qudsi mengatakan, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku.” Sehingga dalam satu hadits Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah mencintai anak yatim dan orang-orang miskin.” (H.R Ibnu Hiban)[6]

            Ketiga, Mengaku cinta surga tapi tidak jujur. Setiap umat muslim pasti memiliki cita-cita masuk surga. Gambaran surga terdapat dalam surah Muhammad ayat 15: “Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka. Samakah mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih, sehingga ususnya terpotong-potong?” (Q.S. Muhammad [47]: 15)

Meskipun diiming-imingi dengan kenikamatan surga, masih banyak orang yang enggan meraihnya. Justru mereka tertipu dengan kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara, bahkan rela menghalalkan segala cara meskipun didapatkan dengan tidak jujur. Sebagaimana para koruptor yang tidak jujur dengan amanah yang diembannya.

            Keempat, Mengaku takut neraka, tapi masih berbuat dosa. Mendengar kata neraka yang terlintas adalah siksaan, tempat yang panas, dan mengerikan. Allah telah memberikan gambaran neraka terhadap orang Islam, yang telah tertuang dalam surah al-Hajj ayat 20-22: “Dengan (air mendidih) itu akan dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka”. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (kepada mereka dikatakan),”Rasakan azab yang membakar ini!” (Q.S. al-Hajj [22]: 20-22)

 

Cinta adalah Fitrah

Dengan demikian, cinta adalah fitrah yang diberikan oleh Allah ﷻ. Cinta itu sejatinya suci dan sejauh-jauhnya kita melupakan Allah ﷻ dengan melakukan maksiat, pasti terbesit perasaan rindu untuk kembali kepada Allah ﷻ. Namun jika hati kita tidak memiliki kerinduan untuk kembali kepada Allah ﷻ, sungguh kita telah sersesat sejauh-jauhnya. Perbuatan maksiat yang kita lakukan telah membelenggu dan mengotori mata hati, sehingga sulit melihat dan menerima hidayah Allah ﷻ. Andai hal tersebut memang benar-benar terjadi dan kita tidak merasa ingin kembali dan bertobat kepada Allah, sungguh hal ini sebuah kehinaan.[7]

Oleh karena itu, marilah saling berintrospeksi diri, memperbaiki iman, dan memperbaiki pemahaman terkait nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga dapat melahirkan kesadaran baru dalam beragama.[]

 

Mutiara Hikmah

 

حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ

“Kecintaan kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli” (Hadits mauquf dari Abu Ad Darda a)

* Alumnus Hubungungan Internasional FPSB UII

[1] Mustafa, Mujetaba. Konsep Mahabbah dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Maudhu’i). Jurnal al-Asas, Vol. IV No. 1, April 2020

[2] Sulhadi, Asep. Cinta dalam Al-Qur’an: Sebuah kajian Tafsir Tematik. Jurnal Samawat. Volume 04 Nomor 01 Tahun 2020

[3] Ibid.

[4] Jauhari, Muhammad Idris. Pengakuan Palsu. https://al-amien.ac.id/pengakuan-palsu/. 2012

[5] Tuasikal, Muhammad Abduh. Benarkah Shalat dapat Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?. https://rumaysho.com/3773-benarkah-shalat-dapat-mencegah-dari-perbuatan-keji-dan-mungkar.html. 2013.

[6] Jauhari, Muhammad Idris, Pengakuan Palsu.

[7] Shobur, Abdush & Haifa Zahra Anggawie. Sungguh, Allah Sangat Merindukan Kita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2014.

 

Download Buletin klik disini

HAKIKAT AKHLAK BAGI SEORANG MUSLIM

Oleh: Moh Mahfud*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh ,

Masih ingatkah dengan petuah dari guru-guru kita tentang akhlak atau budi pekerti, mulai dari yang sifatnya anjuran, perintah, bahkan aturan yang tegas pun diterapkan demi terwujudnya akhlak mulia ini seperti halnya dalam pendidikan yang sering disebut dengan pendidikan karakter. Sampai-sampai ada adagium “kesopanan lebih tinggi nilainya dari kecerdasan”. Sebenarnya apa hakikat dari akhlak itu sendiri dan bagaimana hal-ihwalnya. Pada tulisan ini akan mencoba untuk sedikit membuat oretan kecil tentang hal ini barangkali bisa menghilangkan dahaga kita terkait akhlak.

 

Pengertian Akhlak

Akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah budi pekerti; kelakuan. Adapun adab dalam KBBI diartikan sebagai kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; dan akhlak. Dalam Bahasa Arab istilah akhlak ini mempunyai 2 term, yakni: khuluq dengan bentuk plural akhlaq yang bermakna tabiat atau budi pekerti,[1] dan adab yang bermakna kesopanan.[2]

Dari pengertian secara leksikal tersebut dapat dipahami bahwa ternyata akhlak dan adab merupakan serapan dari bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah moral, character dan attitude.

