MENGGAPAI KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI
MENGGAPAI KEBAHAGIAAN YANG HAKIKI
Oleh: Hana Nabila, S.E.
Bismillâhi wal hamdulillâhi wash-shalâtu wassalâmu ‘alâ rasûlillâh,
Ketaatan di Bulan Haram
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah ﷻ, Rajab adalah bulan yang dimuliakan Allah. Allah memberitahukan didalam firman-Nya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka jangan kamu menganiaya diri kamu dalam bulan empat itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Q.S. at-Taubah [9]: 36).
Bulan haram adalah bulan-bulan tertentu yang dijelaskan Rasulullah n sebagaimana disampaikan dari Abu Bakrah Nafi’ bin Harits dalam hadits shahih, “Sesungguhnya zaman ini telah berjalan, sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang berurutan, yaitu Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Muharam. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban.” (H.R. Bukhari: 4406, Muslim: 1679 dan Abu Daud:1947).
Melakukan ketaatan dan memperbarui taubat (bermuhasabah) kepada Allah di bulan haram sangat dianjurkan. Muhasabah disini diartikan dengan menilai diri sendiri, mengevaluasi segala tindakan yang sudah dilakukan tentunya mengacu pada al-Qur’an dan hadits sebagai dasar penilaian bukan berdasarkan penilaian yang dikehendaki sendiri. Bermuhasabah menjadi salah satu cara untuk memperbaiki, melatih dan menyucikan hati kita.
Bahkan Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bermuhasabah, dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 18 yang menjelaskan agar manusia menghisab dirinya sendiri sebelum dihisab oleh Allah ﷻ dan perbuatan amal shalih yang dilakukan selama ini semata-mata akan dijadikan saksi saat menghadap Allah, maka bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah mengetahui segala perkara yang diperbuat manusia, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya baik itu perkara kecil maupun besar[1].
Kebahagiaan Palsu
Di zaman modern ini banyak sekali fenomena yang memperlihatkan begitu diperbudaknya manusia dengan urusan dunia, mencari kekayaan dan popularitas sampai mengorbankan kebahagiaan fisik dan jiwanya sendiri, bahkan menggadaikan ketakwaannya kepada Allah ﷻ, na’ûdzubillâh. Kehidupan modern membuat manusia lupa dan lalai akan perhitungan ke atas dirinya, mereka seolah-olah tertipu oleh keindahan dunia. Sedangkan setiap apa yang dilakukan manusia akan diperhitungkan oleh Allah ﷻ. Dengan begitu manusia dihadapkan pada persoalan, di antaranya yaitu tentang pencarian makna kebahagiaan.
Paradigma kehidupan yang begitu hedonis menjadikan tatanan kehidupan manusia zaman modern dihadapkan dengan idealitas yang samar dan kosong, hanya karena menginginkan kesenangan duniawi semata. Sehingga banyak manusia seperti berada dalam keseimbangan yang ‘palsu’. Kepalsuan ini yang menipu manusia dan memasukkannya ke dalam jurang keringnya nilai spiritual dan tak mampu mencapai tahapan kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan yang mereka kejar lebih pada kebahagiaan palsu.
Lalu apakah kita tidak boleh melakukan kesibukan? Tentu saja boleh. Manusia yang menyibukkan dunia dengan sesuatu yang bermanfaat untuk membantu ketaatan kepada Allah, mereka adalah orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun akhirat. Beruntung di dunia karena menyibukkan diri dalam amal kebaikan. Begitupun di akhirat karena telah membekali diri dengan berbagai amal shalih. Kebahagiaan juga akan dapat diraih apabila dekat dengan pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah ﷻ.
Macam Kebahagiaan
Imam al-Ghazali, menyebut bahwa kebahagiaan terbagi dua, yaitu kebahagiaan majazi dan kebahagia hakiki. Kebahagiaan majazi merupakan kebahagiaan duniawi yang hanya bersifat fana, sedangkan kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan rohani yang mengantarkan kita pada kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan duniawi bisa didapatkan oleh semua orang baik yang beriman maupun tidak beriman, namun kebahagiaan rohani hanya didapatkan oleh orang yang beriman sedang berilmu dan berakal. Kebahagiaan hakiki (rohani) dapat diraih karena adanya koneksi dengan Allah dengan keimanan dan ketaqwaan.
