HAKIKAT KEMERDEKAAN
HAKIKAT KEMERDEKAAN
Oleh: Imaduddin Fadhlurrahman
*Santri Rumah Tahfidz Taruna Juara Yogyakarta.
Bismillâhi Walhamdulillâhi wash-shalâtu was-salâmu ‘alâ rasûlillâh,
Bulan Agustus selalu lekat dengan hari kemerdekaan. Hal ini karena pada setiap tanggal 17 Agustus selalu diperingati sebagai peristiwa paling bersejerah bangsa ini, yakni hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagai peringatan karena telah merdeka dari belenggu penjajah. Semarak dan animo penyambutan hari kemerdekaan ditandai dengan bendera merah putih yang berkibar di sepanjang jalan dan spanduk dan umbul-umbul yang turut memenuhi ruas-ruas jalan. Ini adalah salah satu bukti masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan cintanya kepada bangsa sekaligus menghormati jasa para pahlawan.
Islam sendiri mendorong umatnya untuk mencintai tanah air sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri dalam perakara kebaikan. Mencintai tanah air seperti halnya Rasulullah n mencintai Makkah dan Madinah karena kedua tempat tersebut adalah tanah airnya. Bentuk kecintaan tersebut ditunjukkan Rasulullah n dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi, “Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah. Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kencintaan beliau terhadap tanah airnya.” (H.R. Bukhari)[1].
Hakekat Kemerdekaan Dalam Islam
Islam sesungguhnya memandang kemerdekaan sebagai sebuah bentuk kebebasan dari ketundukan kepada makhluk untuk bertindak sesuai dengan ajaran al-Quran dan Sunnah diatas pemahaman salafush shalih. Ini merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan kehendak bebas oleh Allah untuk menjadi khalifah, pemimpin di muka bumi.[2]
Konsep Islam terhadap kemerdekaan ialah perubahaan dari kegelapan menjadi terang-benderang, serta dari sesuatu yang buruk menuju ke arah yang lebih baik. Islam menjadikan konsep kemerdekaan menyentuh segala aspek kehidupan manusia, mencakup pula yang lahiriyah dan batiniyah. Artinya kemerdekaan akan diraih ketika seorang muslim mampu berada dalam fitrahnya, menjadi hamba Allah, khalifah di muka bumi.[3]
Beberapa contoh konsep kemerdekaan yang telah termaktub dalam al-Qur’an. Pertama, dapat dilihat dari kisah Nabi Ibrahim ketika membebaskan dirinya dari stereotip masyarakat yang keliru dalam kehidupan manusia. Pada surah al-Anam ayat 76-79 dikisahkan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan sebagai upaya membebaskan hidupnya dari orientasi kehidupan yang keliru saat itu, namun tumbuh subur dalam lingkungan Nabi Ibrahim tinggal di mana masyarakat pada saat itu menyembah berhala sebagai tuhan. Bagi Nabi Ibrahim hal tersebut tidak sejalan dengan tali keimanannya karena telah melakukan bentuk pengahambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat sebagai manusia.
Contoh kedua terkait memaknai kemerdekaan dapat pula dipetik pelajarannya dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejiaan zaman pemerintaah Firaun membuatnya tidak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Isarel dan meninstakan kaum perempuan. Kezaliman inilah yang mendorong Nabi Musa untuk memimpin membebaskan bangsanya dari penindasan dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat sebagaimana tercantum dalam surah al-A’râf ayat 127, al-Baqarah ayat 59, dan Ibrahim ayat 6.[4]
Kisah Nabi Muhammad n adalah contoh berikutnya yang dapat dijadikan sumber yang tidak pernah habis untuk memaknai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia baik secara holistik maupun secara integral. Bayangkan saja ketika Nabi Muhammad di utus 14 abad silam, beliau dihadapkan dengan zaman jahiliyah dengan kondisi masyarakat yang mengalami tiga bentuk penjajahan sekaligus mulai dari segi disorientasi kehidupan, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.
Itu sebabnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah ﷻ ditugaskan untuk membawa misi tauhid, yang tidak lain dan tidak bukan untuk memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lainnya. Sebagaimana dalam firmannya Allah ﷻ berfirman: “(inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka.” (Q.S. Ibrahim [14]: 1).[5]
Memaknai Kemerdekaan Sebagai Sarana Mencintai Indonesia
Jika melihat definisi kemerdekaan dalam Islam baik secara historis dan terminologi, maka akan didapatkan satu benang merah bahwa pemaknaan atas kemerdekaan tersebut harus terwujud dalam tindakan-tindakan yang merepresentasikan tingkah laku kebaikan sehingga pada akhirnya akan melahirkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Imam An-Nawawi menambahkan jika baik saja tidak cukup. Umat Islam harus pula mampu secara mandiri dan produktif di segala kebutuhan sehingga negara Indonesia yang merdeka akan terwujud dengan setiap warga negara yang mengusahakan sebaik mungkin di profesi yang digeluti masing-masing.[6]
Jika menjadi orang tua, maka menjadi orang tua yang bertanggwungjawab. Jika menjadi pejabat, maka menjadi pejabat yang jujur dan amanah. Jika menjadi pendidik, maka menjadi pendidik yang tulus dalam mengajar dan mangabdi terhadap masyarakat. Jika menjadi pelajar, maka menjadi pelajar yang rajin dalam menuntut ilmi di bidangnya masing-masing.
Maka buah dari kecintaan terhadap tanah air sejatinya akan tampak dari tingkah laku kita sebagai warga negara yang selalu berusaha baik dalam segala kondisi, tempat, dan berperilaku baik dengan akhlak yang mulia, serta senantiasa berusaha muntun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai pewaris kemerdekaan menjadi tugas bersama untuk memelihara semangat kemerdekaan dengan mengisinya dengan cita-cita kemerdekaan yaitu mewujudkan negara yang adil dan makmur sehingga mendapat limpahan dan rahmat dari Allah ﷻ dengan segala aktivitas yang kita lakukan.
Untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur, maka syarat yang harus dipenuhi ialah harus menjadi umat bertakwa, umat yang mau menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dengan begitu, bangsa Indonesia akan berada jalurnya untuk menjadi negara yang aman dan tentram serta adil dan makmur. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman “Jikalau sekiranga penduduk negeri beriman dan bertawa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Q.S. al-A’râf [7]: 96).[7]
[1] Takdir Ali Mukti, Membangun Moralitas Bangsa (Amar Ma’ruf Nah Munkar: dan Subyektif-Normatf ke Obyektif-Empiris), Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.
[2] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an (Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
[3] Hilman Latief, dkk., Islam dan Urusan Kemanusiaan: Konflik, Perdamaiaan, dan Folantropi. Jakarta: Serambi, 2015
[4] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004
[6] Aboebakar Atjeh, Islam dan Kemerdekaan Beragama, Cirebon: Toko Messir, 1970
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, PT. Pustaka Panji Mas: Jakarta, 2004