Sedangkan secara istilah akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3] Karena pentingnya akhlak ini sampai-sampai Rasulullah bersabda, Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.(H.R Bukhari)[4]

 

Akhlak adalah Tabiat

Pada dasarnya akhlak itu merupakan tabiat dalam diri seseorang, sehingga seseorang adakalanya diciptakan dalam tabiat pemaaf atau pemarah misalnya, karena memang Allah telah membagi akhlak setiap hamba-Nya sebagaimana Allah telah membagi mereka rezekinya[5]. Walaupun demikian, manusia itu masih bisa mengusahakan untuk berakhlak dengan selain akhlak aslinya sehingga ia bisa menerapkan akhlak-akhlak yang baik dan mulia, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Muadz bin Jabal, “Perbaguslah akhlakmu bersama manusia”.[6]

Seseorang yang memiliki akhlak yang mulia (akhlakul karimah) maka yang muncul dalam dirinya adalah hal-hal yang membuat dia itu sejuk untuk dipandang, enak didengarkan perkataannya dan terasa nikmat berada di dekatnya.

Akhlak memang harus didahulukan dan diprioritaskan dari pada hal-hal yang lain karena dengan akhlak ini seseorang dalam segala hal akan tertuntun dengan baik, orang yang berilmu dengan akhlak akan membuat ilmunya menjadi penggeraknya untuk bisa terus mengamalkan ilmunya untuk dirinya sendiri maupun orang lain, orang yang bodoh dengan akhlaknya akan mendorongnya untuk terus semangat belajar dan tidak merasa gengsi atau sombong menerima ilmu dari siapapun walaupun dari orang yang lebih junior dari dirinya sendiri. Orang kaya yang berakhlak akan mendorongnya untuk senantiasa bersyukur dan bisa mendermakan hartanya ke jalan yang Allah ridhoi, orang yang miskin dengan akhlak akan menuntunnya untuk selalu bersabar dan mencegahnya dari meminta-minta atau melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya terhina, dan begitu seterusnya.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki akhlak, setinggi apapun ilmunya, sekaya apapun hartanya maka sungguh semua kelebihan yang ia miliki justru akan menjerumuskannya pada hal yang membuat dirinya terhina. Orang yang tidak memiliki akhlak yang mulia (berakhlak dengan akhlak yang tercela) sejatinya dalam dirinya terdapat najis ma’nawi (secara batin) yang membuat dia sulit atau bahkan tidak mungkin untuk bisa menggapai taqarrub Ilallah,[7]bahkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan secara tegas bahwa akhlak tercela itu adalah anjing ma’nawi yang dalam artian sama dengan anjing yang menyakiti siapapun yang ada di dekatnya, maka begitu pula akhlak tercela ini juga bisa menyakiti terhadap sang pemiliknya sendiri dan orang-orang yang ada di sekitanya.[8]

 

Cakupan Akhlak

Akhlak itu mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya sebatas sopan, bertutur kata halus, dan semacamnya, tapi juga tak kalah pentingnya ialah kebersihan hati dan jiwa yang dari hal inilah akan tercermin perilaku yang luhur. Oleh karena itu, perlu kiranya disinggung di sini, sejauh mana akhlak kita kepada Allah (hablun minallah) dan akhlak kepada sesama manusia (hablun minannas).

Hubungan kita kepada Allahﷻ merupakan pilar utama dalam kehidupan kita, bagaimana kita beribadah kepada Allah dengan berupaya semaksimal mungkin untuk mendekati sempurna, husnuzhzhan dan selalu menerima terhadap takdir-Nya. Oleh karena itu akhlak kepada Allah maksudnya ialah menghambakan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya untuk menggapai nilai-nilai qurbah (kedekatan) kepada-Nya.[9] Akhlak kita kaitannya dengan hubungan dengan sesama manusia diperinci lagi, yakni kepada Rasulullah, kepada orang tua dan guru, dan kepada manusia pada umumnya.

 

Akhlak Kepada Rasulullah

Rasulullah merupakan manusia bahkan makhluk yang paling mulia, bagaimana mungkin kita tidak berakhlak terhadap beliau, yang mana di dalam al-Qur’an kedudukan mentaati Allah hampir selalu digandengkan dengan kewajiban mentaati beliau. Dalam artian tidak diterima taatnya seorang hamba kepada Allah sehingga ia juga taat kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam ucapan kita harus berada di bawah ucapan beliau (Q.S. al-Hujurat [49]: 2), Ketika beliau sudah memutuskan sesuatu maka kita tidak diperkenankan mempunyai pilihan lain selain pilihan beliau (Q.S. al-Ahzab [33]: 36), bahkan kita dilarang untuk mempersunting (mantan) isteri-isteri beliau baik Ketika beliau masih hidup atau setelah beliau wafat (Q.S. al-Ahzab [33]: 53).

 

Akhlak Kepada Orang Tua

Orang tua merupakan sebab terbesar atas wujudnya kita di dunia ini, orang yang harus kita hormati dan muliakan setelah Allah dan Rasul-Nya. Kalau mau dirinci akhlak kita kepada orang tua dan guru maka tulisan yang ringkas ini tidak akan mampu untuk menghimpunnya, namun paling tidak di sini kami tegaskan bahwa perintah orang tua dan guru selama bukan dalam hal maksiat maka perintah tersebut wajib bagi kita untuk merealisasikannya. Begitu pula halnya dengan guru dan mertua kita, karena orang tua menjaga jasad/jasmani kita sementara guru menjaga ruh/rohani kita. Adapun mertua perlu kita hormati pula karena statusnya sama dengan kedua orang tua kita.