Di dalam kitab ‘Kimiya al-Sa’adah’ karangan Imam al-Ghazali terdapat cara untuk mengenal sang pencipta dan membangkitkan keimanan serta ketaqwaan sebagai langkah untuk bermuhasabah di bulan Rajab mubarak ini, diantaranya yaitu[2] :
- Mengenal Diri (ma’rifah al-Nafs).
Salah satu cara seseorang dapat menemukan kebahagiaannya adalah dengan memahami siapa dirinya. Memahami diri sendiri dengan sebenar-benarnya sampai pada titik kesadaran dan pengetahuan tertinggi tentang bagaimana dirinya menjadikan ia dengan mudah mengenal Tuhannya.
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, manusia di dalam dirinya memiliki tiga sifat yaitu hewan, setan dan malaikat. Dengan penjelasan apabila dalam kehidupan kita hanya melakukan aktivitas seperti makan tidur dan kawin saja maka sifat kehewanan tersebut lebih dominan, apabila dalam kehidupan manusia lebih mengarah pada sifat suka menghasut, menjelek-jelekkan orang, berbuat kejahatan maka sifat setan lebih dominan, dan apabila dalam kehidupan manusia menjalani kehidupannya dengan taat, berbuat kebaikan maka sifat malaikat lebih dominan.
- Mengenal Allah (Ma’rifatullah)
Menurut al-Husayn bin Mansur al-allaj (w. 921 m) ma’rifat yaitu apabila manusia sudah mencapai tingkatan ma’rifat, maka pikiran-pikiran yang dihadirkan menjadi sarana ilham sehingga memunculkan kearifan dan juga kebijaksanaan yang tinggi, serta dikarunia hikmah yang luas yang menjadikan manusia tersebut memiliki ketentraman hati[3]. Konsep pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) didapatkan melalui perenungan dan pendalaman pikiran terhadap wahyu Allah dan akal untuk memahami alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga pengenalan tersebut dapat mengantarkan pada kesadaran pikiran dan iman terhadap Allah sehingga menimbulkan rasa cinta ibadah kepada-Nya seperti shalat, mengamalkan amalan-amalan masyru’, dan menghadirkan rasa takut kepada Allah.
- Spiritualitas dan Dzikir,
Menurut al-Gḥazālī, spiritualitas yaitu bergabungnya fungsi secara tepat al-rūḥ, al-qalb, al-nafs, al-‘aql dalam diri manusia. Spiritualitas merupakan kekuatan dari mengenal diri dan mengenal Allah sehingga seseorang berkemampuan mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritual, memiliki hasrat untuk hidup bermakna yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup dan mendambakan hidup bermakna.
Sedangkan dzikir ditinjau dari segi bahasa adalah menginat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah[4]. Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang berdzikir adalah orang yang selalu ingat bahwa Allah mengawasi dan melihat seluruh tindakan dan pikirannya baik yang tersembunyi maupun terang-terangan. Sedangkan manusia hanya mampu melihat yang terindra. Karenanya, manusia yang mempercayai pengawasan Allah atas dirinya pasti dapat melatih jasad dan batinnya sekaligus sehingga muncul kebahagian rohani.
Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi pembaca untuk semangat dalam bermuhasabah sehingga mengetahui batasan-batasan halal dan haram yang telah Allah tetapkan dalam agama yang sempurna ini yaitu agama Islam.[]
Mutiara Hikmah
Allah berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28).
* Alumnus Ekonomi Islam FIAI UII
[1]Arif Rahman Hakim dkk. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10. Surakarta: Insan Kamil. 2015. hal. 77
[2]Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Kimiya al-Saadah al-Risalah al-Laduniyyah.
[3]Hasbiyallah, and Ihsan, M. N. Konsep Pengenalan Allah (Ma’Rifatullah) Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam’.Jurnal Perspektif. 2019. 3(1), p. 1. doi: 10.15575/jp.v3i1.37.
[4]Ismail Nawawi. Risalah Pembersih Jiwa: Terapi Prilau Lahir & Batin dalam Perspektif tasawuf. Surabaya: Karya Agung surabaya.2008.hal.244