 

Akhlak Kepada Sesama

Manusia pada umumnya; selain yang telah disebutkan di atas, paling tidak kita bisa memahami sabda Nabi Muhammad, “Bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak memuliakan yang lebih tua” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi). Berarti kita harus memuliakan orang yang lebih tua usianya daripada kita dan menyayangi orang yang usianya lebih muda dari pada kita. Lalu, bagaimana dengan orang yang sebaya dengan kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mengutip pendapatnya al-Imam al-Ghazali. Menurut beliau ada tiga macam orang, yakni teman, kenalan, dan orang yang tidak kita kenal.[10] Kepada orang yang tidak kita kenal, maka tidak perlu terlalu masuk dalam pembicaraan mereka dan sebisa mungkin untuk tidak ada hajat terhadap mereka. Sedangkan pada kenalan dan teman kita maka tirulah kedua tangan kita yang mana satu tangan membantu tangan yang lain, saling berbagi, tidak ada saling mendahului (menyombongkan diri), dan tidak hidup sendiri-sendiri.

Dari hal tersebut di atas, maka sepantasnya bagi kita untuk menjaga akhlak kita dengan selalu berhiaskan dengan akhlak yang mulia dan membersihkan diri dari akhlak yang tercela. Sebagian ulama mengungkapkan bahwa akhlak (yang mulia) itu merupakan 2/3 dari agama. Karena orang yang tidak mempunyai akhlak atau adab maka dia tidak mempunyai syari’at, iman, dan tauhid. Para walinya Allah tidak mencapai derajat kewalian dikarenakan banyaknya amal ibadah, melainkan karena adab dan akhlak yang baik.[11] Bahkan, seorang budak dengan akhlak yang baik bisa mencapai derajatnya para raja.[12]

Semoga tulisan singkat ini bisa menggugah hati kita untuk senantiasa mengamalkan hadits Nabi Muhammad, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi)[13]

 

Mutiara Hikmah

Dari Aisyah i berkata, “Saya mendengar Rasulullahn bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (H.R. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165)

 

Maraji’:

 

* Dosen STAI al-Falah Pamekasan

[1]Ahmad Warson Munawwir. 1997. al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Pustaka Progressif: Surabaya. hal. 364

[2]Ibid. hal. 13

[3]Al-Ghazali. Ihya’ Ulumiddin Jilid 3. Darul Ihya’ al-Kutubil al-Arabi: Indonesia. Hal. 52.

[4] H.R. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 (Shahiihul Adabil Mufrad no. 207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

[5]Al-Bukhari. Al-Adabul Mufrad. Hadits nomer 275.

[6] Ibnu Hajar al-Haytami. Fathul Mubin Bi Sayh al-Arba’in. hal 360.

[7]Muhammad Amin Kurdi. 2006. Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub. Al-Haramain Jaya: Surabaya. hal. 429.

[8] Ibrahim. 2006. Syarah Ta’limul Muta’allim liz Zarniji. Al-Haramain Jaya: Surabaya. hal. 20.

[9]Ali Ahmad al-Jurjawi. Tt. Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuhu Juz 2. Al-Haramain: Jeddah. hal. 417

[10] al-Ghazali. Bidayatul Hidayah. Al-Hidayah: Surabaya. hal. 90.

[11]Abdul Wahhab as-Sya’roni. Tt. Syarah al-Minahus Saniyyah. Al-Alawiyah: Semarang. hal. 16.

[12] Muhammad Nawawi. Tt. Tanqihul Qaul Syarah Lubabul Hadits. Al-Alawiyah: Semarang. hal. 50.

[13] H.R. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.

 

Download Buletin klik disini

DAMPAK BURUK MAKSIAT

Oleh: Aisyah Qosim*

 

Bismillâhi walhamdulillâh wash-shalâtu was-salâmu ‘ala rasûlillâh,

Saudaraku pembaca yang dirahmati Allahﷻ, sebagai orang yang beriman, sudah seharusnya kita menjauhi segala bentuk kemaksiatan, apapun bentuk maksiatnya. Karena segala bentuk kemaksiatan baik kemaksiatan yang sifatnya tampak ataupun tersembunyi itu memiliki dampak buruk, tercela serta membahayakan hati dan badannya di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata.

Ibarat air jernih dalam bejana yang ditetesi tinta hitam, maka akan menjadikan air tersebut berubah warna. Setetes demi setetes warna gelap akan mendominasi. Semakin banyak tetesan tinta hitamnya, maka akan semakin pekat warna hitamnya. Namun jika bejana air tersebut dialiri dengan air yang jernih maka warna gelap akan mengalir (menghilang) sehingga kerjernihan air akan tampak segar. Begitulah perumpaan dengan amal shalih dan maksiat. Semakin banyak dosa atau maksiat yang dilakukan, maka akan semakin banyak kebaikan yang terlewatkan. Sebaliknya, semakin banyak amal shalih yang kita lakukan, maka akan semakin besar peluang kita untuk mendapatkan kebaikan dari Allahﷻ.

Ibnu Qayyim al Jauziyah t dalam ad-dâ’ wa ad-dawâ’ menyebutkan ada 51 dampak kemaksiatan bagi pelakunya, namun dalam tulisan ini akan disampaikan 10 dampak kemaksiatan[1]. Diantara dampaknya adalah:

  1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu

Ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia pun berkata, ‘Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat’[2].

  1. Maksiat menghalangi datangnya rezeki

Disebutkan dalam al-Musnad[3], dari Tsauban, dia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda,  “Sesungguhnya seorang itu benar-benar terhalangi dari rezeki karena dosa yang dilakukannya.”

Sebagaimana takwa kepada Allah akan mendatangkan rezeki, maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran. Tidak ada yang dapat mendatangkan rezeki kecuali dengan meninggalkan maksiat.

  1. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah

Kehampaan hati yang dirasakan oleh pelaku maksiat, antara dirinya dan Allah, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kelezatan apapun. Meskipun seluruh kelezatan dunia terkumpul padanya, tetap saja ia tidak akan mampu menutupi rasa hampa tersebut.

Ada yang mengadu kepada sebagian orang arif tentang kehampaan yang dirasakannya dalam jiwa, lalu pengaduan ini ditanggapi dengan ungkapan, “Bila engkau telah merasakan hampa karena dosa, maka tinggalkanlah ia, jika engkau mau dan raihlah kebahagiaan.” Tidak ada yang terasa lebih pahit bagi hati dari pada kehampaan yang disebabkan dosa di atas dosa.

  1. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik

Merasa terasing dari orang lain pasti dialami pelaku maksiat, terutama terhadap orang-orang baik di antara mereka. Jika keterasingan itu menguat, dia pun makin jauh dari mereka. Akibatnya, seorang itu tidak dapat memperoleh berkah dengan mengambil manfaat dari orang shalih tersebut.

Rasa terasingan ini akan bertambah kuat, bahkan semakin merajalela, sampai-sampai mempengaruhi hubungannya dengan isteri, anak, kerabat, bahkan terhadap jiwanya, sehingga nampak terasing meskipun terhadap dirinya sendiri. Sebagian salaf berkata, “Aku pernah bermaksiat kepada Allah, lalu kurasakan bahwa kemaksiatan itu mempengaruhi tingkah laku isteri dan hewan tungganganku.”

  1. Maksiat membuat semua urusan dipersulit

Tidaklah pelaku maksiat melakukan suatu urusan, melainkan dia akan menemui berbagai kesulitan dan jalan buntu dalam menyelesaikannya. Demikianlah faktanya, sekiranya orang itu bertakwa kepada Allah, niscaya urusannya dimudahkan oleh Allah. Begitu pula sebaliknya, siapa yang mengabaikan takwa niscaya urusannya akan dipersulit oleh Allah.

  1. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya

Pelaku maksiat merasakan kegelapan di dalam hatinya sebagaimana merasakan gelapnya malam jika telah larut. Kegelapan karena maksiat ini di dalam hatinya bagaikan gelapnya ruangan bagi matanya. Ketaatan adalah cahaya dan maksiat adalah kegelapan.

Apabila kegelapan menguat, maka kebingungan juga bertambah sehingga pelakukanya terjatuh dalam berbagai bid’ah dan perkara yang membinasakan, sedangkan ia tidak menyadarinya. Keadaannya seperti orang buta yang berjalan keluar sendirian pada malam yang gelap gulita.

  1. Maksiat melemahkan hati dan badannya

Dampak buruk maksiat dengan melemahnya hati merupakan perkara yang tampak dengan amat jelas, bahkan akan senantiasa memperlemahnya hingga berhasil memadamkan cahaya hati secara keseluruhan. Adapun pengaruh maksiat yang melemahkan badan dikarenakan kekuatan seorang mukmin adalah bersumber dari hati. Jika hatinya kuat, badannya juga kuat.

Adapun orang yang berdosa adalah orang yang paling lemah ketika dibutuhkan, meskipun memiliki tubuh yang kuat. Kekuatan tersebut justru tidak hadir pada saat dirinya benar-benar membutuhkan.

  1. Maksiat menghalangi ketaatan

Andaikata perbuatan dosa tidak ada hukumannya kecuali akan menghalangi ketaatan, yang seharusnya menempati posisi dosa tersebut, serta merintangi jalan menuju ketaatan kedua, ketaatan ketiga, keempat dan seterusnya, maka hukuman ini sudah cukup. Banyak sekali ketaatan yang terputus karena dosa. Padahal satu ketaatan, lebih baik dari pada dunia berserta isinya. Hal ini bagaikan seseorang yang memakan suatu hidangan yang menyebabkannya sakit berkepanjangan sehingga dia tidak bisa lagi menikmati berbagai hidangan yang lebih enak dari pada hidangan tadi. Wallâhul musta’ân.

  1. Kemaksiatan memperpendek umur dan menghilangkan keberkahan

Hakikat kehidupan adalah hidupnya hati. Seberapa lama hati itu hidup maka sepanjang itulah umur manusia. Ia tidak lain hanyalah waktu-waktu yang dipergunakan untuk mengingat Allah. Pada saat itulah takwa dan kebaikannya bertambah. Inilah hakikat umurnya, yang tiada lagi umur selainnya.

  1. Kemaksiatan menghasilkan kemaksiatan lain yang semisalnya

Kemaksiatan akan menanam benih kemaksiatan yang semisalnya. Sebagiannya melahirkan sebagian yang lain. Sampai-sampai pelakunya merasa sulit untuk meninggalkan dan keluar dari maksiat tersebut.

Sebagian salaf mengatakan, ‘Hukuman dari keburukan adalah munculnya keburukan setelahnya, sedangkan ganjaran dari kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya. Jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Amalkan aku juga.’ Apabila dia melakukannya, maka kebaikan yang lain lagi akan mengatakan hal yang serupa, demikianlah seterusnya. Alhasil, berlipat gandalah keuntungannya dan bertambahlah kebaikannya. Demikian pula dengan maksiat. Hal itu terus berlangsung hingga ketaatan atau kemaksiatan menjadi suatu sifat dan kebiasaan yang melekat dan tetap pada diri seseorang’. Wallâhu a’lam  bi ash-shawwâb.[]

 

 

Mutiara Hikmah

Rasulullah bersabda,

مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كثُرَ وَأَلْهَى

“Sesungguhnya yang sedikit dan mecukupi lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan.” (H.R. Ahmad V/197, Ibnu Hibbân VIII/121 dan al-Hâkim II/482)

Hadits ini dinilai shahîh oleh Imam Ibnu Hibbân, al-Hâkim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.Lihat ash-Shahîhah no.443

 

Marâji’

* IRT tinggal di Yogyakarta.

[1] Dampak maksiat yang lainnya, silahkan merujuk kepada Ibnu Qayyim al Jauziyah.1439 H.  Ad-Dâ wa ad-Dawâ. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. Cet.ke-9. hal. 127-238

[2] Dîwân asy-Syafi’i. hal. 54 disebutkan dalam Ad-Dâ wa ad-Dawâ, hal.127

[3] Al-Musnad (V/277). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.4022, disebutkan dalam Ad-Dâ wa ad-Dawâ, hal.103

 

 

Download Buletin klik disini

PINTU-PINTU REZEKI

Oleh: Qonitah Cahyaning Tyas*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Membahas rezeki memang berkaitan dengan sesuatu yang diberikan oleh Allahﷻ  kepada makhluk hidup. Seperti yang telah diketahui, sesuai dengan kenyataan hidup, maka rezeki yang Allah berikan kepada sang hamba itu sangat banyak macamnya, ada makanan, harta, pakaian atau beberapa hal-hal lainnya yang mungkin menjadi kebutuhan manusia. Tetapi, manusia juga perlu memahami apa arti atau makna rezeki menurut al-Qur’an dan dari mana saja pintu-pintu rezeki terbuka.

Rezeki ada yang bersifat umum dan bersifat khusus. Rezeki yang sifatnya umum (ar-rizq al-‘am) yaitu segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan, berupa harta, rumah, kendaraan,  kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir.

Rezeki yang sifatnya khusus (ar-rizq al-khash) yaitu segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah. Inilah rezeki yang Allah berikan khusus kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Inilah rezeki yang hakiki, yang menghantarkan seseorang akan mendapat kebahagiaan dunia akherat.[1]

Pemahaman yang baik terhadap rezeki juga dapat berdampak baik bagi individu seseorang maupun masyarakat, seperti terwujud dalam perilaku jujur dalam bertransaksi, mencari keberkahan dalam rezeki yang diberikan atau lainnya. Sedangkan pemahaman yang salah terhadap rezeki juga dapat berakibat buruk kepada masing-masing individu dan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan perilaku-perilaku seperti menghambur-hamburkan harta atau materialisme.[2]

 

Makna Rezeki dalam al-Qur’an

Ada banyak lafadz rezeki dalam al-Qur’an, dan memiliki makna yang berbeda, diantaranya:

  1. Bermakna pemberian, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 3, “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”
  2. Bermakna makanan, dalam surat al-Baqarah ayat 25, “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan disana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.
  3. Bermakna hujan yang salah satunya ada pada surat adz-Dzariyat ayat 22, Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu”
  4. Bermakna nafkah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 233, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…….”
  5. Bermakna Pahala, seperti pada surat Ali Imron ayat 169, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”
  6. Bermakna Surga, salah satunya ada pada surat Taaha ayat 131, “Dan janganlah engkau tunjukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”
  7. Bermakna Syukur pada surat al-Waqi’ah ayat 82, Dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru untuk mendustakan-Nya.”
  8. Bermakna buah-buahan yang ada di surat Ali Imran ayat 37, “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dia kehendaki tanpa perhitungan.”[3]

Maka, dapat disimpulkan bahwa makna rezeki menurut bahasa ada dua makna, yang pertama adalah pemberian dan kedua adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, baik yang ia makan ataupun yang ia pakai. Sedangkan dari segi istilah, rezeki adalah ungkapan dari sesuatu yang Allah berikan kepada makhluk. Berarti makna rezeki adalah pemberian dan juga sesuatu yang Allah sampaikan kepada makhluk-Nya dan yang bermanfaat bagi makhluk-Nya.[4]

 

Pintu-Pintu Rezeki Menurut al-Qur’an

Allah telah menetapkan empat hal pada diri manusia sejak ia masih berada dalam kandungan sang ibu, diantaranya adalah rezeki, ajal, amal dan jodoh. Tak ada yang tau ukuran rezeki yang telah Allah tetapkan untuk makhuk-Nya.[5] Memang, rezeki manusia dan makhluk lainnya itu hanya Allah yang tau, maka sebaiknya seorang manusia juga yakin akan ketetapan yang sudah Allah tentukan sebelumnya, tetapi manusia juga dapat berusaha dan tetap bersandar kepada Allah agar Allah dapat membuka pintu-pintu rezeki, dan diantara sebab pintu rezeki terbuka menurut Al-Qur’an adalah berikut ini:

  1. Rezeki yang dijamin Allah

Allah Pencipta seluruh yang ada di alam ini, dan tentu Allah menjamin rezeki makhluk-Nya, seperti firman Allah dalam Surat Hud ayat 6, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Q.S. Hud [11]: 6)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ayat tersebut menegaskan sesnungguhnya tidak ada makhluk yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya. Jaminan rezeki dari Allah untuk seluruh makhluk memiliki arti yang luas, seperti tumbuhan yang juga mampu bertahan hidup atau makhluk lainnya yang bisa menghidupi dan lain-lain.[6]

  1. Rezeki karena usaha

Dalam firman Allah surat al-Mulk ayat 15, “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya, dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Ayat diatas menjelaskan bahwa alam ini diciptakan Allah untuk memudahkan makhluk dalam memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu, Allah memerintahkan manusia untuk menjelajahi alam ini untuk mencari rezeki yang halal.[7]

  1. Rezeki karena bersyukur

Ada kata-kata usaha tidak akan mengkhianati hasil, dan memang jika kita berusaha maka kita akan mendapatkan hasilnya. Dengan begitulah, maka sudah sepatutnya kita sebagai makhluk Allah bersyukur kepada-Nya. Karena janji Allah kepada orang yang bersyukur akan ditambah nikmat kepada mereka,[8] seperti dalam Surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatla)h, ketika Tuhanmu memaklumkan; “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Kyu), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim [14]:7)

Itulah beberapa sebab-sebab pintu-pintu rezeki dapat terbuka dari Allah, menurut Al-Qur’an. Sebenarnya masih ada beberapa cara untuk membuka pintu rezeki dari Allah, seperti pintu rezeki yang terbuka karena beristighfar, pintu rezeki yang terbuka karena bersedekah dan pintu rezeki yang terbuka dengan taqwa seseorang. Yang terpenting dari itu semua adalah percaya bahwa rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-Nya itulah rezeki yang terbaik.[]

 

Mutiara Hikmah

Allah lberfirman,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki“ (Q.S. Hûd [11]:6)

 

Marâji’:

* Penyusun adalah mahaasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII

[1] Lebih lanjut https://muslim.or.id/7401-memahami-dua-jenis-rezeki.html

[2] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki dalam Perspektif Al-Qur’an dalam Jurnal Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadits, Vol. 4 No.2, 2020, hal. 467-480

[3] Achmad Kurniawan Pasmadi. Konsep Rezeki dalam Al-Qur’an dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. 6 No. 2 Agustus 2015, hal. 132-146

[4] Ibid

[5] Basri Mahmud., Hamzah. Membuka Pintu Rezeki.,

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

 

Download Buletin klik disini

 

 

TANDA-TANDA KEMUNAFIKAN DALAM SHALAT

Oleh: Camelia Rizka Maulida Syukur*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,

Sahabat pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allahﷻ. Shalat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Oleh sebab itu, Islam mengaturnya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Fadhail, bab 193 tentang perintah menjaga shalat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (H.R. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan[1])[2]

Allahﷻ menurunkan perintah shalat bersamaan dengan pahala bagi yang menunaikan dan ancaman bagi yang meninggalkannya, seiring dengan itu, muncullah berbagai motif manusia dalam menjalankan ibadah shalat. Tidak sedikit orang yang melaksanakan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, namun banyak juga orang yang melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk penghambaan seorang hamba pada Tuhannya.

Orang-orang yang menjadikan shalat hanya sebagai penggugur kewajiban, cenderung akan tertanam sifat munafik dalam hatinya. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An-Nisa: 142)

Orang-orang munafik itu hendak menjalankan shalat maka mereka akan merasa berat dan berlambat-lambat, tidak ada semangat dan rasa ingin yang mendorong mereka untuk menjalankannya; sebab mereka tidak mengharapkan pahala di akhirat dan tidak takut terhadap siksaan Allah, karena mereka tidak memiliki keimanan. Mereka hanya takut kepada manusia dan berharap agar dilihat oleh orang-orang beriman sehingga dapat dianggap sebagai golongan mereka. Mereka hanya menjalankan shalat sesekali saja; apabila tidak ada yang melihat mereka, maka mereka tidak menjalankan shalat; namun jika mereka bersama dengan orang banyak maka mereka akan menjalankan shalat hanya untuk riya’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu berkata bahwa terdapat enam hal dalam shalat, yang termasuk tanda kemunafikan, sebagai berikut:[3]

 

Malas Ketika Bangkit untuk Menegakkannya

Marilah mulai menelusuri sebab rasa malas itu? Apa karena pemahaman agama yang dangkal, atau memang atas dasar malas, kesibukan bekerja, kesibukan mengurus rumah, dan lain-lain. Setiap sebab diberikan obatnya berupa antitesanya. Misalnya, jika merasa kurang ilmu, maka mengajilah perkara shalat. Jika terlalu sibuk maka manajemen pekerjaan diperbaiki dan seterusnya. Biasakanlah dari sekarang ketika mendengar adzan dikumandangkan, maka segeralah melaksanakan shalat. Hal tersebut akan mengurangi rasa malas. Serta, berdoalah kepada Allahﷻ dengan doa Nabi Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku”. (Q.S. Ibrahim [14]: 40-41)

 

Riya’ Ketika Mengerjakannya

Riya’ sendiri terbagi dalam tiga macam. Pertama, riya’ perkataan di mana orang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir maupun nasihat-nasihat, hanya untuk mendapatkan pujian dari orang banyak. Kedua, riya’ perbuatan, di mana seseorang menunjukkan kekhusyukan shalatnya atau memberikan sedekah agar dinilai sebagai orang dermawan. Ketiga, riya’ al-khafiy yang berarti riya’ yang tidak tampak atau tersembunyi. Bahkan, dalam salah satu hadits qudsi, Rasulullah bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi).

 

Menunda-nundanya

‘Umar bin Al Khathab radhiyallahu “anhu berkata, “Menghimpun antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.” Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’[4], dari Ibnu ‘Abbas, Nabi bersabda, “Barangsiapa menhimpun dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.” (H.R Tirmidzi)[5]

Gerakannya Terlalu Cepat

Di antara kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang shalat: tidak tuma’ninah ketika shalat. Nabi menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (H.R Ahmad no. 11532, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 986). Maka Nabi menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta. Thuma’ninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tuma’ninah.[6]

 

Sedikit Menyebut atau Mengingat Allah di Dalamnya

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, Itulah shalatnya orang munafik.. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit. (H.R. Muslim no.622).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa hanya meluangkan untuk berdzikir sesaat dan mepet dengan waktu berakhirnya ibadah, serta tidak mengingat Allah dalam shalatnya melainkan sedikit. Shalat mereka pun dikerjakan dalam keadaan malas, dan mereka berat melaksanakannya.

 

Tidak Mengerjakannya Secara Berjamaah

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallau ‘anhu, Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (H.R. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793)[7]. Ibnu Abbas radhiyallau ‘anhu, mengatakan, “Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (H.R. Muslim no. 654).[8]

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (H.R. Bukhari no. 657).

 

Marâji:

*Penyusun adalah alumnus Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia

[1] HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256. Dikutip dari https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-dihisab.html

[3] Nurhadi, “Konsep thuma’ninah Dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Imam Abu Hanifah (Kajian Teori Rukun dan Wajib Shalat)”, UANSA: Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 13, No. 1, 2020. dan Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, jilid 1 hlm. 173

[4]  Marfu’ artinya sampai pada Nabi n

[5] Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan. Imam Tirmidzi mengatakan, “Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.” https://rumaysho.com/5965-sengaja-menunda-shalat-hingga-keluar-waktu.html

[6] Sumber https://muslim.or.id/13845-tumaninah-dalam-shalat-1.html

[7] Dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551.

[8] Sumber: https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

 

Download Buletin klik disini

MEMAKNAI TAHUN BARU ISLAM, 1 MUHARRAM 1443 HIJRIYAH

Oleh: Nur Laelatul Qodariyah*

 

Bismillâhi walhamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allahﷻ, salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allahﷻ adalah bulan Muharram atau biasa disebut bulan haram (al-ashurul harum), Allahﷻ berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. At-Taubah [9]: 36).

Dari ayat diatas menerangkan bahwa, di dalam dua belas bulan, Allahﷻ telah memberikan empat bulan yang istimewa agar kita senantiasa lebih meningkatkan kualitas ibadah kita dan meninggalkan kemaksiatan. Seperti halnya berbuat kebaikan kepada sesama manusia, dzikir, sedekah dan lain-lain.

 

Hijrahnya Rasulullah

Peristiwa Hijrahnya Rasulullah ke Madinah merupakan salah satu bentuk transformasi dan perlindungan untuk kaum muslimin, terhadap  penindasan dan kekerasan yang dilakukan kaum musrikin. Hijrahnya Rasulullah ke Madinah itu bukan karena takut akan terbunuh atau meninggal oleh kaum musrikin, tapi karena komitmen untuk menjaga umat Islam di mekah maka dari itu Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah.

Allahﷻ berfirman,”Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat ) bertanya, “bagaimana kamu ini?” mereka menjawab, “kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)” mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” maka orang-orang itu tempatnya di neraka jahanam, dan (jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali”  (Q.S. an-Nisâ’ [4] : 97).[1]

 

Musahabah diri

Makna tahun baru Islam, merupakan momen pergantian kalender Islam dalam hijriyah agar kita bisa merenungi kesalahan-kesalahan yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. dan juga harapan atau resolusi agar kedepanya bisa lebih baik dari tahun berikutnya. Allahﷻ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Hasyr [59]: 18).

Dengan selalu merenungi dan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di tahun sebelumnya, akan membuat hati dan pikiran mudah terkontrol sehingga akan lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam bertindak dikemudian hari.

 

Memperbanyak Amalan Ibadah

Bulan Muharram adalah bulan yang sangat dimuliakan,. maka dengan itu dengan memperbanyak amalan ibadah seperti puasa, sedekah merupakan salah satu bentuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ. Seperti hadis berikut, Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu ia berkata,  Rasulullah bersabda, ““Seutama-utama puasa setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (H.R. Muslim, no. 1982).”.”  (H.R. Muslim, no. 1982).[2]

Manusia memang tidak luput dengan kesalahan , semua yang telah ditetapkan oleh Allahﷻ tidak bisa dirubah kecuali dengan kehendak-Nya .maka dengan itu kita sebagai manusia  selalu diingatkan  untuk selalu berikhtiar dan berdoa agar bisa mencapai Ridho-Nya.

 

Motivasi diri

Peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah merupakan suatu hikmah yang perlu diambil dan dijadikan motivasi, bahwa Rasulullah bersama dengan para sahabatnya dalam menegakan Islam itu penuh dengan perjuangan dan banyak sekali pahlawan Islam yang telah mati syahid, demi untuk membela dan menegakan Islam. Untuk itu kita sebagai umat muslim perlu menghargai dan meneladani setiap perjuanganya dengan cara; semangat belajar, semangat ibadah, mematuhi peraturan Allahﷻ dan menjauhi larangan-Nya.

Allah lberfirman, “Dan dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”(Q.S. At-Talaq [65]: 3).

Dari ayat diatas menjelaskan bahwa semua orang mempunyai rezekinya masing-masing. untuk itu kita sebagai manusia harus terus berjuang dan memotivasi diri sendiri. agar nantinya apa yang menjadi keinginan dan cita-cita bisa terwujud dengan arah dan jalan yang benar sesuai dengan ketentuan dalam islam.

 

Momen Perubahan Menuju Kebaikan

Setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya menginginkan perubahan yang lebih baik, seperti halnya ditahun baru Islam ini. Perlu lembaran baru untuk memulai sebuah transformasi agar ada perubahan menuju kebaikan. Allahﷻ berfirman, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”.” (Q.S. al-Baqarah [2] : (217).

 

Pengingat Diri Akan Akhlak Mulia

Dalam tahun baru Islam ini  sebagai pengingat kita akan akhlak mulia, karena untuk menjadi pribadi yang baik tidak cukup untuk mempelajari ilmu pengetahuan saja. Banyak orang yang berilmu tapi tidak berakhlak. Allahﷻ berfirman,“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusushan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An-Nahl [16]: (90).

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa, terdapat beberapa butir Akhlak yang Allah ungkap yaitu: ikhlas, sabar, bersyukur, pemaaf, mengerjakan yang makruf, jangan menggunjingkan satu sama lain (berghibah), bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha penyayang, Ta’aruf (saling kenal- mengenal) dan silaturrahim, dan tawakkal.

Dari pernyataan di atas tidak mengungkapkan semua penjelasan dari al-Qur’an. Salah satu Akhlak mulia adalah Ikhlas dan sabar. Menurut al-Imam al-Mar’asyi, ikhlas merupakan kesamaan amalan seorang hamba yang dilakukannya antara lahir maupun batin. Sedangkan menurut Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengatakan bahwa hakikat keikhlasan adalah berlepas diri dari sesuatu selain Allahﷻ, yaitu bersihnya perkataan, perbuatan, atau meninggalkan sesuatu hal dengan tujuan mencari ridha Allahﷻ dan pahala dari-Nya. ikhlas juga dapat dimaksudkan jika kita bisa melupakan pandangan mahluk hingga kita tidak melihat dan memperhatikan lagi apa dan siapa kecuali hanya Allah sang pencipta.

Selanjutnya sabar. Sabar merupakan salah satu bentuk akhlak mulia, para ulama menetapkan sabar dalam tiga dimensi, yaitu:

  • Sabar terhadap semua perintah Allahﷻ, agar dipatuhi dan dijalankan peintah Allahﷻ
  • Sabar terhadap semua yang dilarang Allahﷻ, agar dijauhi, ketika Allahﷻ melarang sesuatu, pasti karena ada ketidak-baikan pada sesuatu yang dilarang tersebut. Hamba yang dilarang, justru karena Allahﷻ tidak ingin hamba tersbut terjatuh pada lembah kehinaan dan kenistaan. Oleh karena itu, Allah menyiapkan adzab sebagai hukuman (punishment) bagi hamba yang selalu ingkar hingga akhir hayatnya.
  • Sabar terrhadap semua ujian Allahﷻ, baik berat maupun ringan. Ada yang mengira bahwa ujian itu hanya kalau terasa sulit, jangan salah, baik terasa senang maupun susah keduanya adalah ujian, terhadap nikmat kita diuji Allah, apakah kita termasuk yang akan besyukur, ataukah malah kufur.[3]

 

 

* Penyusun adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

[1] Muidigital, “Tahun baru Islam 1443 Hijriyah, Reaktualisasi Makna Hijrah”, dikutip dari https://mui.or.id/opini/31002/tahun-baru-islam-1443-hijriyah-reaktualisasi-makna-hijrah/ diakses pada hari Minggu 15 Agustus 2021

[2] H.R. Muslim no.1982. Shahih menurut Ijma’ Ulama

[3] Hadi yasin, “Ayat-Ayat Akhlak Dalam Al-Quran: membangun keadaban menuju kemuliaan peradaban”, dikutip dari https://core.ac.uk/download/286345557.pdf diakses pada hari Senin 16 Agustus 2021

 

Download Buletin klik disini